Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib REDD+ Pasca Peleburan?

“Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menandatangani pembentukan  Badan REDD+  pada 31 Agustus 2013…. Badan baru ini terbentuk lewat Keputusan Presiden No 62/2013 dengan tujuan memastikan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut.” Begitulah pembuka berita saya kala badan ini terbentuk,  lebih setahun lalu.

Sekitar tiga bulan pembentukan itu, lewat Kepres tertanggal 12 Desember 2013, presiden menunjuk Heru Prasetyo, memimpin badan ini. Saat itu, Heru menjabat deputi I UKP4.

Kala itu, keseriusan presiden membentuk badan yang diisyaratkan dalam letter of intent (LoI) dengan Norwegia ini sempat dipertanyakan karena terkesan lambat. Persiapan sekitar tiga tahun, baru lembaga ini lahir.

Belum genap dua tahun,  nyawa badan ini dicabut alias sudah ‘almarhum’ lewat Peraturan Presiden tentang struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 21 Januari 2015.

Bagaimana kelanjutan kerja-kerja badan ini? Akankah upaya penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan lebih baik atau lebih buruk kala dilebur dengan Kementerian LHK?

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, angkat bicara.  Meskipun belum ada langkah-langkah detil, tetapi dia berusaha meyakinkan, dengan melekat di satu organ pemerintahan (Kementerian LHK), kata Siti, interaksi dengan daerah akan makin kokoh dalam menjalankan kerja-kerja REDD+. “Makin jejek, tajem, dan kokoh. Koordinasi pemerintah ke daerah itu sering dan itu instrumennya. Kalau badan lepas, itu tidak gampang buat instruksi langsung,” katanya di Jakarta.

Tak hanya itu, katanya, dengan peleburan ini lebih baik  karena akan berbagi tanggung jawab pendanaan.  Untuk hal-hal yang bersifat seperti keilmuan, peningkatan kapasitas masyarakat, monitoring sistem, sampai data base development bisa didanai luar negeri. Ketika berbicara belanja operasional kerja, personil, bisa menggunakan dana APBN. “Itu keungggulan kalau di direktorat jenderal.”

Untuk itu, nanti ada semacam dewan penasehat atau board of director (BOD). BOD ini, kata Siti, bisa mendevelop sistem finansial seperti apa yang tak akan tercampur dengan APBN.  “Karena memang sistem seperti itu. Nanti silakan bisa dikembangkan, mau super fund, trust fund.”

Dari sanalah, sistem keuangan dikembangkan.  “Hanya saya gak tahu, setelah jadi nanti, tentu harus berkonsultasi ke menteri keuangan. Saya gak ngerti.  Tapi paling tidak kita siapkan konsep-konsep itu sambil jalan.”

Bagaimana posisi BOD dalam kementerian ini?  Siti mengatakan, hubungan menteri dengan BOD bisa koordinatif atau instruktif. Hubungan board ini ke direktorat, saling melengkapi.

Mengenai bentuk dan siapa saja yang bakal ada di BOD ini, menteri menyerahkan urusan desain kepada San Avri Awang, Kepala Balitbang Kementerian LHK. “Misal, ada perguruan tinggi, akademisi, LSM, kerja sama teknik luar negeri.”

Para pihak yang duduk di BOD ini, katanya, orang-orang bebas jadi semacam in house consultant. “Bukan atas perintah kita. Ia akan pengaruhi cara berpikir saya. Independen. Yang tidak represif, tak ada intrik, tak ada policy diem-diem.”

Siti membuat BOD ini guna menjawab isi letter of intent (LoI) yang menyatakan mesti ada badan independen. “Yang diminta Norwagia itu independen. Agar orang yang menghadap ke presiden, dalam hal ini saya,  gak boleh ada agenda terselubung.”  Dia tak keberatan, kala bertemu dengan presidenpun bersama koordinator BOD. “Saya gak ada masalah.”

Terkait peleburan, bagaimana komunikasi dengan Norwegia? Menurut dia, sudah mengundang dan bertemu Duta Besar Norwegia.  “Terus saya bicara dengan Menlu Retno. Saya jelaskan dan minta tolong, keliatan bisa-bisa salah mengerti soal ini. Ada arahan dari presiden harus hindari tumpang tindih. Saya minta tolong didiplomasikan dengan baik,” ujar dia.

Siti mengatakan, kala penyusunan LoI memang perlu special agency karena Kementerian Kehutanan dianggap tak reform. Saat ini, Kementerian LHK bertekad mengubah diri.  “Paling tidak harus ke sana. Tak ada pilihan lain karena memang harus berubah. Orientasi kerja harus berubah.”

Posisi dirjen terbuka

Guna mendapatkan sosok-sosok kuat dalam memegang urusan perubahan iklim dan penegakan hukum di kementerian, pemilihan sang direktur jenderal pun terbuka buat umum. “Bisa swasta, LSM, bisa siapa saja yang layak,” katanya.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah bersalaman dengan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo disaksikan Wakil Dubes Norwegia Per Cristiansen usai penandatanganan nota kesepahaman di Pendopo Gubernur Aceh, Senin (17/11/14). Bagaimana kelanjutan MoU ini pasca BP REDD+ lebur ke Kementerian LHK? Foto: BP REDD+

Lalu, apa juga tanggapan dari orang-orang BP REDD+ kala badan ini ‘mati’ mendadak? Heru Prasetyo, mantan kepala badan yang baru likuidasi ini mengatakan, perpres itu mengatur Kementerian LHK dengan memasukkan pasal yang menyatakan, membatalkan dan mencabut Perpres 62/2013,  yang menjadikan BP REDD+. “Jadi, kalau bicara BP REDD+, tugas dan fungsi diambil alih Kementerian LHK sejak 21 Januari 2015,” katanya.

Anehnya, dalam aturan peralihan tak mengatur jelas soal BP REDD+. “Peraturan peralihan hanya menyebutkan seluruh jabatan yang ada……Yang dibilangin hanya Kementerian LHK. Tak ada pasal lain yang atur fungsi dan peran BP REDD+ selama masa transisi itu.”

Artinya, kata Heru, BP REDD+,  bisa menjalankan fungsi sampai terbentuk perpres baru. “Ini satu pandangan. Ada juga pandangan, tidak ada aktivitas lagi karena tugas dan fungsi sudah tak ada.” Yang jelas, kata Heru, sesuai peraturan tadi, jabatan-jabatan BP REDD+ tak ada lagi.

Sejak ada Satgas REDD+ dan BP REDD+, kata Heru, dunia melihat Indonesia terbuka dalam tataran REDD+, baik soal  REDD+ more than carbon, keterbukaan dan dialog dengan banyak orang. Seharusnya, Indonesia bangga. Heru pun tak bisa memastikan apakah setelah lebur di Kementerian LHK hal-hal itu akan berjalan konsisten atau tidak.

“Apakah Kementerian LHK sekarang sama dengan yang lalu? Saya tak bisa berikan penilaian karena bukan pemerhati. Saya pegiat REDD+.  Kalau memang LHK bisa berubah dan mampu tangani spesifik seperti  ini bisa lanjut. Kalau gagal, dan yang terjadi business as usual dari birokrasi ya…”

Dia mencontohkan, kerja-kerja di kementerian yang mandek mesipun sudah puluhan tahun. Salah satu KPH. Konsep itu, kata Heru, sudah ada sejak 1984 dan mulai dikembangkan di luar Jawa. “Dari 1984 sampai 2014, KPH gak jalan. Andai kata perilaku masih sama ya gak jalan…Ini satu contoh saja,” ujar dia.

Saat ini, yang terjadi, BP REDD+ sudah tak ada dan kelanjutan belum jelas. “Apa mungkin nanti ada pembicaraan lagi? Apa tunjukkan komitmen Indonesia turun? Kulitnya yang katakan komitmen itu ada. Dalamnya, gak tau. Karena tak punya label.”

Menurut Heru, dalam menggabungkan satu badan atau lembaga, jika hanya memikirkan agar tak tumpang tindih, itu suatu hal mudah. Yang sulit itu, katanya, bagaimana konsep bisa jalan. “Itu yang perlu ilmu. BP REDD+, coba buat lebih efektif di lapangan.”

Mengenai pembuatan perpres, apakah harus mengacu LoI?  “Harusnya, kalau kita sehat, waras, lihat value dari masing-masing.”  Kemudian dicari solusi yang paling pas untuk dua hal itu. “Kalau di sini benefit paling banyak masak di-drop? Masa’ tak dilakukan? Kalau memang dua-duanya benefit banyak, mbok ya mikir lagi, bagaimana memanfaatkan dua benefit itu jangan saling melemahkan,” ucap Heru.

William Syahbandar, mantan Deputi Operasional BP REDD+ mengatakan, BP REDD+ fokus kepada beberapa hal, antara lain, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, perlindungan dan pengakuan  masyarakat adat, mendorong pelaksanaan moratorium hutan dan lahan gambut, reforma agraria lewat penataan perizinan. Lalu, penyelesaian konflik hutan dan lahan, pembaruan dan penegakan hukum serta pemberantasan mafia kejahatan hutan dan lahan gambut.

“Ini yakin tak akan efektif kalau dikerjakan di LHK. Karena pelaku-pelaku kejahatan itu punya kaitan erat dengan struktur eksisting sekarang.”

Untuk itu, dia berharap, masyarakat sipil dan seluruh mitra, mendorong inisiatif ini bersama. “Selamatkan agenda ini bersama-sama. Terutama, sangat diharapkan, komitmen yang disampaikan presiden adalah memperpanjang  moratorium.”

Terkait peleburan BP REDD+ ini, bagaimana kaitan dengan LoI? “Pengalihan tugas BP REDD+ ini tak sesuai dengan LoI. Karena dalam LoI kalimat tertulis dan ditandatangani Menlu dan Menteri Norwegia, itu spesifik banged special agency buat implementasikan REDD+,” kata Heru.

Untuk itu, tak ada keraguan Heru kala peleburan badan ini jelas-jelas tak sesuai LoI. “Kriteria badan itu, koordinasi dan lapor langsung kepada presiden. KLHK berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.”

Apalagi kalau dikaitkan tugas Kementerian LHK itu menjalankan urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. “Artinya, KLHK tak menuhi syarat dalam Pasal 6 LoI tadi karena bukan badan khusus yang bisa jalankan REDD+. Perpres 16 itu juga tak khusus atur BP REDD+ tapi buat atur LHK.”

Dalam LoI, katanya, para pihak , baik Indonesia maupun Norwegia, bisa saja membatalkan kapanpun melalui tertulis.  Dalam perspektif hukum, kata Heru, LoI ini termasuk hukum lunak (soft law), tak mengikat. “Dalam isi LoI juga harus dituangkan dalam perjanjian lebih lanjut dengan para pihak. Tak ada sanksi apapun. Apakah  bisa modifikasi? Bisa mungkin saja.”

Meskipun LoI tak ada sanksi, bukan berarti bisa melanggar begitu saja. Mas Achmad Santosa, mantan Deputi UKP4 mengatakan, secara etika hubungan luar negeri seharusnya memberitahu ke Kementerian Luar Negeri. Nanti, Kemenlu  yang akan berkomunikasi dengan Norwegia.

Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, sejak September 2014. Kebakaran menyebabkan, asap tebal menyelimuti daerah ini hingga berbagai aktivitas terganggu. Akankah audit kepatuhan karhutla sesi II berlanjut setelah BP REDD+ tiada? Foto: Zenzi Suhadi/Walhi

Pastikan kerja berjalan

Peleburan badan inipun mendapat tanggapan dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Teguh Surya dari Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya pencapaian target penurunan emisi khusus sektor kehutanan dan penggunaan lahan bisa lebih terarah, terukur dan terkoordinasi dengan baik.  Dengan begitu, peleburan ini memberikan makna positif bagi Indonesia bukan hanya perdebatan eksistensi kelembagaan.

Pada masa transisi, katanya, KLHK harus menyiapkan skenario transisi terbaik agar proses peralihan berjalan mulus. Belajar dari pengalaman, proses transisi sering terganjal pada hal-hal bersifat politis. Untuk itu, katanya, dukungan BP REDD+ terhadap kebijakan baru ini sangat menentukan proses transisi.

Selain itu, katanya, perlu ada kepastian  bahwa kerja-kerja dan komitmen BP REDD+ yang sedang berjalanpun, tidak terganggu. “Banyak terobosan positif sedang dikerjakan BP REDD+.”

Dengan peleburan ini, kata Teguh, salah satu tantangan pada kewenangan berkoordinasi lintas kementerian dan lembaga. Sebab, dimensi perubahan iklim sangat luas.

Tak jauh beda dengan Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dia berharap, proses pelembagaan tugas pokok dan fungsi BP REDD+ dan DNPI lancar dan segera berjalan sesuai harapan. Termasuk,

BP REDD+ sebagai wali data peta adat. Karena BP REDD+ lebur ke KLHK, seharusnya tugas dan fungsi walidata peta wilayah adat otomatis menjadi tugas dan fungsi kementerian ini.

Avi Mahaningtyas, dari Climate and land Use Alliance menilai, akan baik bagi kementerian menerapkan kerja-kerja dari bawah seperti yang sudah dilakukan BP REDD+ sebagai dasar bagi manajemen tata kelola dan reformasi kehutanan maupun sumber daya alam. Semua itu, katanya,  akan membantu Menteri LHK, Siti Nurbaya, agar kementerian ini fokus–termasuk prioritas melakukan perubahan, dan berkoordinasi bersama kementerian-kementerian lain.

Menteri LHK, kata Avi, akan sangat berperan dalam membantu presiden menjalankan komitmen dan meningkatkan kepemimpinan Indonesia dalam menangani perubahan iklim dari mengurangi deforestasi. “Jadi, bantuan semua orang dapat diberikan kepada Siti Nurbaya,  demi melihat perubahan di dalam pemerintahan ini,” katanya.

Untuk itu, lebih baik membantu menteri baru dalam melanjutkan kerja-kerja penting, seperti review perizinan, audit kepatuhan pada konsesi perkebunan dan izin-izin kehutanan, pemetaan wilayah adat. Juga implementasi putusan MK 35,  satu peta, MRV, pengawasan dan monitoring kebakaran hutan, pengurangan deforestasi sampai pengukuhan kawasan hutan di bawah koordinasi KPK.

Deni Bram, pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara mengatakan, secara struktur hirarki perpres lebih tinggi dari LoI. Namun, terpenting saat ini bukan soal ratifikasi justru harus perubahan secara substansil.  “Mari kita mulai “pemutihan” dan aksi nyata terkait perubahan iklim saat ini.”

Menyangkut, BP REDD+ selaku wali data sementara peta adat, Deni menilai, tak masalah. “AMAN tidak perlu gusar karena itu mengikat pada program dan dipastikan tidak berubah selama dasar hukum masih valid.”

Menurut dia, program REDD+ yang berjalan tak seketika batal demi hukum dengan peleburan institusinya. Bahkan, katanya, bisa menjadi momentum bagi pemerintah menguatkan pelaksanakan MK 35.

Exit mobile version