, ,

Ubi Hutan Ini Beracun Tetapi Banyak Manfaat

Sikapa. Begitu warga Kampung Lamoro, Desa Massewae, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, menyebut tanaman ini. Ia sejenis umbi-umbian di hutan. Dulu, ubi ini makanan utama masyarakat setempat. Kini, tak banyak yang mengkonsumsi, meski diyakini banyak manfaat bagi kesehatan.

Siang itu, Minggu (19/415), saya baru tiba di kampung yang di kelilingi sejumlah bulu atau gunung-gunung kecil, antara lain Labutime, Ulutau, Bulu Mimpalu dan Lebani. Ada sekitar 25 keluarga mendiami kampung kecil ini. Mereka semua petani hutan.

“Di sini ada ubi beracun bisa dimakan,” kata Aris, seorang warga desa, nyeletuk.

Saya penasaran. Dia segera menyuruh warga lain masuk ke hutan. Sekitar 10 menit orang itu kembali membawa sikapa, utuh dengan umbi.

“Kami menyebut sikapa. Tidak tahu nama Indonesianya, Di hutan banyak sekali. Gampang tumbuh, tanpa ditanam,” kata Aris.

Menurut dia, mudah menemukan sikapa di hutan dan mudah tumbuh. Pertumbuhan sangat cepat bisa sampai tiga sampai empat meter. Ia bisa menjadi tanaman rambat jika tumbuh di sekitar pohon besar. Tanaman ini memiliki batang berduri kecil, hingga harus hati-hati kala mencabut.

Sikapa sebenarnya ubi hutan, biasa disebut gadung (Dioscorea hispida Dennst.), termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae. Bentuk bulat lonjong, mirip sirsak berwarna coklat muda, dengan bintik-bintik pada umbi.

Di banyak hutan, tanaman ini mudah ditemukan, meski dengan nama berbeda-beda. Sejumlah nama lokal ubi hutan ini antara lain siaffa (Sinjai Sulsel), kolope (Bau-bau). Ada juga menyebut O Wikoro (Konawe Selatan), bitule (Gorontalo), gadu (Bima), iwi (Sumba), dan kapak (Sasak).

Menurut Aris, makanan ini sebenarnya menyehatkan dan memiliki khasiat mengobati penyakit tertentu. “Orang dulu tak ada kena penyakit gula karena selalu makan ubi ini. Mereka sehat-sehat dan panjang umur,” katanya sambil menunjuk beberapa orang lanjut usia, yang mengerumuni kami.

Meski menyehatkan, minat warga mengkonsumsi mulai hilang karena tergantikan beras. Apalagi, mengolah ubi ini memerlukan keterampilan tersendiri. Jika tak diolah baik, bisa menyebabkan keracunan bahkan kematian.

“Dulu ada salah olah, dia muntah-muntah dan tenggorokan seperti terbakar. Nanti sembuh setelah diberi air kelapa. Sekarang banyak takut makan.”

Sejumlah penelitian menyebutkan, getah ubi ini mengandung  zat  toksik yang dapat terhidrolisis hingga terbentuk asam sianida (HCN). Efek HCN yang dirasakan kala memakan ubi hutan tanpa pengolahan baik, yaitu tidak nyaman ditenggorokan, pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan.

Sebenarnya, mengolah ubi ini menjadi makanan sangat sederhana. Di Lamoro, kata Aris, dulu warga merendam ubi dengan air campuran kayu seppang, di tanah yang digali sebagai sumur kecil. Ubi direndam selama tiga hari, lalu dikeringkan. Tujuan perendaman, untuk menghilangkan getah beracun.

Sikapa tumbuh liar di dalam hutan dan mudah tumbuh dimana saja, dan segala musim. Bahkan pada saat musim kemarau panjang pun tanaman ini masih bisa mudah ditemukan di dalam hutan. Dahulu pernah menjadi makanan utama di Kampung Lamoro. Foto: Wahyu Chandra
Sikapa tumbuh liar di dalam hutan dan mudah tumbuh dimana saja, dan segala musim. Bahkan pada saat musim kemarau panjang pun tanaman ini masih bisa mudah ditemukan di dalam hutan. Dahulu pernah menjadi makanan utama di Kampung Lamoro. Foto: Wahyu Chandra

Cara lebih praktis dengan mencuci di air mengalir, sampai getah benar-benar habis.  Cara memasakpun sederhana. “Bisa dikukus, lalu dimakan dengan kelapa muda diparut  dan ikan tarawani. Rasanya enak sekali.”

Ada juga yang membuat keripik ubi, dengan mengiris tipis dan dikeringkan.

Serat dan kalsium tinggi

Menurut Nurbaya, peneliti gizi dari Politekes Mamuju, Sulawesi Barat, dibanding beras atau singkong,  nilai gizi ubi hutan sebenarnya lebih rendah tetapi kandungan serat dan kalsium tinggi. Total energi sikapa 100 Kal, karbohidrat 23,5 gr, protein 0.9 gr dan lemak 0,3.

“Kandungan energi memang sedikit, lebih rendah dibandingkan singkong. Namun kandungan serat jauh lebih tinggi 2,1 gr, dibandingkan singkong hanya 0,9 dan  beras 0,2. Kandungan serat tinggi inilah yang memperlambat penyerapan gula dalam darah. Sangat baik untuk penderita diabetes mellitus.”

Sikapa juga mengandung kalsium sangat tinggi yaitu 79 mg. Kalsium ini untuk kesehatan tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan.

Menurut Nurbaya, pangan lokal sikapa ini seharusnya dilestarikan. Tak hanya karena kandungan gizi baik juga salah satu diversifikasi pangan.

“Pandangan masyarakat sebaiknya mulai diubah, sumber karbohidrat makanan pokok tidak mesti beras. Masyarakat dapat memanfaatkan pangan lokal lain yang kaya karbohidrat seperti ubi hutan.”

Namun, katanya, menjadi kendala besar mempromosikan sikapa sebagai sumber pangan karena beracun. Pengolahan  harus berhati-hati dan perlu waktu lama.

Ada yang menjadikan bahan pangan tetapi lebih karena keterpaksaan. Nurbaya mencontohkan, di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) beralih ke ubi hutan, sebagai pengganti beras dan jagung karena gagal panen. Mereka mengkonsumsi ubi hutan sambil menunggu beras bantuan pemerintah.

Menurut Nurbaya, kelebihan ubi ini mudah diperoleh di hutan, karena bisa tumbuh dalam segala musim. Bahkan, di musim kering tanaman ini bisa bertahan.  Budidayapun relatif mudah.

Di Malaysia, ubi ini menjadi arak setelah proses fermentasi. Mereka menyebut ubi arak. Ia juga efektif mengobati penyakit tertentu.

“Di beberapa literatur disebutkan manfaat lain ubi hutan ini untuk pengobatan kusta tahap awal bahkan rematik dan luka akibat sifilis.”

Di Kampung Lamoro, saat ini sikapa lebih popular sebagai bahan pembuatan pupuk. Warga kerap mensuplai berkarung-karung ubi untuk perusahaan pembuatan pupuk di situ. Pada masa-masa panceklik,  sikapa sering menjadi makanan alternatif pengganti beras.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,