Pernah mendengar kata tembawang? Tembawang merupakan penyebutan umum yang biasa digunakan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Istilah ini merujuk pada sebidang lahan beserta tumbuhan di atasnya yang dimiliki oleh suatu komunitas adat.
Meski ada perbedaan penyebutan di beberapa kelompok, seperti kobunt, kampunk temawank, atau kebun kelokak, namun, apapun istilahnya tembawang tetap memiliki arti sebidang lahan yang tanamannya dapat dimanfaatkan secara ekonomi, ekologi, serta adat budaya bagi sekelompok masyarakat.
Lokasi tembawang tidak serta-merta dekat permukiman masyarakat. Dalam Buku Palasar Palaya’ Pasaroh terbitan Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakat Pancur Kasih 2013, tembawang didefinisikan sebagai lokasi bekas permukiman warga baik perorangan maupun kelompok. Meski begitu, menurut Stephanus Banjing dalam Buku Temawakng Kaloka Suku Dayak Koman, lokasi bekas permukiman yang dapat dikategorikan tembawang adalah jika di areal tersebut terdapat berbagai jenis tanaman dan buah-buahan.
Bagaimana nasib tembawang hari ini? Khairuddin Zacky, dari Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) menyatakan, nasib tembawang saat ini menghadapi ancaman serius. “Saat ini, tidak ada optimalisasi peremajaan tanaman sebagai dampak dari keterbatasan penguasaan dan penggunaan teknologi masyarakat.”
Menurut Khairuddin, permasalahan paling mendesak yang dihadapi saat ini adalah belum adanya pengakuan dan perlindungan tembawang dalam bentuk kebijakan daerah. Faktor ini membuat tembawang tergeser dan berubah menjadi investasi berbasis hutan dan lahan,” ujarnya saat rapat dengar pendapat denga Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat, Selasa (24/3/2015).
Liu Purnomo, Manajer Kampanye Sampan pun menuturkan, berdasarkan identifikasi wilayah dan tutupan hutan tahun 2013 yang dilakukan Sampan di Kabupaten Melawi, dari total wilayah Melawi 10.640,80 km persegi hanya 411,673.40 hektar saja yang memiliki tutupan hutan. “Bahkan, wilayah hutan tersebut sudah dikapling untuk kegiatan pertambangan, perkebunan sawit, dan perkebunan kayu. Dengan kata lain, perlahan dan pasti, Melawi akan kehilangan tembawang,” ujarnya.
Upaya meningkatkan hasil tembawang agar bernilai ekonomi telah dilakukan. “Tengkawang, tanaman khas tembawang, yang merupakan bahan baku untuk pembuatan minyak nabati terbaik dibandingkan kelapa sawit, tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat,” ujar Hardian Susanto, Pendamping Sampan untuk masyarakat Tembawang Melawi.
Terkait tengkawang, Agustine Lumangkun, peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, menjelaskan bahwa vegetasi tengkawang saat ini telah berkurang 50-70 persen. Padahal, tengkawang memiliki filosofi mendalam bagi masyakat Dayak. “Semua terjadi akibat deforestasi, termasuk tergusurnya tembawang yang di dalamnya terdapat tanaman bernilai tinggi sebagaimana tengkawang,” ujarnya.
Menurut Liu, agar tembawang tetap terjaga haruslah ada kepastian hukum dalam bentuk kebijakan daerah. ”Menyelamatkan tembawang sama dengan mempertahankan identitas dan kearifan masyarakat.”
Pernyataan Liu senada dengan harapan Nian, masyarakat dari Melawi. Menurutnya, pemerintah Kalimantan Barat harus mendengarkan tuntutan masyarakat mengenai hak kelola adat. “Kami ingin adanya pengakuan yang menjamin bahwa kami sebagai masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayah kami, termasuk tembawang di dalamnya.”
Menanggapi permasalahan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Gusmin Taurita, mengatakan bahwa program inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (IP4T) diharapkan memberikan solusi terhadap konflik lahan di Kalimantan Barat. “Program ini juga memberikan ruang terhadap masyarakat untuk dapat mengelola lahan komunal yang memiliki fungsi ekologi dan ekonomi,” ujarnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio