Mongabay.co.id

Masyarakat Adat Menagih Janji Jokowi, Apakah Itu?

Presiden Joko Widodo berkomitmen akan menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat adat, dari pengakuan hak sampai merivisi beragam aturan yang menyulitkan. Namun, hingga kini tampaknya baru sebatas janji, karena belum ada implementasi di lapangan. Hak masyarakat adat belum diakui, kriminalisasi masih terjadi di mana-mana.

“Enam komitmen presiden masuk prolegnas tetapi gagal diperjuangkan masuk prioritas 2015,” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kala temu media “Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan Peluncuran Roadshow Film Siapa Lagi Kalau Bukan Kita” di Jakarta, Selasa (10/3/15).

Tak pelak, hingga kini, pengakuan hak-hak masyarakat adat masih angan. Hak-hak warga, kata Abdon, terabaikan, terdiskriminasi, kriminalisasi dan tanpa pelayanan.  “Wilayah adat serba tak pasti. Mereka juga anut agama leluhur, mereka tak dapat KTP. Padahal, mereka itu bangunan dasar negara ini. Mereka tak bisa dapat KTP, tak dapat surat nikah, lalu anak tak dapat akte kelahiran, dampak tak bisa sekolah. Masyarakat adat seperti ini banyak.”

Selama ini, katanya, administrasi pertanahan wilayah adat hanya lewat individu. Padahal, dalam UU Pokok Agraria ada aturan soal tanah ulayat (adat). “Tapi administrasi untuk wilayah-wilayah adat tak ada.”

Bukan itu saja. Masyarakat adat, katanya, tak ada dalam peta nasional hingga tak heran kala pemerintah memberikan izin-izin memunculkan konflik. “Eksistensi masyarakat adat tak ada. Jadi, masyarakat adat belum sepenuhnya jadi warga  negara dan bangsa Indonesia.”

Abdon mengatakan, komitmen pemerintah Jokowi ingin menghandirkan negara untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat. “AMAN bilang, kalau mau hadirkan negara, hadirkan dulu masyarakat adat di dalam negara. Peta-peta wilayah adat masuk dulu ke peta nasional. Komunitas ini terdaftar dulu. UU segera bereskan, selesaikan konflik-konflik agraria.  Jangan sampai negara mau hadir nanti malah hadir di antara para bandit yang mengatasnamakan masyarakat adat.”

AMAN juga mengusulkan selain Satgas Masyarakat Adat juga ada satgas yang mengurusi sengketa atau konflik agraria.

Selain itu, katanya, Jokowi, juga berkomitmen meninjau ulang aturan-aturan yang menyulitkan masyarakat adat.  Sebab, selama ini, pemerintah lewat kementerian sibuk berbicara masyarakat adat tetapi hanya buat dapat alokasi anggaran. “Dana besar tapi proyek. Mereka berebut proyek. Misal, pemukiman, pembinaan masyarakat adat. Di pariwisata ada,  wisata desa adat. Ketika ada masalah dan kriminaliasi semua lepas tangan. Kementerian itu hanya urusi urusan proyek masyarakat adat.”

Untuk itu, presiden berjanji membuat komisi independen agar ada yang benar-benar mengurus masyarakat adat, bukan hanya urusan proyek. “Komitmen-komitmen inilah yang ingin dikawal AMAN,” ucap Abdon.

Rakernas AMAN

Sejalan dengan itu, pada 15-19 Maret 2015, AMAN akan melaksanakan rapat kerja nasional (rakernas) di Sorong, Papua. Pada puncak acara, 17 Maret, rencana dihadiri Presiden Jokowi.

Menurut Abdon, Rakernas ini penting untuk memastikan posisi masyarakat adat menjadi warga negara sepenuhnya. “Jadi bagian warga Indonesia dan bangun dengan warga Indonesia yang lain. Itu yang akan kami bicarakan di rakernas.”

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13) Mereka meminta pengembalian tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat tinggal dan hutan mereka turun menurun. Hingga kini, belum ada kejelasan mengenai hutan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi

AMAN khusus meminta kepada presiden, kata Abdon, agar menghentikan kriminalisasi, seperti dialami Boku dan Nuhum di Maluku Utara, baru-baru ini.

AMAN juga mengajak presiden memulai proses rekonsiliasi nasional. “Kalau tak mulai, maka umur Indonesia tak akan panjang. Mengapa? Karena persoalan pengabaian hak-hak masyarakat adat ini jadi amunisi gerakan separatis di berbagai daerah.” Sebab, hak-hak dasar dasar soal tanah, KTP tak bisa dipenuhi negara. “Kalu gitu ngapain jadi RI kalau tak diakui penuh oleh negara.”

Untuk itu, kata Abdon, harus ada pemulihan agar masyarakat adat menjadi bagian warga negara setelah 70 tahun diabaikan.

Apa indikator-indikator pemulihan itu? Menurut Abdon, masyarakat adat bisa hidup aman di wilayah sendiri dan memiliki kejelasan status serta bisa membangun.

Jaleswari Pramodhawardhani, Staf Khusus Sekretaris Kabinet mengatakan, betapa kompleks dan rumit masalah masyarakat adat ini. Dia sepakat satgas masyarakat adat dan penyelesaian konflik segera terbentuk sejalan dengan keinginan presiden. Sayangnya, sebagai perwakilan pemerintah, Jaleswari belum  bisa memberikan jawaban pas kapan satgas itu bisa terbentuk. Meskipun dia menyadari, program-program prioritas pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah berpotensi menjadi masalah besar dan konflik baru jika status masyarakat adat belum jelas.

“Kalau tak jadi fokus presiden dan kementerian akan jadi konflik besar. Dengan begitu, satgas khusus seperti yang diusulkan ini tak terelakkan, harus dibuat,” kata Jaleswari.  

Film dan pameran foto

Dalam rangkaian Hari Kebangkitan Masyarakat Adat ini, AMAN dan INFIS juga meluncurkan roadshow “Siapa Lagi Kalau Bukan Kita.” Ia berupa pamerah foto dan film pendek tentang masyarakat adat di Indonesia dan beberapa negara lain dalam melindungi hutan mereka.

Dari Indonesia, film dan foto antara lain, mengisahkan perjuangan dan kehidupan masyarakat adat Tobelo Dalam di Maluku Utara juga masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Dalam film itu tergambarkan, bagaimana masyarakat adat hidup bergantung dari hutan, tetapi izin-izin pemerintah dan kehadiran investor, mengancam hutan adat mereka.

Roadshow film ini mulai 10–29 Maret 2015, dimulai di Jakarta, Sorong, Toraja, dan ditutup di Bogor, Jawa Barat.  Rangkaian acara ini juga ada Bagian diskusi, dan pameran foto.

Film dan foto yang dibuat ini akan menjadi kampanye masyarakat adat menuju Conference  of Parties (COP) ke-21 di Paris.

Paul Redman, Direktur Handcrafted Films mengatakan, film dan foto ini hasil kerja keras tim selama lebih dua tahun. Mulai dari Indonesia hingga Peru, program ini melibatkan partner lokal.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN (dari kanan), Jaleswari Pramodhawardhani, Staf Khusus Sekretaris Kabinet, Candido Mezua, Masyarakat Adat Amerika Latin–COONAPIP dan Paul Redman, Direktur Handcrafted Films. Foto: Sapariah Saturi
Enam prioritas utama perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dalam Nawa Cita:1. Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Khusus, berkaitan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum
sebagaimana yang telah ditetapkan MK 35/2012.2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir berlanjut hingga ditetapkan sebagai Undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi
sebagaimana yang diusulkan oleh DPR, AMAN, dan berbagai komponen masyarakat sipil lain.3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam MK 35/2012.

4. Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini.

5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan
yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.

6. Memastikan penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa.

Sumber: Dokumen Nawa Cita Jokowi

Exit mobile version