Awal Juni 2015, hujan terus mengguyur Kecamatan Bahodopi. Wilayah ini merupakan pusat pertambangan nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Di sini berdiri sebuah perusahaan nikel yang baru saja diresmikan pembangunan smelter-nya oleh Presiden RI Joko Widodo. Namanya PT. Bintang Delapan Mineral (BDM).
Sejak Minggu, 7 Juni 2015, curah hujan semakin tinggi. Keesokan paginya, sekitar pukul 10.00, warga di beberapa desa dibuat kaget. Air berwarna kecoklatan itu tiba-tiba hadir tanpa pemberitahuan. Rumah warga jadi sasaran. Banjir menghantam tempat tinggal mereka. Infrastruktur milik pemerintah juga ikut mengalami kerusakan.
Zainal, Camat Bahodopi, dikutip dari Metrosulawesi.com, mengatakan, dari sejumlah desa yang terkena banjir di wilayah Kecamatan Bahodopi, ada tiga desa yang mengalami kerusakan cukup parah yakni Bahomakmur, Keurea, dan Bahodopi.
Dari pendataan yang dilakukan pihaknya, kata dia, sebanyak tujuh rumah warga di Desa Bahomakmur rata dengan tanah. Sedangkan di Desa Keurea sebanyak tiga rumah warga rusak parah, dan satu rumah warga dekat pantai di Desa Bahodopi rusak.
Banjir besar bukan kali ini saja menghantam Kabupaten Morowali. Pada 24 Juli 2010, banjir bandang juga menghantam Desa Bahomakmur, Peukerea, dan Fatufia. Sawah, kebun, ternak sapi maupun kambing, hingga rumah terendam. Ketika itu ketinggian air hingga 1,5 meter. Sawah warga semuanya gagal panen.
Pada 12 Juli 2011, banjir kembali terjadi. Air Sungai Bahongkolangu meluap akibat jembatan houling atau jalan tambang jebol. Rumah warga di Desa Bahodopi, Keurea, Fatufia, Trans Makarti, dan Bahomakmur terendam.
Waryoto, warga di Desa Bahomakmur, ketika diwawancara Mongabay saat itu mengatakan, warga terus menderita karena sawah tidak bisa lagi digarap. Warga juga kesal karena sejak dulu daerah mereka belum mengalami banjir seperti ini. Namun, setelah perusahaan masuk dan membuat jalan houling, terjadi penyempitan sungai. Banjir pun akrab dengan warga.
Aries Bira, Manager Kampanye dan Advokasi Walhi Sulawesi Tengah mengatakan, banjir bandang yang terjadi Senin, 8 Juni 2015 itu setinggi 3-4 meter di empat desa, yaitu Bahodopi, Keurea, Bahomakmur, dan Fatufia. Banjir terjadi hingga Rabu, 10 Juni 2015.
“Dugaan kami, banjir ini disebabkan oleh pembabatan hutan secara masif, sehingga kawasan yang menjadi resapan air menjadi berkurang. Terhitung sejak beroperasinya BDM sudah tiga kali terjadi banjir bandang di Kecamatan Bahodopi. Banjir pertama terjadi 2010 yang mengakibatkan empat desa terendam. Banjir kedua pada 2012, dan kembali terjadi di 2015. Rentetan banjir bandang ini, memperkuat dugaan bahwa wilayah hutan tempat beroperasinya BDM tidak lagi mampu menyerap air dengan baik,” kata Aries.
Selain hutan yang gundul, sebagian anak-anak sungai yang dahuluhnya berfungsi untuk mengaliri air ke Sungai Bahodopi hilang. Akibat hilangnya anak-anak sungai yang berfungsi untuk membagi air, kini ketika hujan tiba air tertampung dan langsung mengalir ke sungai besar Bahodopi.
“Besarnya air yang masuk ke Bahodopi membuat bendungan tidak lagi mampu menampung dan menahan deras air yang berasal dari tempat-tempat pengerukan material BDM.”
Akibat banjir itu mengakibatkan 10 rumah warga di Desa Bahomakmur hancur dan puluhan semi permanen tergeser dari posisinya. Sementara itu, 30 ekor sapi hilang di Desa Bahomakmur dan ratusan ekor lainnya di Keurea dan Bahodopi. Ternak seperti kambing dan ayam juga hilang.
Walhi bersama Yayasan Tanah Merdeka (YTM) menuntut BDM untuk memperbaiki model penambangan yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup. Juga, kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap model pengelolaan lingkungan sekitar areal pertambangan.
“Kami juga menuntut kepada BDM agar memperhatikan keselamatan rakyat di sekitar wilayah pertambangan dengan membuat daerah penyanggah atau pelindung,” ujar Aries.