,

Si Imut Kukang dan Tujuh Fakta Uniknya

Kukang merupakan primata imut yang dijuluki malu-malu. Sifat satwa yang ukuran tubuhnya antara 20-30 centimeter ini memang pemalu dan akan membuat ‘gemas’ bagi yang memandangnya.

Hal lain yang membuat kita penasaran terhadap kukang adalah gerakannya yang lamban. Ini bisa dilihat dari cara jalannya yang santai kala melingkar di cabang pohon serta saat ia mengunyah makanan yang begitu pelan.

Meski pemalu dan terkesan santai, namun tidak sembarang waktu kita dapat melihat kukang. Pasalnya, kukang merupakan satwa nokturnal alias aktif di malam hari. Sehingga, ia akan tidur pulas saat fajar menyingsing dan bangun kala petang menjelang. Saat malam lah, kukang beraksi mencari makan atau bermain.

Namun, perlu kehati-hatian bila melihat kukang di malam hari. Kukang akan sangat terganggu dengan pantulan sinar yang menyala terang. Pencahayaan yang aman bagi mata kukang adalah sekitar lima watt atau setara dengan sinaran lampu tidur.

Penasaran dengan sifat kukang? Berikut tersaji tujuh fakta unik mengenai kukang hasil rangkuman berbagai sumber.

1. Terdapat tiga spesies kukang di Indonesia

Di Indonesia, berdasarkan ekologi dan persebarannya, terdapat tiga spesies kukang yaitu kukang jawa (Nycticebus javanicus), kukang sumatera (Nycticebus coucang), dan kukang kalimantan (Nycticebus menagensis).

Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk membedakan ketiga jenis tersebut. Pertama, dari berat badan. Kukang jawa beratnya sekitar 900 gram, sementara kukang sumatera sekitar 700 gram, dan kukang kalimantan kira-kira 600 gram.

Kedua, berdasarkan cirinya. Kukang jawa memiliki punuk terang yang lebih indah bila dibandingkan dengan kukang sumatera dan kalimantan yang berwarna coklat keabu-abuan.

Berdasarkan data IUCN (International Union for Conservation of Nature), kukang jawa masuk dalam status Kritis (Critically Endangered/CR) atau satu langkah menuju kepunahan di alam. Sementara kukang sumatera dan kukang kalimantan statusnya adalah Rentan (Vulnerable/VU) atau tiga langkah menuju kepunahan di alam.

2. Kukang itu pintar 

Kukang merupakan satwa pintar. Ini terlihat dari caranya memakan buah-buahan yang hanya ia makan daging buahnya saja. Sementara kulit dan biji buahnya dibuang. Pun, buah-buahan yang disukai kukang adalah buah yang benar-benar matang dan tentunya manis di lidah. Jadi, jangan harap kukang akan makan buah yang masam dan mentah.

3. Tubuhnya lentur

Kukang memiliki tubuh yang lentur. Ia bisa meliuk di cabang pohon, bahkan bergelantungan terbalik. Saat tidur, kukang menggulung tubuhnya bagaikan bola dengan kepala ditekuk dan disembunyikan pada bagian lutut. Posisi menggulung ini merupakan bentuk pertanahan diri dari musuh yang mengintainya kala tidur. Sehingga, kukang akan tidur di cabang pohon yang tinggi dan benar-benar aman.

4. Kukang bukan Kuskus

Kukang sering dipersepsikan sama dengan kuskkus, padahal keduanya berbeda. Kukang memiliki bentuk wajah membulat sementara kuskus memiliki ujung hidung meruncing kedepan. Kuskus merupakan hewan berkantung sementara kukang bukan. Selain itu, tangan dan jari kukang lebih panjang ketimbang kuskus. Ini dikarenakan, kukang merupakan satwa yang menghabiskan hidupnya di atas pohon (arboreal). Sementara, kuskus memiliki ekor yang panjang dan kuat yang berfungsi sebagai alat untuk bergelantungan ketika pindah dari satu dahan pohon ke dahan yang lain.

Kukang jawa yang baru berusia beberapa bulan. Foto: The Little Fireface Project

5.  Taring kukang berbisa

Kukang merupakan primata yang menghasilkan bisa yang dipergunakan sebagai pertahanan diri dari serangan predator atau ketika terancam bahaya. Gigitan kukang sebenarnya tidak berbahaya karena bisa tersebut bukan berasal dari gigi taringnya. Bisa pada kukang dihasilkan dari kelenjar yang berada pada siku lengan bagian dalam yang selanjutnya dimasukkan ke mulut dan bercampur dengan air liur sebelum kukang melakukan gigitan.

Gigitan kukang dapat menyebabkan alergi serius yang gejalanya dapat terlihat seperti kulit merah, gatal, kejang otot, demam, hingga pingsan.

6. Diburu karena mitos

Perburuan kukang terus terjadi. Ini dikarenakan ada mitos di masyarakat yang menjadikan kukang sebagai tumbal untuk pembangunan jalan atau jembatan. Alasannya, agar jalan atau jembatan tersebut awet dan tidak mudah rusak.

Padahal, kukang merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Kukang dilarang untuk dieksploitasi, seperti diburu, dipelihara, diperjualbelikan maupun dimanfaatkan bagian tubuhnya. Ancaman hukuman memelihara kukang adalah penjara maksimal lima tahun dan denda sebesar Rp 100 juta.

Kukang seharusnya memang disayang. Karena, di alam, kukang menghisap madu bunga, memakan serangga, buah-buahan, dan merupakan bagian dari ekosistem yang tentunya menjaga keseimbangan alam. Memburu kukang sama saja dengan mengganggu keseimbangan ekosistem alam yang telah tertata baik dan rapi.

7. Bukan satwa peliharaan

Penelitian yang dilakukan oleh Nafisatul Ulfa dan Mirzan Adi Wibowo dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor di Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) menunjukkan adanya potensi zoonosis yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya yang ditemukan pada kukang. Salah satu penyakit yang dapat menular ke manusia adalah cacingan.

Jumlah cacing yang cukup tinggi ini ditemukan dari hasil pemeriksaan feses (kotoran) kukang. Cacing yang ditemukan merupakan genus nematoda (cacing gilik) dan cestoda (cacing pipih). Penularan penyakit cacing dari satwa ke manusia ini dapat terjadi melalui telur yang tertelan maupun yang terhirup manusia. Atau, melalui kontak langsung ataupun juga melalui telur yang berada di tanah, buah, air, hingga pakaian.

Nah, telur cacing ini sendiri dapat hidup dua bulan hingga dua tahun dalam lingkungan yang kondusif kelembabannya, iklimnya, hingga suhunya.

Membiarkan kukang hidup liar merupakan cara bijak kita melestarikan kukang di alam.

Kukang sumatera (Nycticebus coucang) yang telah dipindahkan ke Hutan Lindung Batutegi, Lampung. Hidup kukang memang di alam, bukan sebagai satwa peliharaan. Foto: YIARI
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,