,

Brubuh, Kearifan Masyarakat Jawa Menjaga Hutan

Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal yang dinilai relevan menjaga hutan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Salah satu diantaranya adalah brubuh. Brubuh adalah sistem penebangan kayu tradisional didasarkan atas perhitungan menggunakan sistem kalender pertanian Jawa yang sering kita kenal dengan istilah pranata mangsa.

Di dalam konsep brubuh, penebangan kayu tradisonal tidak dilakukan sembarang waktu, akan tetapi dilakukan pada musim-musim tertentu. Pranata mangsa memiliki 12 musim (mangsa). Musim yang paling baik untuk melakukan brubuh adalah mangsa tuwa (musim tua), yaitu  mangsa kasangakasadasa, dan dhesta.

“Musim ini datang antara bulan Maret sampai pertengahan Mei,” kata Peneliti Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Surono, M.A. di kampus UGM, pada Kamis (05/02/2015).

Musim kasanga atau kesembilan terjadi pada tanggal 1 Maret – 25 Maret yang memiliki ciri-ciri padi berbunga; jangkrik mulai muncul dan  bernyanyi; tonggeret dan gangsir mulai bersuara, bunga padi glagah berguguran.  Musim kesepuluh (Kasadasa), datang pada sekitar tanggal 26 Maret hingga 18 April yang memiliki ciri-ciri padi mulai menguning,  telur-telur burung-burung kecil mulai menetas. Lalu mangsa Desta (kesebelas) datang pada sekitar tanggal 19 April – 11 Mei, yang memiliki ciri burung-burung memberi makan anaknya, buah randu mekar, dan sebagainya.

Jika penebangan kayu-bambu dilakukan pada musim tua ini maka kayu atau bambu yang dihasilkan memiliki kandungan lignin paling rendah sehingga tidak mudah dimakan serangga dan memiliki tingkat kelenturan-kekuatan paling tinggi.

Lebih lanjut Surono menambahkan, sistem brubuh dinilai mampu menjaga kelestarian alam dan lingkungan yang saat ini semakin terancam keberlanjutannya. Kayu dari hasil tebangan dengan sistem brubuh dinilainya lebih awet dan  mampu membuat manusia untuk tidak setiap saat menebang kayu untuk memenuhi kebutuhan mereka.

“Hal ini mendukung kelestarian alam yang kita tahu memiliki waktu yang lebih lama untuk memperbaiki diri dan menjaga kehidupan bumi lebih baik,” paparnya.

Kondisi hutan di Desa Dlingo, Bantul, Yogyakarta, yang masih lestari. Foto : Tommy Apriando
Kondisi hutan di Desa Dlingo, Bantul, Yogyakarta, yang masih lestari. Foto : Tommy Apriando

Meski demikian, kata Surono, musuh terbesar dari sistem brubuh adalah nafsu manusia mengeruk keuntungan yang berlebihan. Tidak hanya itu, kearifan lokal ini makin terkikis dan tidak dikenal lagi di kalangan generasi muda. Ditambah hutan di Jawa makin menipis berganti dengan perkotaan. Dari hasil penelitian Surono, Brubuh masih diterapkan di desa-desa di sekitar kecamatan Bayat Klaten dan Dusun Bragasan, Trihanggo, Sleman.

Di Desa Semoyo, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Suratimin salah satu penggagas berdirinya Desa Kawasan Konservasi Semoyo (DKKS) mengenal sistem brubuh atau pranata mangsa. Akan tetapi penerapannya jarang dilakukan untuk penebangan pohon di hutan, brubuh lebih diterapkan untuk penanaman tanaman pangan.

Ia dan masyarakat DKK Semoyo punya cara sendiri untuk menjaga kelestarian hutan yakni menggunakan sistem tebang butuh. Adapun tebang butuh yaitu menebang pohon pada saat butuh tanpa berfikir untuk menyiapkan ganti pohon baru terlebih dahulu.

“Pranata Mangsa sudah jarang dipakai untuk penebangan pohon, namun dijadikan hitungan menanam tanaman pangan. Untuk menjaga hutan kami pakai sistem tebang butuh,” kata Suratimin dihubungi Mongabay, pada Senin, (09/02/ 2015).

Selain itu, ia selalu mengajak kepada warga untuk memanfaatkan kayu yang sudah memiliki nilai jual menjadi barang yang lebih bernilai tambah tidak dijual dalam bentuk kayu glondongan, seperti dibuat mebel, kursi, meja, lemari, pintu dan lainnya. Belum lagi limbah mebel olahannya bukan hanya dijadikan kayu bakar tetapi dimanfaatkan sebagai kerajinan berdaya guna berupa gantungan kunci, flashdisk, pegangan pintu dan pembatas buku.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,