Mongabay.co.id

Koalisi: Lembaga P3H Bukan Jawaban buat Jerat Korporasi

Masih ingat dengan kasus Nenek Asyani, yang dihukum satu tahun penjara gara-gara mengambil beberapa batang kayu di hutan? Atau beberapa orang warga adat Semende Agung di Bengkulu, yang terkena hukuman lebih tiga tahun dengan denda miliaran karena berkonflik lahan dengan suaka margasatwa? Mereka ini antara lain ‘korban’ penerapan UU P3H.  Padahal, kehadiran UU ini digadang-gadang pemerintah, buat menjerat kejahatan korporasi tetapi setahun lebih berjalan, hanya menyasar rakyat kecil, dari masyarakat adat, dan petani. 

Kini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah mempersiapkan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) sebagai bagian dari pelaksanaan UU P3H. Untuk itu, organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan mendesak penghentian pembahasan lembaga ini karena UU P3H bermasalah dan sedang pengujian materi di Mahkamah Konstitusi. Koalisi berpandangan, pembentukan lembaga ini bukan jawaban buat efektivitas menjerat korporasi.

Munhur Satyahaprabu, Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional mengatakan, masalah penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan hutan maupun korporasi bukan pada lembaga baru. “Tetapi upaya keseriusan penegakan hukum oleh pemerintah. Keseriusan pemerintah buat ungkap penjahat itu,” katanya di Jakarta, pekan lalu.

Dia mengatakan, penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan korporasi sulit bahkan seakan dilindungi di negeri ini karena banyak menyangkut eksistensi partai politik.

Menurut dia, tak kurang aturan hukum buat menjerat para penjahat ini, dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan sampai UU Tipikor,  tersedia.

Kritik senada datang dari Andi Muttaqien, Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet). Dia mendesak pemerintah menghentikan pembahasan LP3H sampai keluar putusan MK atas uji materil UU P3H. Pada September 2014, koalisi masyarakat sipil dan perwakilan masyarakat adat mengajukan pengujian kembali UU P3H ke MK.

Andi juga menyoroti soal fungsi penyelidikan dan penyidikan LP3H. Lembaga ini, katanya, tak akan memiliki kapasitas garis koordinasi jelas terhadap pihak-pihak yang tergabung di sana. Dalam lembaga ini akan ada polisi, jaksa dan kementerian terkait.

Belum lagi, masalah di negeri ini bukan soal lembaga atau aturan tetapi penegakan hukum lemah.  “Kalau yang terjadi selama ini ketidakmampuan penegakan hukum, lalu bikin lembaga, apakah ini bukan memindahkan penyakit aja? Mana kewenangan tak jelas lagi,” ucap Andi.

Syahrul Fitra dari Auriga menekankan beberapa hal yang memperkuat bahwa LP3H bukan jawaban buat menjerat korporasi. Kejahatan kehutanan, katanya, berawal dari persoalan izin bermasalah. Setidaknya, mengurus satu izin pelaku usaha mesti menyediakan hampir Rp22 miliar. Proses awal pembuatan izin saja, sudah bermasalah, tak pelak memunculkan banyak permasalahan belakangan, salah satu konflik dengan masyarakat.

Lalu, penetapan kawasan hutan belum selesai hingga izin-izin keluar di dalam status hutan belum penetapan, baik  HTI, HPH dan lain-lain.

Pembentukan lembaga ini, katanya,  berpotensi menimbulkan konflik penegakan hukum baru. “Karena ada unsur, polisi, kejaksaan dan kementerian terkait. Misal, kalau KPK masuk di satu kasus korupsi terus LP3H masuk. Bagaimana? Bisa konflik baru.”

Belum ada lembaga saja sudah ada wacana muncul, seperti kasus Gubernur Riau no aktif, Annas Ma’mun yang terjerat UU Tipikor, digiring pakai UU P3H.

Sebenarnya, UU Tipikor dan Pencuacian Uang bisa menyentuh koprporasi.   “Walau, KPK memang baru tahap penyelenggara negara, belum ke korporasi.”

Bukan itu saja. Dalam UU P3H proses persidangan 45 hari. Jika melihat kejahatan korporasi begitu luas, sulit bisa menyelesaikan kasus pelik dalam waktu sependek itu. “Saya pikir terlalu muluk, untuk kejahatan koporasi tak akan cukup waktu 45 hari buat ungkap.”

Judianto Simanjuntak dari Pilnet juga kuasa hukum warga dalam judicial review UU P3H mengatakan, ada kesalahan norma hukum dari pemerintah dalam membentuk UU ini. “Asas legalitas itu bukan hanya buat menghukum juga perlindungan terhadap warga. Ini yang tak ada. Karena selama berlaku, rakyat kecil yang disasar UU.”

UU ini, katanya, mengabaikan ketetapan hukum lain, seperti putusan MK soal masyarakat adat—yang membatalkan pasal-pasal dalam UU Kehutanan.

Putus uji materi UU P3H

Munhur juga mendesak MK segera memutus uji materi UU P3H. “Mengepa segera?  Karena implikasi luar biasa. Ada 53 kasus yang mendasarkan pada UU itu. UU ini represif sekali terhadap warga di lapangan.”

Tak hanya itu. Keputusan MK penting  demi memberikan kepastian kepada masyarakat, karena antara janji dan realitas pemerintah tak sinkron. “UU P3H katanya buat perusahaan tapi sasar masyarakat kecil. Ini jauh dari politik hukum yang didengungkan pemerintah.” Dia meminta, MK mengabulkan uji materi warga terhadap UU P3H. “Karena UU ini mudhorat bagi warga.”

Andi juga meminta kepada MK segera memutus judicial review terhadap UU P3H demi memutus potensi kriminalisasi terhadap warga maupun petani. “Makin lama marak kriminalisasi warga. Kami minta juga polri dan KLHK agar jajaran mereka menhentikan penangkapan warga. Ini bisa hambat proses realisasi 12,5 juta hektar hutan buat rakyat.”

Dia menambahkan, dalam UU P3H disebutkan soal kejahatan terorganisir. Padahal, kala berbicara soal kejahatan terorganisir, jika mengambil acuan PBB, setidaknya mengukur tiga kategori: kejahatan ada modal, ada kekuatan buat melanggar hukum dan kapasitas pelaku buat pengaruhi penegakan hukum. “Melihat kasus-kasus masyarakat lokal sama sekali tak termasuk kejahatan terorganisir dan mereka terjerat hukum ini.”

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membenarkan jika pemerintah sedang menyusun LP3H ini sesuai mandat UU itu. “Iya, ini sedang proses. Uji materi di MK jalan, ini (pembentukan lembaga) juga jalan. Silakan saja.”

Exit mobile version