Mongabay.co.id

Keterbukaan Informasi Publik Belum Optimal, Sumsel Didorong untuk Lahirkan Perda. Bisakah?

Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Sumatera Selatan (Sumsel), belum optimal. Banyak pejabat pemerintah tidak mau membuka informasi pulik, terutama terkait dengan tata kelola hutan dan lahan gambut. Guna mendorong ke arah yang lebih baik, Pemerintah Sumatera Selatan dinilai sangat perlu melahirkan peraturan daerah (perda) tentang keterbukaan informasi publik.

“Salah satu agenda ke depan, kita akan mendorong Pemerintah Sumatera Selatan, termasuk pemerintah di kabupaten dan kota, untuk melahirkan peraturan daerah mengenai keterbukaan informasi publik,” kata Syamy Syamsul Huda dari PINUS dalam FGD mengenai informasi pengelolaan hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan (Sumsel) yang digelar Mongabay Indonesia, Kamis (26/02/2015).

Guna memperjuangkan agenda tersebut, kata Huda, sejumlah organisasi non-pemerintah di Sumatera Selatan akan mendorongnya dalam sebuah forum bernama Amunisi (Aliansi Masyarakat untuk Keterbukaan Informasi). “Kita akan menawarkan draft akademis kepada pemerintah dan dewan,” katanya.

Taufik Wijaya, mantan Koordinator Koalisi Kebebasan Informasi Sumatera Selatan (Koa-AIS), menjelaskan tahun 2001 pernah didorong upaya untuk melahirkan perda. “Namun, DPRD Sumsel kala itu belum mau memprosesnya karena UU tentang keterbukaan informasi publik atau dulu disebut kebebasan informasi publik belum dilahirkan. Kini, mungkin janji tersebut dapat dipenuhi, sebab UU-nya sudah ada, bahkan sejak tahun 2008.”

Koa-AIS merupakan koalisi lembaga non-pemerintah di Sumsel, bersama lembaga non-pemerintah lainnya di Indonesia, yang mendorong lahirnya UU kebebasan (keterbukaan) informasi publik di Indonesia.

“Kebebasan informasi publik merupakan ciri negara demokratis. Jika pejabat pemerintah tidak mendukung atau menghalanginya, itu sama saja dengan menolak demokrasi yang berjalan di Indonesia. Saya pikir pemerintah di Sumsel akan mendukung lahirnya perda tersebut,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup menuturkan, sejauh untuk kepentingan bangsa dan negara dan sejalan dengan UU yang ada, pemerintah Sumsel jelas akan mendukung upaya tersebut. “Hanya, dalam menelurkan perda tersebut harus melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi dan pakar komunikasi dan informasi, sehingga perda tersebut akan lancar dan benar-benar diterapkan,” ujarnya.

Selain mendorong perda keterbukaan informasi publik, Amunisi juga akan mengkampanyekan kepada masyarakat agar lembaga atau individu yang melakukan uji akses atau meminta informasi publik ke pemerintah untuk diumumkan ke publik. “Tidak kecuali untuk kepentingan penelitian,” kata Syamy.

“Termasuk pula dilakukan KID (Komisi Informasi Daerah) saat mereka mensengketakan sebuah kasus informasi publik. KID wajib meminta lembaga yang bersengketa mempublikasikan hasil dari sengketa tersebut. Jika informasi didapatkan lembaga yang memintanya, lembaga tersebut wajib mempublikasikan ke publik dengan menjelaskan tujuan dari kegunaan data atau informasi tersebut,” katanya.

Jangan mantan birokrat

Agar fungsi KID berjalan dengan optimal, dan menghindari kemungkinan terjadinya “tenggang rasa” sesama birokrat, diharapkan komisioner KID di Sumsel berasal dari aktifis NGO, akademisi, dan para profesional di bidang komunikasi dan informasi.

“Sebaiknya, jangan ada mantan birokrat. Ini upaya menghindari kemungkinan adanya proses tenggang rasa sesama birokrat, juga membangun citra dan kepercayaan publik terhadap KID. Tepatnya, KID berisi orang-orang yang paham dan memiliki track record mengenai perjuangan keterbukaan informasi publik,” kata Ismail dari Wahana Bumi Hijau (WBH).

“SDM yang ideal buat mengurusi KID di Sumsel cukup banyak. Baik dari perguruan tinggi, aktifis NGO maupun para profesional,” ujarnya.

Perkebunan

Agenda lain dari Amunisi adalah fokus pada informasi terkait pengelolaan hutan, lahan, dan  perkebunan. “Sebelum maraknya pertambangan batubara di Sumsel, perkebunan merupakan pengguna utama dari hutan dan lahan yang ada,” kata Syamy.

Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS) menuturkan berbagai konflik di masyarakat yang terjadi hingga saat ini, lebih banyak terjadi di sektor perkebunan. Menurutnya, sudah saatnya informasi terkait dengan perkebunan, seperti perkebunan sawit, harus dibuka ke publik, sehingga didapatkan fakta dan data sebenarnya. Dengan begitu, kontrol lingkungan dapat dijalankan.

“Jangan sampai seperti data batubara, antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten berbeda. Sehingga, sulit dilakukan kajian atau evaluasi mengenai dampak lingkungannya,” timpal Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel.

Mengenai upaya mendapatkan data dan informasi terkait perkebunan tersebut, Nunik Handayani dari FITRA Sumsel, berharap para kepala daerah benar-benar mendukungnya. “Setidaknya menjadi perhatian. Jika terkesan menutupi dan ternyata ditemukan banyak persoalan, kepala daerah ini akan mendapatkan citra negatif dari masyarakat. Lebih baik terbuka saja,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Exit mobile version