Mongabay.co.id

Kala Sinta Nuriyah Serahkan Jambul Kuning Pengenang Gus Dur

Sinta Nuriyah, istri almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bersama sang puteri bungsu, Inayah Wulandari Wahid, pagi itu mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada apa? Ternyata, mereka ingin menyerahkan kakatua jambul kuning kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.

“Burung ini ada di rumah buat mengenang Gus Dur,” katanya, kala penyerahan, Senin (18/5/15) di Jakarta. Tampak Sinta, berkaca-kaca kala serah terima si jambul kuning.

Sinta menceritakan, dulu Gus Dur pernah diberi orang seekor kakatua dan sudah bisa benyanyi Indonesia Raya. “Setelah Gus Dur wafat, burung ikut meninggal.”

Buat mengenang suami, Sintapun ingin memelihara kakatua lagi, dan memperoleh jambul kuning. “Hari ini saya serahkan kepada negara untuk menjaganya. Yang ini belum bisa bernyanyi,” kata Sinta, disambut tawa yang hadir dalam penyerahan itu.

Bukan hal mudah bagi Sinta melepas simbol kenangan buat sang suami ini. Namun, dia menyadari, jambul kuning sebagai satwa langka dan dilindungi tak boleh dipelihara, jadi harus diserahkan kepada negara.

Beberapa waktu lalu, dia melihat televisi soal penyelundupan burung dengan cara-cara sangat kejam. Sinta merujuk kejadian beberapa pekan lalu, penyitaan 21 kakatua jambul kuning dari pelaku yang baru turun dari kapal di Surabaya. Paling miris, puluhan jambul kuning ini dimasukkan ke botol air mineral yang sempit. Sebelas ekor dari mereka akhirnya meninggal dunia.

Kakatua serahan warga yang akan dibawa ke Taman Safari untuk penanganan lebih lanjut. Foto: Sapariah Saturi

Pemandangan ini makin mendorong Sinta menyerahkan jambu kuning miliknya. Apalagi, Kementerian LHK membuka posko buat warga yang akan mengembalikan jambul kuning mereka.

“Saya sangat kaget. Kenapa seperti itu. Kenapa hanya karena demi kepentingan diri sendiri mereka mau membunuh binatang. Apalagi binatang langka, seharusnya  dilindungi, disayangi dan jadi kebanggaan bangsa. Kok dirusak. Ini betul-betul harus dihentikan!

Sinta mengatakan, Allah menciptakan bumi dan isi agar ada keseimbangan antara manusia dan mahluk lain, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. “Dalam Alquran, Tuhan ciptakan itu buat kepntingan manusia. Apa yang ada di laut, di bumi, seisinya harus dijaga karena demi kepentingan manusia. Jangan binatang, pohonpun tak boleh ditebang seenaknya sendiri. Semua harus dijaga.”

Dia prihatin dengan maraknya penyelundupan-penyelundupan satwa ini. “Saya rasa bukan hanya kakatua, seperti gajah, penyu, ular, orangutan….itu (mengalami) penyelundupan berlebihan. Itu semua kan akan merusak negara kita. Bumi yang kita tempati ini, karena tak ada keseimbangan antara manusia dan bintang. Artinya, hutan-hutan lindung dan kawasan konservasi harus bersih dari pembalak liar, pemburu liar dan penyelundup-penyelundup ilegal,” kata Sinta.

Namun, dia mengkritisi soal penegakan hukum dan UU No 5 Tahun 1990, yang lemah hingga belum ada efek jera kepada pelaku. “Saya dengar, aturan soal ini tak punya efek jera pada para pelaku. Karena itu banyak elemen masyarakat mendorong agar UU segera diubah.”

Kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan jambul kuning, sangat besar. Hal ini tampak dari respon terhadap petisi online di Change.Org. Petisi ini menyerukan penyelamatan jambul kuning dan revisi UU No 5 Tahun 1990. “Alhamdulillah, saya dengar tadi padi sudah 50.000-an yang mendukung dan tanda tangan.”

Kakatua-kakatua yang diserahkan warga ke posko yang dibentuk KLHK. Foto: Sapariah Saturi

Ajak serahkan satwa

Sinta juga mengajak, warga lain yang masih memiliki jambul kuning atau satwa-satwa langka dan dilindungi lain agar menyerahkan ke negara.

“Saya setuju dengan dilakukan Menteri LHK yang imbau masyarakat yang kadung pelihara binatang-binatang kesayangan agar dikembalikan kepada pemerintah.  Agar dilindungi demi kelangsungan hidup binatang dan manusia di bumi ini,” katanya.

Tak hanya jambul kuning, katanya, juga satwa-satwa lain. “Hingga Indonesia tak jadi langganan musibah. Karena hutan dipotong, satwa diambil, ini timbulkan bencana, longsor, banjir dan lain-lain…”

Namun, dia mengingatkan, agar pemerintah (negara) bisa melakukan pengawasan ketat  agar penyelundupan atau perdagangan satwa ilegal bisa terhenti.

Siti Nurbaya menyambut baik penyerahan jambul kuning ini. “Kenangan terindah yang diserahkan kepada negara. Saya tak dapat terbayangkan, ada mometn-momet indah yang diserahkan negara. ini contoh baik…kami terima dengan baik….” katanya.

KLHK, sejak kasus penyelundupan kakatua dalam botol air mineral langsung membuat posko, salah satu ada di kantor kementerian di Manggala Wanabhakti. Di posko-posko ini warga dapat menyerahkan burung-burung langka dan dilindungi, seperti jambul kuning.

Sampai 9 Mei 2015, katanya, penyerahan burung dari warga sudah 72 ekor—(sampai sore ada penyerahan lagi hingga berjumlah 76 ekor).

Dia mengatakan, setelah diterima, kakatua akan diperiksa dokter hewan, lalu karantina dan rehabilitasi. Penyiapan ‘rumah sementara’ para jambul kuning ini ada tiga, di Tegal Alur, Taman Mini dan Taman Safari.

Kementerian,  juga mempersiapkan rehabilitasi alam salah satu di Pulau Seram, Maluku. “Agar mereka kembali ke habitat di Maluku.”

Siti menyadari, sanksi hukum dalam UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem ringan dengan hukuman maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.

Untuk itu, dia sudah berkonsultasi dengan Komisi IV DPR. “Saya bicarakan dengan Ketua Komisi IV. Sambil dilihat, ada prosedur program legislasi. Akan kumpulkan CSO untuk bahas bikin naskah akademik.”

Toni Sumampau, Direktur Taman Safari mengatakan, dari 70 an kakatua itu, 15 sudah dibawa ke Taman Safari untuk pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu, sebelum karantina dan rehabilitasi. “Ini ada 15 ekor, maksimal kami bisa tangani 25 ekor. Ini harus hati-hati agar memastikan mereka tertangani dengan baik,” katanya.

Mereka, kata Toni,  juga akan melakukan pemeriksaan DNA guna memastikan asal burung. “Agar nanti kalau pelepasliaran tak lepas ke habitat yang salah. Apakah asal burung dari Maluku, atau Papua, itu akan terlihat dari pemeriksaan DNA.”

Menurut dia, penanganan burung-burung yang sudah terbiasa hidup dengan manusia menjadi ‘alamiah’ kembali dan siap lepas liar tak mudah. “Bisa lama, susah diperkirakan. Proses panjang.”

Jambul kuning siap masuk karantina setelah diserahkan warga ke posko KLHK. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version