Mongabay.co.id

Aih! Pesut Ini Mati Akibat Terjerat Pukat Nelayan Bakau Besar

Satu lagi satwa langka dilindungi meregang nyawa. Di Desa Bakau Besar, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, seekor pesut ditemukan mati terjerat pukat nelayan setempat.

Kejadian berawal ketika Suswoyo, Nelayan Bakau Besar sedang menjalankan aktivitasnya seperti biasa pada Sabtu (24/1/2015). Sebagai seorang nelayan, dia berharap peruntungan di sore hari. Sekitar pukul 17.00 WIB, pria 60 tahun ini pun meninggalkan perkampungan dan berlayar menuju muara Sungai Bakau Besar dengan motor air miliknya.

Sekitar 500 meter dari ujung sungai, pukat pun dibentang. Suswoyo kemudian meninggalkan lokasi dan kembali ke daratan. “Saya langsung meninggalkan lokasi setelah memasang tanda pukat,” katanya kepada Agri Aditya Pisesa dan Tyas Woro Prasasti, tim monitoring WWF-Indonesia Program Kalbar, Selasa (3/2/2015).

Berselang 16 jam kemudian, Suswoyo kembali mengecek pukatnya. Kala itu, jarum jam menunjuk angka sembilan pagi. Ketika pukat diangkat, Suswoyo kaget melihat seekor pesut sudah terbelit dalam keadaan lemas. Dia memperkirakan, satwa dengan nama latin Orcaella brevirostris itu masih dalam kondisi pingsan dan membawanya kembali ke rumah.

Setiba di rumah, Suswoyo baru melepas pesut itu dengan cara mengoyak pukatnya. Pesut kemudian ditimbang. Beratnya mencapai 75 kilogram, dengan panjang satu meter lebih. Satwa malang itu kemudian dijual ke Desa Nusapati, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah kepada pengumpul ikan bernama Arifin. Oleh penampung, pesut dihargai Rp2.000 per kilogramnya.

Suswoyo tak menampik dirinya kerapkali melihat pesut di sekitar wilayah Belat, yang ukurannya lebih kecil. Biasanya, pesut datang bergerombol antara 3 – 4 ekor. Sedangkan lumba-lumba putih, juga sering terlihat namun agak jauh ke laut. “Biasanya kita lihat ketika air dalam kondisi tenang, sedangkan di laut sedang ada badai,” kata pria yang sudah menjadi nelayan sejak 2001 ini.

Nelayan lainnya, Suhardi (37) juga mengaku menemukan pesut saat mencari ikan di muara Sungai Bakau Besar pada Kamis (29/1/2015). Awalnya, dia menganggap itu adalah pari. “Awalnya saya kira pari. Ternyata pesut yang sudah mengambang dan mengeluarkan aroma busuk. Itu saya lihat pukul 14.00 WIB,” katanya.

Suhardi adalah warga asli Sungai Pinyuh. Pada 2008, ia bersama keluarga resmi hijrah dari desanya ke Desa Bakau Besar. “Kita sudah biasa melihat pesut datang sampai empat ekor. Hanya sekitar satu jam dengan motor air dari kampung, pesut sudah bisa kita jumpai,” ucapnya.

Dikonfirmasi terpisah, Arifin, penampung ikan di Desa Nusapati mengakui adanya transaksi pesut dari warga Bakau Besar. “Beratnya mencapai 75 kilogram. Saya beli seharga Rp150 ribu. Itu pun rugi. Sebab, daging pesut ini mengalami penyusutan hingga 50 persen,” ujarnya.

Dia menjelaskan, di Desa Nusapati, masyarakat sejak lama sudah mengkonsumsi pesut dan jenis lumba-lumba lainnya. “Sejak dulu masyarakat di sini sudah makan daging pesut dan lumba-lumba. Ada juga warga dari Rasau yang suka makan daging pesut,” ucapnya.

Kondisi pesut ketika sudah berhasil diangkat ke atas motor air milik Suswoyo. Foto: Dok Suswoyo

Tepung tawar

Tokoh masyarakat Bakau Besar, Hamid (70) mengatakan, masyarakat setempat masih memegang teguh kearifan lokal seperti tepung tawar. “Jika nelayan menemukan pesut, lumba-lumba, atau penyu, mereka akan melepaskannya jika hewan itu ditemukan dalam keadaan masih hidup,” katanya.

Tapi, jika hewan tersebut dalam keadaan mati, kata Hamid, warga akan membawanya pulang. Itu pun jika belum tercium bau busuk. Di kampung, satwa itu dijual ke penampung ikan di Nusapati.

Jika warga menemukan satwa itu, biasanya dilakukan tepung tawar. Semacam upacara tolak bala karena tidak sengaja menemukan hewan itu dipukat. Barang-barang yang akan dilarung dalam tepung tawar meliputi telur ayam kampung, kemiri, paku, sirih, beras kuning, retih (sejenis beras yang disangrai dan berwarna putih seperti popcorn).

“Saya pernah dapat penyu. Kalau lumba-lumba belum pernah. Saya sudah jadi nelayan sejak berusia 10 tahun. Kalau pesut, saya biasa lihat di kawasan Pulau Mas Tiga dan di sekitar Belat,” ujarnya.

Hamid bahkan punya cerita tersendiri soal pesut. Suatu ketika, dia pernah memasang pukat di sekitar wilayah bermain pesut di muara Bakau Besar. “Awalnya, pesut itu sudah masuk pukat, tapi tiba-tiba dia mampu meloloskan diri. Sejak saat itu, kami menganggap pesut merupakan satwa mistis yang tidak boleh diganggu,” ucapnya.

Berdasarkan pantauan tim monitoring WWF-Indonesia Program Kalbar, salah satu penyebab kematian lumba-lumba hidung pesek ini akibat terjaring plastik nelayan yang dilakukan tanpa sengaja. Dwi Suprapti, peneliti pesut dari WWF-Indonesia Program Kalbar mengatakan, pesut tidak dapat mendeteksi jaring yang bentuknya tipis dan bening tersebut kala memburu ikan atau udang yang merupakan pakannya. Akibatnya, karena pesut bernafas dengan paru-paru, maka saat terjaring, pesut tidak dapat lagi menghirup oksigen di permukaan air.

Di Indonesia, pesut dilindungi Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sedangkan IUCN (International Union for Conservation of Nature) memasukkannya dalam status Kritis (Critically Endangered) yaitu satu tingkat menuju kepunahan di alam.

Pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto : WWF

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Exit mobile version