Mongabay.co.id

Ajak Berjuang Bersama Warga, Presiden Diminta Tak Banding Putusan Privatisasi Air Jakarta

Kalangan masyarakat minta pemerintahan Joko Widodo tak mengajukan banding terhadap putusan pengadilan soal privatisasi air di Jakarta, yang dimenangkan warga dan mengalahkan perusahaan swasta. Mereka minta Presiden Jokowi berjuang bersama warga, dan percaya bahwa Pemda Jakarta bersama Gubernur Basuki Purnama, mampu mengelola air dengan efisien dan memenuhi pelayanan air kepada semua warga.

“Kami minta pesan ini disampaikan ke Presiden Jokowi dalam rapat kabinet. Pemerintah tidak usah banding!” kata Suhendi Nur, kepada Menteri Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat, Basuki Hadi Mulya, ketika memberikan buku Tata Kelola Air di Paris, usai diskusi di Jakarta, Rabu (8/4/15).

Suhendi salah satu dari 12 penggugat privatisasi pengelolaan air Jakarta. Dia menyerahkan buku berisi tanda tangan beberapa tokoh plus pesan kepada Presiden, Wakil Presiden dan anggota kabinet lain, termasuk Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung. Pesan mereka, agar Jaksa Agung Prasetyo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, selaku penasehat hukum Presiden Jokowi, menerima keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bulan lalu serta tak mengajukan banding seperti perusahaan swasta: PT PAM Lyonnaise Jaya serta PT Aetra Air Jakarta.

Para penanda tangan buku itu antara lain, Yenny Wahid (Wahid Institute), Bambang Widjayanto (Wakil Ketua KPK non aktif), Arief Maulana (LBH Jakarta), Nila Ardhianie (Amtra Institute), Andreas Harsono (Human Rights Watch) dan David Boys (Dewan Penasehat Sekjen PBB untuk Urusan Air dan Sanitasi).

Suhendi mengatakan, “Gugatan warga menang. Putus kontrak Palyja dan Aetra. Karena jelas-jelas putusan Mahkamah Konstitusi juga menyatakan, pengelolaan air oleh negara.”

Pemerintah, katanya, tak perlu ragu menjalankan putusan pengadilan. Pemerintah harus percaya diri bahwa, pemerintah daerah Jakarta bisa mengelola air. “Kalaupun nanti, perusahaan operator mengajukan gugatan arbitrase dan negara kalah, anggap saja itu bayaran atas kesalahan masa lalu,” katanya.

Keputusan pengadilan, ucap Suhendi, harus segera dilaksanakan. “Kalau makin mengambang, itu yang diharapkan operator … agar ganti rugi lebih banyak.”

Sejak Februari 1998, pengelolaan air Jakarta dikuasai perusahaan swasta PT PAM Lyoinnaise Jaya (wilayah sebelah barat Sungai Ciliwung) dan PT Aetra Air Jakarta (sebelah timur). PAM Jaya juga masih ada sebagai pihak yang bekerja sama dengan kedua perusahaan swasta itu.

Pada November 2012, penggugat ini melakukan citizen law suit dengan kuasa hukum LBH Jakarta. Mereka berpendapat privatisasi cacat hukum dan harus dibatalkan. Alasannya, pada 1995, ketika Presiden Soeharto memerintahkan privatisasi, pemerintah tak membuka tender. Soeharto hanya tunjuk Salim Group serta putranya Sigit Hardjojudanto untuk menguasai PAM Jaya. Sidang ini berjalan lebih dari dua tahun dengan berbagai argumentasi menarik.

Pada 26 Maret 2015, Pengadilan Negeri Jakpus mengabulkan gugatan Suhendi Nur dan kawan-kawan. PAM Lyoinnaise Jaya dan Aetra Air Jakarta, kalah.

Pada Februari 2015, Mahkamah Konstitusi juga membatalkan UU UU Sumber Daya Air tahun 2004. MK berpendapat air harus dikelola negara, bukan perusahaan swasta. MK berpendapat swasta baru bisa diberi izin mengelola air bila ada kelebihan dari hasil pengelolaan negara.

Menurut Yenny Wahid, selama privatisasi berjalan, tercipta sistem yang tak adil dan tak transparan. “Ini harus dibenahi.”

Dia mengimbau, pemerintah lebih percaya diri dan meminimalisasi peran swasta dalam pengelolaan air. “Swasta itu banyak biaya-biaya yang sebenarnya tak perlu ditanggung warga.” Yenny memberi contoh, perusahaan swasta itu, yang sebagian direksi berasal dari Perancis, banyak menggunakan tenaga-tenaga Perancis, yang juga ditanggung sampai sekolah anak-anak mereka. Biaya-biaya itu semua menjadi beban warga. “Pemerintah harus cukup pede-lah. Kalau mau libatkan swasta, misal jadi konsultan. Tetapi pengawasan dan pengelolaan itu pada pemerintah. Bukan swasta.”

Suhendi Nur, salah satu penggugat privatisasi air Jakarta, saat memberikan buku yang berisi pesan kepada Presiden Jokowi dan jajaran kabinetnya di Jakarta, Rabu (8/4/15). Foto: Sapariah Saturi 

Laksanakan putusan pengadilan

Arif Maulana dari LBH Jakarta mengatakan, keputusan MK soal pembatalan UU Sumber Daya Air dan PN Jakarta Pusat tentang privatisasi air merupakan hal bersejarah. “Tetapi jadi tak penting kalau tak dilaksanakan pemerintah.”

Gugatan warga, katanya, karena alasan kuat seperti kerja sama privatisasi air di masa Orde Baru itu menabrak konstitusi, tak transparan, syarat KKN, merugikan negara dan masyarakat, dan pemerintah tak pernah hadir di masyarakat. “Kini, Jokowi akan selesaikan masalah ini atau mendiamkan?”

Kemenangan rakyat ini, kata Arif, tak cukup dijalankan hanya dengan penghambilalihan oleh pemerintah daerah. Namun, harus bisa memastikan bahwa, pengelolaan ke depan transparan dan bertanggung jawab. “Serta hak atas air warga harus terpenuhi.”

Basuki Hadi Mulyo, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mengatakan, keputusan pengadilan harus dihormati. Soal banding atau tidak, menurut Basuki, tergantung dari Menteri Hukum dan HAM dan Jaksa Agung. “Mereka adalah penasehat hukum pemerintah,” katanya.

Kementerian yang dipimpin Basuki, tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah yang baru sesuai keputusan MK. “Ini momentum untuk kembali ke pemerintah. Sumber daya air harus jadi tanggung jawab negara,” ucap Basuki.

Untuk penyusunan rancangan peraturan pemerintah ini, dia mengajak masyarakat sipil terlibat. “Bikin aturan ini, PU akan hearing dengan semua stakeholder. Ini bukan aturan Kementerian PU. Ini aturan semua.”

Tak berpengaruh buruk bagi investor 

David Boys, mengimbau, pemerintah mengambil kembali pengelolaan air ke tangan pemerintah daerah. “Ini keputusan paling populer.” Di dunia,  sudah ada 235 kota dimana manajemen air diambil dari swasta oleh pemerintah daerah. Ia termasuk Paris, Atlanta, Buenos Aires, Berlin, sampai Dar es Salaam, Kuala Lumpur. Istilahnya, remunicipalization dari kata “municipality” atau “pemerintah daerah.”

Dia menekankan, pengambilalihan kelola dari swasta ke pemerintah daerah ini, tak akan membawa pesan negatif kepada investor luar. Di Amerika Serikat, sebagai negara yang paling ramah terhadap investasi, sudah ada 58 kota membawa pengelolaan air ke pemerintah.

Jadi, pemerintah Indonesia tak perlu ragu menjalankan putusan pengadilan. Bahkan, pengambilalihan oleh pemerintah ini menjadi pesan kepada dunia bahwa pemerintah harus memenuhi kebutuhan air bagi semua warga, bukan hanya orang kaya. “Jadi ini bukan suatu yang mengerikan. Pemerintah harus percaya diri. Ini jalan yang benar.”

Menurut Boys, banyak tenaga pengelola air di Paris maupun Buenos Aires, merasa berbesar hati dengan keputusan pengadilan Jakarta. Mereka sadar, ada persoalan teknis, termasuk software manajemen air, yang cukup pelik bila suatu pengelolaan dipindah dari swasta ke daerah. Namun, mereka bersedia membantu bila diperlukan di Jakarta.

“Paris sudah empat tahun lalu. Hasil mengesankan, tak hanya biaya lebih rendah, tarif turun. Tetapi juga ada inisiatif kerja sama dengan para petani di daerah tangkapan air untuk memperbaiki lingkungan mereka,” kata Boys.

Aksi warga menolak privatisasi air Jakarta dan mendesak pemerintah daerah segera memutus kontrak kerja sama dengan operator swasta. Foto: Change.org
Exit mobile version