Mongabay.co.id

Beban Berat Alam Kala Pembangunan Masih Rakus Lahan

Tampak anak-anak Kampung Selil, Distrik Ulil, Merauke, bermain di areal HGU PT Bio Inti Agrindo. Lahan mereka telah di kelilingi dan menjadi kebun sawit. Foto: Petrus Kindem/WWF

 

 

Pemerintah saat ini, masih saja mengandalkan pembukaan lahan skala besar, dengan berbagai alasan. Kali ini, salah satu argumen sebagai lumbung pangan dengan pelaku, tak jauh beda, para pemilik modal. Alam negeri masih akan menerima beban berat yang berujung ancaman bagi manusia…

Hutan itu lebat. Air sungai jernih. Sagupun tumbuh subur sebagai pangan pokok warga di sana. Itu dulu. Kala perusahaan datang, hutan ditebangi, air-air tercemar. Ikan mati, satwa buruan sulit. Sagupun tak sebanyak dulu. Kehidupan warga berubah. Mereka tak bisa lagi hidup bergantung hutan.  Kondisi ini menimpa warga Kampung Zanegi, Distrik Hanimah, Kabupaten Merauke, sejak beberapa tahun lalu.

Pada 2007-2013, perusahaan masuk, membuka hutan dan mengganti dengan tanaman akasia di Kampung Zanegi. Ini bagian program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang membuka lahan hutan skala besar, lebih sejuta hektar. Ia  memporakporandakan alam Merauke.

Di Merauke, ada izin sekitar 80-an perusahaan skala besar, baik nasional maupun internasional . Tak kurang,  18 perusahaan aktif beroperasi menguasai jutaan hektar lahan  untuk pengembangan dari sawit, tebu sampai hutan tanaman, salah satu di Kampung Zanegi.

Vitalis Gepse, warga Kampung Zanegi, menceritakan, PT. Selaras Inti Semesta (SIS), anak usaha Medco Group, masuk ke kampung mereka. “Pada 2008, sosialisasi, 2009, masuk. Terus beraktivitas 2010-2011,” katanya di Jakarta, belum lama ini.

Sebelum itu, warga hidup bergantung alam. Mereka mencari ikan di sungai, daging buruan di hutan dan pangan dari hutan sagu.“Hasil alam gampang kita dapat, ikan, makanan pokok kami sagu, masih melimpah.”

Seiring hutan ditebang, perubahanpun terjadi. Mulai 2012, warga kampung laki-laki muda dan orangtua bekerja di perusahaan. Tak ada pilihan.

“Itu yang tinggal di kampung orangtua sampai ibu-ibu. Khusus laki-laki, dari bapak-bapak sampai anak muda tamatan SMP dan SMA di perusahaan. Kami tak bisa ambil hasil alam lagi,” ujar dia.

Dampak alam rusak makin terasa pada 2012-2013. Kala itu, anak-anak mulai kurang gizi, air bersih sulit karena sungai tercemar. Anak Vitalis, salah satu yang menderita kekurangan gizi. “Kami sudah sulit. Dulu dapat daging, ikan gampang. Ikan-ikan mati. Daging buruan susah karena hutan hilang. Sagu sudah tak hidup lagi. Walau ada tepung tapi kebanyakan tepung sudah kurang,” katanya.

Sebelum hutan hilang, per hari biasa warga bisa menghasilkan satu atau dua karung sagu. “Setelah itu sudah setengah karung.”

Pada 2013, satu per satu karyawan keluar dari perusahaan karena pendapatan tak mencukupi keperluan hidup. Mereka kembali ke kampung.  Perusahaan mulai bekerja sendiri menanam akasia. Wargapun sebagian berupaya bercocok tanam di lahan yang tersisa. Sebagian, mencari ikan, sagu dan berburu.

Bersamaan dengan itu, hubungan masyarakat dan perusahaan makin renggang. Perusahaan tak bisa kerja sama dengan pimpinan kampung dan pemilik hak ulayat.

“Ketua-ketua marga buat kesepakatan dengan tokoh adat lalu ajukan ke pimpinan perusahaan membawa suara masyarakat mau hentikan perusahaan agar tak beraktivitas lagi. Kami minta perusahaan tutup.”

Akhirnya, perusahaan hengkang. Karyawan di luar Zanegi, kembali ke daerah masing-masing. Sebagian lahan sudah tanam, sebagian belum. Saat ini, akasia mulai tinggi, diameter delapan sampai sembilan sentimeter. Ikan-ikan tampak mulai ada di sungai. Warga senang, berharap kehidupan sebelum perusahaan datang, kembali. “Sejak tahun lalu kala musim banjir, ikan sudah muncul.”

Namun, kekhawatiran kembali menghantui warga Kampung Zanegi, kala kehadiran Presiden Joko Widodo, pada 10 Mei 2015, merencanakan Merauke menjadi “lumbung pangan nasional dan dunia.” Kala itu, Jokowi menghadiri panen raya padi 300 hektar di Kampung Wapeko, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua. Itu sawah yang dikelola PT. Parama Pangan Papua, milik Arifin Panigoro.

Kala itu, Presiden menyatakan, secara geografis Merauke strategis berada di dataran rendah. Lahan Merauke lebih 4,6 juta hektar berpotensi jadi sawah. Jadi tahap awal pengembangan lahan pangan, sekuas 1,2 juta hektar.

“Masyarakat bingung. Di mana lagi mau jadi tanam padi itu? Sudah buka di Wapeko. Apakah mau buka di Kampung Zanegi? Kami berpikir, di sini sudah diukur Medco. Ini banyak tempat sakral. Jadi sawah sekian ribu hektar itu mau taruh di mana?” kata Vitalis.

Jika program sawah itu masuk ke Kampung Zanegi, mereka menduga, Medco akan mengubah izin dari hutan tanaman yang tersisa menjadi izin tanaman pangan.

Ya, keredupan proyek MIFEE, yang membuka lahan dan hutan jutaan hektar untuk perusahaan skala besar hingga menyebabkan masyarakat lokal (ulayat) tersingkir, tampaknya bakal bangkit kembali dengan baju agak berbeda. Lewat “konsep baru” yang katanya, pengelolaan lahan melibatkan masyarakat pemilik ulayat dengan sistem bagi hasil 30:70, 30% untuk pemilik lahan dan 70% perusahaan.

Pemerintah tampaknya belum ‘move on’ dengan masih memakai pola-pola lama dalam mengelola kawasan, pembangunan oleh perusahaan skala besar, masih jadi andalan. Merauke hanya salah satu contoh.

“Pemerintah sampai saat ini masih saja upaya tumbuhkan ekonomi lewat ekstraksi sumber daya alam skala besar, baik kebun, usaha kehutanan dan tambang,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional,  kala diskusi menyambut Hari Lingkungan Hidup Dunia di Jakarta, Jumat (5/6/15).

Walhi, katanya, terus mendesak bagaimana model-model pembangunan berubah. “Saat ini masih jauh dari harapan. SBY dengan proyek 1,2 juta hektar buat MIFEE. Ternyata pemerintah sekarang mau teruskan. Ini persolan serius.”

Pemerintah, katanya, seolah-olah amnesia dengan proyek-proyek besar ‘atas nama lumbung pangan’, misal, kegagalan proyek lahan gambut Kalimantan Tengah. “Sampai hari ini, pemerintah sibuk bagaimana pemulihan kawasan PLG Kalteng era Soeharto. Belum kegagalan-kegagalan lain.”

Walhi, ucap Abetnego,  tak sepakat dengan proyek-proyek seperti ini dan mendesak kaji ulang rencana pertanian pangan berbasis skala besar. “Ini akan ubah bentang alam. Di Merauke, dataran rendah  yang berfungsi penting bagi ekologi Papua.”

Dia merasa aneh dengan kerja-kerja pemerintah yang ribut membuka lahan baru dengan alasan menciptakan lumbung pangan dengan tak memberikan perlindungan kepada lahan pangan yang sudah ada. Belum lagi, istilah pangan yang seharusnya bukan hanya beras. Jangan sampai dengan alasan ‘lumbung pangan padi’ pangan lokal, seperti sagu malah musnah.

“Apa yang dilakukan pemerintah agar alih fungsi lahan pertanian bisa dikendalikan, lahan pertanian bisa dipertahankan? Indonesia, suka rusak yang ada dan bangun yang lain,” katanya.

Abetnego mencontohkan, yang saat ini terjadi di Pulau Jawa. Banyak lahan-lahan pertanian produktif warga dengan infrastruktur baik malah beralih fungsi menjadi perumahan, tambang sampai kebun.  “Rusak lahan pertanian di Jawa yang udah bagus infrastruktur, lalu cari lahan baru dan buka lahan lagi.”

Untuk itu, Walhi mendesak Menteri Pertanian menghentikan rencana ini. Terlebih, hingga kini, Kementerian Pertanian, belum ada evaluasi terhadap program lalu. “Selalu dicari jalan pintas. Pangan lokal malah dirusak.”

Contoh lain di Riau, sagu warga rusak oleh pembukaan kanal-kanal perusahaan. Begitu juga wilayah pesisir malah dialokasikan buat pertambangan, mulai pasir besi sampai nikel. “Pemerintah suka lompat-lompat dan suka hasil statistik. Pemerintah saat ini, salah-salah bisa sama dengan orde baru.”

Belum lagi, kegencaran pemerintah mengkampanyekan transmigrasi, dengan alokasi lahan membuka hutan baru.

Transmigrasi ini kebanyakan akan memindahkan warga di Jawa. Dia coba kilas balik kondisi di Jawa, yang banyak warga tak memiliki lahan. Mengapa? “Lahan-lahan di Jawa dikuasai perusahaan skala besar dan konflik tak selesai. Jawaban (pemerintah), malah mau orang transmigrasi. Pertanyaannya,  bagaimana proses sosial dan lingkungan?”

Di Jawa, katanya,  wilayah kelola warga sempit karena diberikan pada industri untuk, perkebunan, perumahan maupun usaha pertambangan, seperti Kulon Progo, lahan pertanian pesisir mau jadi lapangan udara, di Batu, warga sukses dengan holtikultura tetapi sumber mata air malah dibangun resort. “Problem Jawa itu banyak sekali. Harusnya ini jadi pekerjaan rumah pemerintah agar masyarakat  Jawa punya ruang hidup lebih baik.”

Untuk itu, dia mendesak pemerintah meninjau ulang program transmigrasi ini.  Sebab, isu-isu sensitif muncul, seperti di Kalbar, Kalteng dan Papua, yang mulai mengangkat isu RAS. “Pemerintah bisa menciptakan konflik horizontal.”

Belum lagi bicara soal energi yang masih mengandalkan fosil. Pemerintah, kata Abetnego, akan membangun pembangkit listrik 35.000 mega watt, sekitar 60% masih sumber batubara tanpa penjelasan skenario menuju energi terbarukan.

Masalah muncul kala pembangunan PLTU. Tak kalah parah masalah di kawasan pertambangan batubara. Masyarakat sekitar tambang, katanya,  miskin dan minim listrik. “Tak ada penjelasan pemerintah bagaimana mereka dipastikan dapat listrik. Pembangkit ini cuma untuk penuhi industrialisasi.”

Lahan persawahan warga Batang yang menolak PLTU mulai diuruk paksa. Foto: Greenpeace
Exit mobile version