,

Talang Tuo, Prasasti yang Mengajarkan Pemimpin Indonesia Menjaga Bumi

Prasasti Talang Tuo dinilai sebagai ajaran bagi para pemimpin di Indonesia untuk menjaga Bumi. Jika hal ini tidak dilakukan para pemimpin, diyakini sumpah para raja Sriwijaya akan berlaku. Benarkah?

Gagasan peringatan Hari Bumi pada 23 Maret yang berdasarkan Prasasti Talang Tuo, yang merupakan prasasti Kerajaan Sriwijaya, terus mendapatkan dukungan. Bahkan prasasti tersebut dinilai sebagai contoh bagi seorang pemimpin yang berkuasa di wilayah Kerajaan Sriwijaya, yang saat ini dimengerti sebagai Nusantara atau Asia Tenggara.

“Leluhur kita, leluhur bangsa Indonesia, melalui prasasti tersebut jelas mengajarkan seorang pemimpin harus peduli dengan lingkungan hidup, menjaga bumi,” kata Arsyan Djatoha, warga Desa Bintuhan, Kotaagung, Lahat, Sumatera Selatan, yang membuat kebun dengan beragam jenis tanaman lokal, dan khas Indonesia di atas lahan seluas 1,5 hektar, Selasa (16/06/2015).

Contoh yang dilakukan Raja Sriwijaya Sri Baginda Śrī Jayanāśa melalui pembuatan sebuah kebun bernama Śrīksetra dapat dikatakan sebagai standar seorang pemimpin di tanah yang disatukan Sriwijaya yang bernama Indonesia ini.

Jika para pemimpin di tanah Sriwijaya, termasuk pada saat ini, tidak peduli dengan lingkungan hidup, dan justru mendorong kerusakan, dapat dikatakan melanggar sumpah atau janji seperti tercermin dalam prasasti tersebut.

Sumpah Raja Sriwijaya

Dijelaskan Djatoha, hampir semua prasasti Sriwijaya lainnya, seperti Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Kota Kapur, Prasasti Telaga Batu, dan Prasasti Karang Birahi, berisi kutukan yang disampaikan para pemimpin Sriwijaya terhadap mereka yang melakukan pelanggaran atau berkhianat terhadap apa yang telah diperintahkan atau dicontohkan para pemimpin Sriwijaya.

“Saya menafsirkan menjaga lingkungan hidup atau bumi, merupakan perintah atau perbuatan yang harus  dilakukan para pemimpin maupun masyarakat yang berada di wilayah Sriwijaya, termasuk pada wilayah yang dikuasainya,” kata Djatoha.

Mengutip isi Prasasti Telaga Batu, mereka yang akan mendapatkan kutukan jika melanggar perintah para pemimpin Sriwijaya, antara lain anak dari raja atau pemimpin, menteri, bupati, panglima, pembesar atau tokoh masyarakat, pemimpin bawahan, hakim, pemimpin buruh, pengawas buruh, ahli senjata, tentara, pejabat pengelola, pengrajin, buruh toko, kapten kapal, penjaga, dan pelayan raja.

“Jelas sekali prasasti ini menjelaskan sumpah berlaku pada mereka yang terlibat dalam sistem pemerintahan, ekonomi, dan para tokoh masyarakat,” ujarnya.

Djatoha yang merupakan mantan direktur sebuah perusahaan perkebunan pemerintah, di kebunnya menanam hampir semua jenis tanaman yang disebutkan dalam Prasasti Talang Tuo, kecuali sagu.

“Hanya pohon sagu yang belum ditanam. Saya tidak menanamnya karena pohon itu sangat baik tumbuh di wilayah rawa gambut, kurang baik tumbuhnya jika ditanam di wilayah pegunungan yang tingkat keasamannya rendah, seperti di kebun saya,” kata Djatoha.

Prasasti Talang Tuo yang mengajarkan para pemimpin Indonesia untuk menjaga lingkungan. Sumber: Wikipedia

Bukan hanya Hari Bumi

Dedek Chaniago dari Serikat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Selatan, menilai spirit dari Prasasti Talang Tuo itu jangan hanya untuk mendorong Hari Bumi yang diusulkan pada tanggal 23 Maret, yang bertepatan dengan pembuatan prasasti tersebut.

“Juga dijadikan dasar dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Sebab menurut saya, berdasarkan prasasti tersebut, lingkungan hidup menjadi dasar dari pembangunan yang dijalankan Kerajaan Sriwijaya, yang bertujuan menyelamatkan manusia, baik di dunia maupun di akhirat,” katanya.

“Setahu saya, pendidikan yang dijalankan di Indonesia masih memandang persoalan lingkungan hidup semata ilmu pengetahuan,” kata Dedek.

Seharusnya, persoalan lingkungan hidup menjadi ideologi semua ilmu pengetahuan yang diajarkan di lembaga pendidikan. “Mulai dari pelajaran agama hingga kesenian, persoalan lingkungan hidup harus masuk dalam pengajaran,” kata alumni Universitas PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Palembang ini.

Sekedar mengingatkan, Prasasti Talang Tuo ditemukan Residen Palembang Louis Constant Westenenk pada 17 November 1920 di Talang Tuo, yang kini disebut Talang Kelapa. Saat ini lokasinya berada di tengah perkebunan sawit.

Prasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya cukup baik, berukuran 50 x 80 centimeter. Prasasti berangka 606 Saka (23 Maret 684 Masehi) ini menggunakan aksara Pallawa berbahasa Melayu yang terdiri 14 baris.

Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.p, kali pertama mampu dibaca dan dialihaksarakan oleh Van Ronkel dan Bosch yang dimuat di Acta Orientalia.

Berikut terjemahan Prasasti Talang Tuo yang dilakukan oleh George Coedes:

“Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.

Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,