Mongabay.co.id

Upaya Memulihkan Hubungan Masyarakat Adat dengan Negara, Bagaimana Caranya?

Sejak awal, negara Indonesia mengakui keberadaan masyarakat adat yang tertuang dalam UUD 1945. Sayangnya, dalam perjalanan, keberadaan masyarakat adat seakan terlupakan hingga hak-hak terabaikan, wilayah-wilayah, dan hutan-hutan mereka terampas. Pemerintah membagi-bagi hutan tanpa menganggap mereka ada. Tak pelak, hampir 70 tahun negeri ini merdeka, masyarakat adat terjajah.  Perampasan-perampasan hutan adat menyebabkan, mereka tersingkir dan konflik-konflik lahan terjadi di berbagai daerah.

“Awal pembentukan Indonesia posisi masyarakat adat sebagai pondasi berdiri negara. Memang dalam konstitusi kita, UUD, masyarakat adat punya hak asal usul. Negara mengakui, menghormati dan melindungi. Itu posisi masyarakat adat di awal-awal merdeka. Namun, pelaksanaan hak konstitusional itu sampai 70 tahun memang belum ada,” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sorong.

Kini, pemerintahan Joko Widodo-Jusul Kalla, berjanji hadir memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat adat. Bagi AMAN, saat ini bisa menjadi masa rekonsiliasi dari negara atas puluhan tahun pengabaian kepada masyarakat adat. Bagaimana membangun rekonsiliasi? Inilah yang menjadi tema besar dalam rapat kerja nasional (Rakernas) IV AMAN di Sorong  ini.

Abdon menceritakan, pasca kemerdekaan, dalam situasi kevakuman hukum, muncullah UU sektoral, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan lain-lain. “Masyarakat adat belum sempat diurus. Begitu masuk orde baru, UU sektoral masuk main terabas saja.  Izin-izin HPH dibuat di atas meja di kantor-kantor di Jakarta hanya berdasaran peta-peta yang sama sekali tak bisa diandalkan,” katanya.

Pemerintah, katanya, bergerak menggunakan peta zaman Belanda. Saat itu,  boleh dikatakan sebenarnya Indonesia minim data. Namun, dengan data sedikit itu pemerintah mengeluarkan izin-izin. “HPH timbulkan masalah di seluruh Indonesia. Urusan HPH belum selesai, masuk lagi sawit,  HTI dan tambang.”

Dampaknya, masyarakat adat menjadi tak merdeka karena tanah-tanah malah terampas.  “Investasi masuk justru masyarakat adat tak tahu.”

Dengan begitu, katanya, tak terelakkan kala proyek pembangunan hadir hampir semua berbenturan dengan masyarakat adat. Sebab, kata Abdon, administrasi tanah-tanah adat itu belum ada. “Situasi seperti ini mestinya menjadi agenda penting. Ada rasa sekarang ini, masyarakat adat belum seperti warga negara.”

Rekonsiliasi pun, ditawarkan. Mengapa konsep rekonsiliasi? Karena, kata Abdon, seluruh perbuatan orde baru itu tak mungkin bisa terbayar dengan uang.  “Mungkin semua APBN dipakai tak akan lunas. Maka pendekatan rekonsiliasi. Oke masa lalu, itu gak mungkin kita bisa kembalikan. Yang bisa dilakukan mencegah kejadian seperti masa lalu itu tak terulang di masa depan,” ujar dia.

Menurut Abdon, tanah-tanah adat yang berlubang oleh tambang tak mungkin kembali baik dalam waktu dekat,   hutan-hutan dan tanah-tanah yang berubah menjadi limbah beracun tak akan bisa pulih. “Yang bisa dipulihkan itu rasa kebersamaan dengan satu upaya serius mencegah di masa depan terulang. Karena itu, memang kita minta ini di rakernas kepada Presiden Jokowi.”

Dalam rakernas ini, Jokowi akan diwakili Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo dan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Berharap kedua menteri ini hadir membawa pesan dari presiden,  bukan hanya sebagai kepala pemerintahan juga kepala negara.  Jadi kita belum tahu apa yang disiapkan. Pesan itu yang ingin kita dengarkan.”

Selain itu, katanya, dalam kaitan rekonsiliasi ini, presiden sedang menyiapkan satuan tugas (satgas) untuk megurus masyarakat adat. “Rakernas akan perbincangkan ini.”

Dia mengatakan, AMAN bersama berbagai pihak, seperti BP REDD+ kala itu telah menyerahkan rancangan satgas ke presiden. Dari pemerintah, berjanji usulan itu akan menjadi rancangan utama dalam penyusunan keputusan presiden ditambah masukan-masukan lain dari berbagai pihak.

Abdon menjelaskan, salah satu  usulan tugas satgas ini menjadi tangan presiden memeriksa seluruh persoalan dengan masyarakat adat. “Termasuk memeriksa masyarakat adat yang kini di penjara supaya bisa keluar lewat berbagai mekanisme hukum dan kenegaraan. Ada 150 orang terkriminalisasi.  Ada di penjara atau dalam status tersangka walau tak di penjara. Ada juga sudah di luar penjara tapi oleh masyarakat dianggap penjahat. Hingga nama mereka harus direhabilitasi.”

Dalam usulan satgas itu, juga menyiapkan kerangka kerja untuk presiden terkait masyarakat adat baik peraturan perundangan-undangan maupun kelembagaan. “Mudah-mudahan dapat kita hasilkan dari kehadiran Mendagri dan Menteri LHK ini.”

Sementara itu, pembukaan rakernas AMAN akan berlangsung, Selasa (17/3/15) di Lapangan Waronai, Kabupaten Sorong. Acara akan diawali dengan parade budaya. Lalu akan ada penampilan kesenian dan pagelaran malam budaya sampai permainan tradisional.

Selama rakernas, 16-20 Maret 2015,  juga diadakan beberapa kegiatan lain seperti  pameran produk masyarakat adat bersama Gerai Nusantara, pameran foto dan pemutaran film-film dokumenter berkaitan dengan masyarakat adat, dalam “If Not Us Then Who.” Lalu, bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif AMAN, pameran pemetaan wilayah adat.

Exit mobile version