, ,

Mongabay Travel : Hutan Pelawan, Surga Di Tengah Bangka

Pulau Bangka yang masuk dalam wilayah Provinsi Bangka Belitung memang lebih dikenal sebagai pulau penghasil timah atau karena pantai-pantainya yang indah. Pulau dengan luas seluas 11.693 km2 atau sekira dua kali pulau Bali ini juga menawarkan hal lain selain pantai, museum, dan kulinernya yang menggoda lidah.  Pulau ini menyimpan tempat yang sejuk dan menyejukkan untuk didatangi, yakni Hutan Pelawan.

Hutan  yang terletak di Desa Namang, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, berjarak satu jam perjalanan dari Pangkalpinang, ibukota provinsi Babel. Hutan yang cukup lebat ini seolah menjadi oase di bagi pulau yang sudah tercabik-cabik tambang timah selama ratusan tahun.

Hutan Pelawan yang merupakan hutan rawa ini ditumbuhi berbagai jenis pohon, namun yang paling menonjol adalah banyaknya pohon-pohon pelawan. Pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) dengan batangnya berwarna merah, merupakan salah satu spesies dari famili Myrtaceae, dulu dimanfaatkan masyarakat Pulau Bangka sebagai bahan bangunan, bahan pembuat kapal, ajir perkebunan lada, dan kayu api.

Hutan Pelawan dengan luas 260 hektar menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Selain ditumbuhi berbagai macam pohon dan tumbuhan rawa lain, kawasan ini adalah rumah bagi satwa-satwa melata dan setidaknya 96 spesies burung yang hidup secara bebas.

Menurut pengelola hutan, burung-burung  tersebut sebelumnya hidup di hutan liar di seantero Pulau Bangka, namun akhirnya memilih pindah ke Hutan Pelawan karena habitatnya yang rusak. Inilah salah satu alasan mengapa Hutan Pelawan diproyeksikan menjadi Kebun Raya Bangka (KRB), dengan sebelumnya memperbaiki infrastruktur terutama untuk tujuan konservasi dan penelitian.

Jembatan kayu yang baru jadi, kontras dengan ‘warna’ Hutan Pelawan, Pulau bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto
Jembatan kayu yang baru jadi, kontras dengan ‘warna’ Hutan Pelawan, Pulau bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Secara infrastruktur, hutan lindung yang juga menjadi tujuan wisata ini sudah cukup baik. Pengunjung dimanjakan dengan jalan setapak berpaving dan jembatan kayu berwarna merah menyala, kontras dengan kegelapan hutan, apalagi jika cuaca mendung.

Madu dan Jamur Pelawan

Begitu kita melewati gerbang Hutan Pelawan dan menyusuri jalan setapak, kita akan disambut oleh rimbunnya pepohonan dan dari semuanya, yang paling mencolok memang Pohon Pelawan. Pohon yang kulit kayunya sudah terkelupas akan berwarna kemerahan dan membuatnya paling mudah diidentifikasi. Seolah, inilah nyawa hutan ini.

Betapa tidak? Dari pohon ini, puluhan keluarga menggantungkan mata pencaharian darinya.  Pohon Pelawan adalah tempat hidup sarang lebah liar yang mampu menghasilkan madu yang rasanya pahit. Ini terjadi karena lebah-lebah tersebut mengisap serbuk bunga pohon pelawan, sehingga madu yang dihasilkan terbilang pahit. Madu Pelawan, produk andalan Pulau Bangka ini bersumber dari lebah liar Apis dorsata yang menghisap dari sari bunga dari pohon pelawan.

Pohon pelawan, menjadi tumpuan mata pencaharian banyak orang di Pulau Bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto
Pohon pelawan, menjadi tumpuan mata pencaharian banyak orang di Pulau Bangka, Bangka Belitung. Foto: Akhyari Hananto

Bunga kayu pelawan menjadi makanan lebah liar besar. Lebah itu bisa ditemukan di sejumlah hutan di Asia Tenggara, tetapi kayu pelawan hanya ada di Bangka. Bahkan, belakangan kayu itu hanya bisa ditemukan secara terbatas di Bangka Tengah.

Masyarakat lokal begitu mencintai Hutan Pelawan, karena tentu saja tak ingin sumber mata pencahariannya hilang. Sebuah pilihan yang logis, hutan pelawan yang mereka jaga, hutan pelawan yang mereka lestarikan, memberikan berkah hasil hutan bernilai ekonomis tinggi yang sarat manfaat. Selain dijual di kota, masyarakat pun menjual madu di sekitar hutan tersebut seharga Rp.200 ribu untuk ukuran 300 cc.

Selain itu, pada akar pohon pelawan juga merupakan tempat tumbuhnya jamur yang bisa dimakan yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan kulat pelawan. Kulat pelawan menjadi jamur khas pulau Bangka yang biasanya tumbuh di musim penghujan, dan masa panen jamur ini biasanya setahun dua kali yaitu akhir bulan Maret dan pertengahan September.

Jamur yang tumbuh di sekitar pohon Pelawan. Foto : skalanews
Jamur yang tumbuh di sekitar pohon Pelawan. Foto : skalanews

“Jamur Pelawan ini hidup harus ada musim kemarau setidaknya tiga bulan. Kemudian diperlukan juga hujan paling tidak seminggu. Saat jamur Pelawan ini tumbuh juga harus ada petir atau gledek, seperti itu konon kata cerita orang Bangka,” kata Indra, salah seorang penjual jamur pelawan kering di tempat tersebut.

Jamur yang seluruhnya berwana kemarahan tersebut tumbuh sangat cepat, Saat mulai tumbuh bibitnya, maka dalam empat hari sudah cukup besar. Jamur tersebut juga mesti segera digunakan karena akan membusuk setelah lewat dari tiga hari setelah dipanen. Jamur ini cukup banyak tumbuh di sekitar Hutan Pelawan, dan cukup bisa menghidupi puluhan keluarga yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Pelawan.

Untuk 1 kg jamur kering, dihargai Rp. 1.250.000, dan jamur ini kini bisa dibeli di banyak tempat di Pangkalpinang. Jamur ini oleh masyarakat sekitar biasanya dimasak aneka hidangan dan sangat enak dan menyehatkan. Jamur yang dijual adalah jamur yang sudah dikeringkan.

“Kami berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Hutan Pelawan adalah urat nadi keluarga kami” kata Restu, yang menjual jamur pelawan kering.

Kesadaran akan pelestarian hutan ini memang sangat diperlukan di kawasan yang alamnya sudah begitu rusak seperti pulau Bangka yang sudah digali sejak abad 19 untuk diambil timahnya. Indra, Restu, dan Hutan Pelawan, mungkin mewakili suara masa depan Bangka, yang bisa sejahtera karena memanfaatkan alam dengan menjaga dan melestarikannya, bukan merusaknya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,