Mongabay.co.id

Arsyan Djatoha, Penanam Pohon Langka dari Bintuhan

Meskipun usianya menginjak 71 tahun, Arsyan Djatoha tidak terlihat lelah ketika mengajak saya ke kebunnya seluas satu hektar di belakang rumahnya di Dusun Bintuhan, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Senin (19/01/2015) siang.

Sekitar satu jam dia yang mengenakan kemeja hijau pupus dan topi hitam, mengenalkan satu per satu jenis buahan dan tanaman yang ditanamnya sejak 1995. Hampir semua buahan dan tanaman tersebut mulai langka atau sudah sulit didapatkan di wilayah Pasemah: Pagar Alam, Empat Lawang, Lahat, dan Muara Enim.

“Ini pohon endelupang, bahan baku utama pembuatan kincir untuk menggiling padi dan kopi, yang di Pasemah disebut Antan Delapan. Kincir ini sudah tidak ada lagi. Sudah menjadi kenangan,” kata pensiunan PTPN VII ini.

“Sekarang pohon ini sudah sulit didapatkan di hutan. Padahal kayu dari pohon ini bentuknya lurus dan kuat. Saya takut pohon ini hilang, maka saya tanam sekitar 50 pohon,” ujarnya.

Saya pun tercengang setelah melihat pohon sali, yang saat ini sulit dicari. Padahal 20 tahun lalu, buah sali sangat mudah didapatkan di hutan di wilayah Pasemah.

“Saat musim buah, banyak anak-anak di desa ini yang mengambil buahnya. Saya senang sekali dan saya pesan agar mereka meminta orang tuanya menanam pohon sali,” kata bapak empat anak ini.

Pohon endelupang, bahan baku utama pembuatan kincir untuk menggiling padi dan kopi yang di wilayah PAsemah dinamakan antan delapan. Foto: Romi Yusuf

Arsyan kemudian menunjukkan pohon kedui. Sayang, pohon tersebut belum masuk musim buahnya. “Buah kedui ini warna hitam pekat seperti batubara, berbiji keras. Tapi kalau sudah direbus, rasanya lebih enak dari kacang tanah,” katanya.

“Pohon ini juga sudah jarang terlihat. Saya sulit sekali mendapatkan bibitnya. Mudah-mudahan dari pohon ini akan melahirkan banyak bibitnya,” ujarnya.

Berdasarkan catatannya, ada 63 jenis buahan yang ditanamnya. Belum termasuk berbagai jenis pohon kayu dan tanaman obat. Mulai dari jenis tanaman yang tumbuh dan berkembang di wilayah Pasemah sejak berabad lalu, misalnya beragam jenis durian, duku, jambu, sali, kedui, manggis, kemang, kepayang,  getapan, sawo durian, cermin hijau dan merah, hingga belimbing.

Pohonan kayu yang ditanam seperti endelupang, beragam jati, mahoni,  sengon, serta beragam bambu seperti mayan dan buluh kapal.

Pohon kedui yang juga mulai sulit dilihat. Foto Romi Yusuf

Melestarikan

Maraknya aktivitas pertambangan dan perkebunan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, memberikan banyak dampak  yang salah satunya adalah hilang atau menjadi langkanya kekayaan hayati, seperti beragam jenis tanaman.

Lelaki yang dikenal sebagai tester teh nasional ini, sejak 1995, melakukan penanaman beragam jenis buah-buahan dan kayu. Dia pun menggarap sawah.

“Cita-cita saya sederhana melakukan hal ini. Saya ingin generasi muda di masa mendatang masih mengenal dan merasakan buah-buahan dan tanaman yang khas Pasemah atau Indonesia, yang kini mulai langka,” katanya.

Saat kali pertama pulang ke dusun kelahirannya itu, tahun 1994, dia sangat terkejut melihat kondisi warga dusun. “Bayangkan. Di tengah tanah yang subur, sedikit sekali warga yang menanam sayur. Para pedagang sayur dari Kota Pagaralam datang ke dusun ini berjualan sayuran. Miris,” katanya.

Hal pertama yang dilakukan Arsyan adalah membangun rumah di atas tanah warisan orang tuanya, Djatoha Saleh. Arsyan dan istrinya, Yasmana, kemudian menanam sejumlah sayuran. Seperti labu, belimbing wuluh, cabai, terong, cengkokak, serta tomat. Sejumlah tetangga pun meminta sayuran tersebut.

“Kami memberinya dengan senang hati. Tapi kami memberi syarat untuk menanam bibit yang kami berikan. Alhamdulillah, saat ini hampir semua warga sudah menanam sayuran buat kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Arsyan dan Yasmana bersama dua cucu yang peduli dengan lingkungan dan masyarakat Bintuhan. Foto: Romi Yusuf

Selain memiliki kebun, Arsyan juga menyediakan sebuah perpustakaan di rumahnya. Bukunya berisi tentang kekayaan hayati. Perpustakaan yang bernama “Karunia” ini target pembacanya anak-anak di dusun Bintuhan.

“Anak-anak yang membaca dan meminjam buku gratis. Upah bagi saya, mereka menjadi pintar. Saya menjadi bahagia kalau mereka menjadi pintar, apalagi turut menjaga kekayaan alam dari kecil hingga besar nanti,” kata lelaki yang akrab dipanggil “Chan”.

Arsyan yang memiliki tujuh cucu ini pun berharap pendidikan formal di Indonesia harus dikembalikan dengan paradigma lingkungan hidup. “Misalnya semua simbol atau materi ilmu yang diajarkan di sekolah lebih didekatkan dengan kekayaan hayati sekitar sekolah atau yang ada di Indonesia,” katanya.

“Banyak anak di desa ini tidak tahu pohon sali atau kedui. Mereka justru tahu pohon anggur atau bunga sakura. Ironi. Bahkan mereka mengenal panda dibandingkan gajah atau harimau. Ini sangat memprihatinkan, sehingga menurut saya pemerintah perlu fokus mengenai pendidikan lingkungan di sekolah. Bukan sebatas aktivitas penghijauan atau kebersihan saje,” katanya.

Sentra buah manggis

Dusun Bintuhan memiliki luas sekitar 500 hektar. Sekitar 250 hektar merupakan kebun dan sawah, serta sebagian lagi merupakan hutan semak. Dulu, dusun ini memiliki banyak penduduk namun, sebagian besar meninggalkan dusun karena persoalan ekonomi. Mereka menjual kebunnya. Saat ini tersisa sekitar 50 kepala keluarga.

“Saya sangat prihatin dengan kondisi ini. Banyak kebun dan lahan pertanian milik warga yang tidak digarap karena mereka tidak memiliki modal. Setahu saya sekitar 100 hektar kebun milik warga yang terlantar. Mereka yang sebagian menanam karet, kopi dan bersawah, hidup miskin. Antara modal dengan pemasukan mereka tidak seimbang. Mereka pun saat ini hanya bertahan hidup,” katanya.

Melihat kondisi tersebut, Arsyan memiliki gagasan untuk menjadikan dusunnya sebagai sentra buah manggis. “Pohon manggis di sini buahnya lebat dan tumbuhnya bagus,” katanya.

Selain itu, saat ini kebutuhan buah manggis di pasaran cukup bagus, “Baik untuk makanan atau sebagai bahan baku obat herbal,” ujarnya.

Buah Sali yang baru berputik. Foto Romi Yusuf

Namun, kendala untuk mewujudkan hal tersebut karena keterbatasan modal. “Warga sudah setuju menjadikan kebun mereka yang terlantar ditanami buah manggis, dan siap bersabar selama beberapa tahun hingga pohonnya berbuah. Tapi, terkendala biaya.”

“Kami berharap, Presiden Jokowi yang dikenal peduli petani dan fokus persoalan pangan dapat memperhatikan keinginan warga Dusun Bintuhan ini,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Exit mobile version