,

Nasib Petani Rumput Laut di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida

Pemerintah Indonesia mencanangkan 20 juta hektar Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sampai 2020 nanti. Apakah bermanfaat untuk penduduk pesisir seperti nelayan dan petani rumput laut?

Warga tiga pulau di Bali, yakni Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di Kabupaten Klungkung terus memikirkan upaya perlindungan wilayahnya yang sudah ditetapkan sebagai KKP oleh pemerintah. Pengelolaan tata ruang laut ini diharapkan berdampak bagi warga, tak hanya pengusaha pariwisata saja.

Sebagian warga Pulau Nusa Lembongan adalah petani rumput laut yang sukses, dengan rumah megah, pura dan balai banjar yang gemerlap. Namun, warga mengeluh akan kehilangan generasi petani rumput laut berikutnya.

Alasannya, karena anak mudanya lebih memilih bekerja di industri pariwisata. Kedua, cuaca yang makin tak menentu, jika air terlalu hangat atau terlalu dingin, rumput laut akan rapuh atau membusuk. Berikutnya, ancaman limbah rumah tangga dan industri wisata. Yang memperparah, fluktuasi harga dan lambatnya usaha pengolahan menjadi produk lebih bernilai tinggi.

Budidaya rumput laut di Lembongan dirintis almarhum Made Kawijaya alias Pan Tarsin Pria yang awalnya pemburu penyu ini, pada 1986, dianugerahi Kalpataru, penghargaan tertinggi pemerintah pada pelestari lingkungan.

Kalpataru bagi Wayan Tarzan, anak Pan Tarsin adalah suatu yang sangat mengejutkan. “Ayah saya bisa dibilang penjahat karena sebelum bertani, pekerjaannya memburu penyu dan karang laut yang dilarang,” ujar Tarzan.

Saat itu, sekitar tahun 80-an, Pan Tarsin adalah pemburu penyu disegani di desanya. Hantaman ombak dan angin laut adalah makanan sehari-harinya. Tidak ada mata pencaharian lain selain memburu penyu dan hasil laut lain yang bernilai tinggi seperti karang laut dan kima raksasa (giant clam). Kima berperan penting dalam ekosistem karena kemampuannya menyaring air.

Karena populasinya sangat sedikit, Kima raksasa ini dilindungi. Dagingnya berprotein tinggi dan sangat mahal, sementara cangkangnya jadi bahan baku ubin (keramik) kualitas tinggi. Waktu itu, cangkang seekor kima raksasa besar untuk pembuatan keramik, bisa menghidupi satu keluarga dalam sebulan.

Pada suatu ketika, seorang pegawai Dinas Pertanian Klungkung datang dan mengajak warga membudidayakan rumput laut. “Dia membawa dua jenis bibit rumput laut sebanyak 5 kilogram. Karena hasil penyu berkurang, petani mulai belajar bertani rumput laut,” tutur Tarzan, generasi kedua petani rumput laut di Nusa Lembongan.

Hasil panen pertama sangat tidak menguntungkan. Hal ini berlanjut sampai tahun kedua. Petani rumput laut masih belum mendapat uang tunai karena hasil panen dibarter dengan bahan pangan seperti beras.

Petani rumput laut di sela-sela hutan bakau di Lembongan, Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani
Petani rumput laut di sela-sela hutan bakau di Nusa, Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Sampai akhirnya seorang pembeli besar dari Ujung Pandang datang dan membeli panen warga seharga Rp300 per kilogram. Tak hanya petani yang bergairah, pelancong pun mulai datang ke Nusa Lembongan. Kini harganya sekitar Rp5000-8000 per kg kering.

Selain bertani rumput laut, Pan Tarsin dan anaknya tertarik melihat peluang pariwisata di daerahnya dan mendirikan sebuah losmen, Johny Losmen, salah satu yang tertua di Nusa Lembongan. Saat ini losmen itu menurut Tarzan sedang direnovasi. Soal losmen ini, banyak cerita di internet dari para bacpacker yang pernah menikmati kesederhanaan losmen ini.

Nusa Lembongan pun kini menjadi tandingan Pulau Bali, karena dua daya tarik utama pulau ini, ladang-ladang rumput laut dan petualangan lautnya seperti diving dan snorkeling. Kegiatan petani berladang di laut dan ribuan perahu kecil petani terserak di pesisir pantai adalah pemandangan keseharian.

Nusa Lembongan, Nusa Penida, Bali  yang makin ramai dengan turis dan akomodasi wisata. Foto : Luh De Suriyani
Nusa Lembongan, Klungkung, Bali yang makin ramai dengan turis dan akomodasi wisata. Foto : Luh De Suriyani

Tarzan, anaknya kini beralih profesi menjadi kontraktor pembangunan hotel di desanya. Industri pariwisata lebih menarik bagi warga sekitar. “Semua anak saya saja sudah tidak mau jadi petani dan memilih belajar pariwisata di Pulau Bali. Saya juga bingung, bagaimana masa depan budi daya rumput laut ini nanti,” keluh Tarzan.

Rumput laut sebagai mitigasi bencana

Marthen Welly, Coral Triangle Center (CTC) salah satu inisiator KKP kawasan Nusa Penida ini menyebut laguna rumput laut dan terumbu karang bisa menghambat arus menghantam daratan, serta dapat mencegah 30 % abrasi pulau-pulau kecil. Ditambah adanya padang lamun akan mencegah 30% abrasi dan bakau juga 30%. Jika ketiganya ada, sekitar 90% menghambat arus.

Selain memperindah kawasan perairan, keanekaragaman hayati jelas berdampak untuk penduduknya. Di perairan Nusa Penida terdata sekitar 230 hektar hutan bakau dan 108 hektar padang lamun. Ia mencontohkan pulau Semeulue, Aceh yang tingkat kerusakannya kecil saat tsunami melanda.

KKP Nusa Penida meliputi kawasan seluas lebih 20 ribu hektar. Zona inti ditetapkan 120 ha, zona perikanan berkelanjutan hampir 17 ribu ha, dan zona budidaya rumput laut 464 ha. Serta zona pariwisata bahari sekitar 1200 ha.

Zona perlindungan ditentukan berdasarkan kondisi biofisik seperti terumbu karang dan faktor ekonomi warga. “Kalau dipaksa ditetapkan jadi zona inti, nanti terjadi konflik karena di zona ini sama sekali tidak bisa menangkap ikan termasuk menyelam kecuali untuk pendidikan,” jelas Marthen.

Diperlukan sedikitnya 26 kali pertemuan selama 2 tahun sebelum KKP disetujui di kawasan Nusa Penida. Di zona pemanfaatan terbatas bahari, digunakan untuk kawasan penyelaman di 18 titik, dan nelayan dilarang memancing.

Sedangkan zona wisata bahari khusus seluas 900 ha, digunakan sebagai zona perikanan tradisional setiap pukul 4 sore sampai 9 pagi, dan tempat diving diluar waktu tersebut. Juga ada zona suci disekitar kawasan pura yang tak boleh ada aktivitas.

Petak lahan rumput laut yang indah dan jadi pemandangan restoran di Nusa Lembongan, Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani
Petak lahan rumput laut yang indah dan jadi pemandangan restoran di Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Sub zona budidaya rumput laut berpotensi menghasilkan 40-50 ton tiap 35 hari, dari 2 jenis yang dibudidayakan. Daerah laguna rumput laut kini sudah penuh dengan petak ladang rumput laut. Dari kejauhan berwarna hijau atau kecokelatan sesuai jenis rumput lautnya, dengan keramba berbentuk kotak di perairan dangkal. Sampan-sampan petani makin mempercantik pemandangan disitu.

Upaya pengendalian

Pemkab Klungkung yang mewilayahi Nusa Penida sudah membuat perangkat hukum untuk penetapan entrance fee atau tiket masuk ke tiga kepulauan ini. Wisatawan yang berkunjung saat ini sekitar 200 ribu orang per tahun. Tiket masuk ini diklaim bisa membatasi jumlah turis yang cenderung merusak.

Sebelumnya sejumlah lembaga konservasi membuat survei willingness to pay, dan turis mau membayar 3,5-5 USD per orang. Jadi dihitung kasar, dari tiket masuk ini bisa terkumpul 1 juta USD per tahun. Saat ini, sesuai Perda Retribusi Tempat Wisata Klungkung, tiket masuk ditetapkan Rp 7000 per orang/hari.

Potensi pendapatan pariwisata tersebut sedang digodok implementasi perdanya “Dari survei, pengelola dari unsur pemerintah dipilih paling terakhir. Kita berharap transparan, akuntabel, dan diawasi semua pihak,” kata Marthen dalam workshop yang dihelat The Nature Conservacy (TNC) dan SIEJ di Denpasar. Skenarionya, jika masuk kas daerah akan dikelola melalui Dinas Pariwisata dan diharapkan 80% dikembalikan ke Nusa Penida.

Tiket masuk ini lebih murah dibandingkan di Raja Ampat, Papua, sebesar Rp1 juta untuk turis asing dan Rp500.000 turis domestik untuk periode satu tahun.

Dewa Kadek Wira Sanjaya, pengelola program KKP dari CTC mengatakan penetapan zonasi tersebut untuk kesehatan laut. Ia mengaku melakukan monitoring dengan menyelam di 13 titik. Selama dua tahun terakhir presentase karang dan biomasa ikan meningkat. Hal ini disebutnya akan berkorelasi dengan penghasilan nelayan dan wisata bahari.

I Wayan Suarbawa, salah satu koordinator kelompok tani rumput laut di Desa Lembongan mengatakan upaya perlindungan kawasan budidaya rumput laut harus dibarengi dengan dorongan meningkatkan nilai tambah hasil panennya.

“Pengusaha wisata harus mendorong petani rumput laut misalnya buat wisata trekking rumput laut. Hasil panen diolah untuk suguhan wisata. Jangan diekspor mentah,” usul Suarbawa. Pria peraih penghargaan Guardians of Nature dari TNC ini mengakui zonasi bisa melindungi lahan namun ada ancaman limbah wisata seperti zat klorin kolam renang dan sampah plastik. Dana pengelolaan KKP diharapkan bisa memperbaiki persoalan di darat seperti usaha pengolahan hasil rumput laut itu.

I Nyoman Darma, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung menyebut kawasan perairan yang luasnya 65% dari wilayah kabupaten ini terdiri dari 1400 hektar terumbu karang dengan 296 jenis. Namun tak sedikit ancamannya. “Makin banyak mencari penghasilan dan cenderung serakah, ada potensi ancaman seperti dari operator selam, nelayan, pengusaha akomodasi, aktivitas wisata yang tak bertanggung jawab,” serunya.

KKP ini dirintis sejak 2008, dan pada 2014 lalu diresmikan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan sebagai KKP Taman Wisata Perairan Nusa Penida. Secara kolektif, warga sedang meningkatkan sanksi bagi pelanggar lingkungan. Misalnya sanksi adat Desa Lembongan untuk penambang pasir dan perarem (peraturan adat) perlindungan zona inti.

Nusa Penida termasuk Kawasan Ekoregion Sunda Kecil yang terdiri dari 35 juta hektar laut di empat provinsi. Status kawasan konservasi laut saat ini sekitar 10 juta hektar dengan 6 status penetapan zonasi di Bali, NTB, NTT, dan Maluku.

TNC dan CTC menyebut sesuai mekanisme Pengukuran Efektivitas KKP dan Pulau-pulau Kecil, dari 131 KKP di Indonesia hanya 4 yang mendapat kode hijau yakni Raja Ampat, Sukabumi, Nusa Penida, dan Gili. Perangkat pengukur ini memberikan level merah, kuning, hijau yang artinya baru dikelola minimal, biru sudah dikelola optimal, selanjutnya tertinggi adalah emas yang artinya sudah mandiri dan berkelanjutan. Jadi baru ada 3% yang dikelola. Sejumlah indikator adalah adanya protokol penelitian, pengelolaan budidaya keramba, status kapal patroli, dan lainnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,