Mongabay.co.id

Sudah Batal, Mentan Mau Hidupkan Lagi Kebun Tebu di Aru?

Ketenangan warga Kepulauan Aru, Maluku, kembali terusik. Kementerian Pertanian, berencana membuka kembali kebun tebu di sana. Padahal, setelah mendapat penolakan dari berbagai kalangan, upaya pembabatan hutan di Aru, lewat pembukaan kebun tebu oleh PT Menara Group, hampir 500 ribu hektar, batal, awal 2014. 

Kala itu, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, mengatakan, setelah survei lahan,  ternyata Aru tak cocok buat tebu. Kemiringan lahan di Aru,  tak layak layak dan tak menguntungkan secara ekonomi jika ditanam tebu.

Namun, kabar terbaru membuat was-was. Rencana kebun tebu di Aru berlanjut, diketahui dari pernyataan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman seperti dikutip dari Jakartapost, 18 Juni 2015. Dia menyatakan, pemerintah menyiapkan tiga lokasi seluas sekitar 500 ribu hektar untuk perkebunan tebu di Indonesia. Tiga lokasi ini antara lain Kepulauan Aru, Merauke, dan Sulawesi Tenggara.

“Ini jelas mengancam hutan alam seluas 730 ribu hektar atau 12 kali daratan Singapura. Ia juga mengancam kehidupan sekitar 84.000  warga,” kata Mufti Barri, Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI), dalam rilis kepada media.

Dia mengatakan,  aksi pemerintah tetap melanjutkan rencana perkebunan tebu di Kepulauan Aru jelas memperlihatkan ketidakpedulian terhadap kelestarian hutan alam.  Bahkan, FWI menduga target utama dibalik rencana ini hanyalah mengambil kayu-kayu alam di kepulauan itu.

Jacky Manuputy, penggagas koalisi #SaveAru mengatakan, memasukkan kembali Kepulauan Aru sebagai salah satu kawasan pengembangan industri gula di Indonesia Timur merupakan sikap arogan dan sepihak, tanpa mempedulikan aspirasi masyarakat adat yang keras menolak rencana inidari awal.

“Masyarakat adat Aru merasa dibohongi pemerintah. Ini akan menimbulkan gejolak sosial baru di Kepulauan Aru. Kami akan kembali menggerakkan perlawanan. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap ini,” katanya.

Senada diungkapkan Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).  Menurut dia, dengan memasukkan kembali Kepulauan Aru sebagai lokasi perkebunan tebu bertentangan dengan komitmen Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, yang berjanji tak akan memperpanjang izin prinsip pelepasan kawasan hutan di kepulauan ini.

Dia mengatakan, kehadiran perkebunan di Kepulauan Aru ini tak hanya akan merusak ekosistem pulau-pulau kecil tetapi menimbulkan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. “Mereka turun-temurun menguasai dan mengelola lahan pertanian dan hutan kepulauan ini,” katanya.

Dari berita Mongabay, sebelum ini menyebutkan, rencana pengembangan kebun tebu ini berawal 2010. Kala itu, Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko, mengeluarkan izin prinsip, izin lokasi, dan rekomendasi pelepasan kawasan hutan sebesar 480 ribu hektar untuk 28 perusahaan. Mereka di bawah bendera Menara Group, perusahaan perkebunan swasta nasional.

Cendrawasih besar (Paradisaea apoda) yang terekam di Kepualau Aru, Indonesia. Foto: Tim Laman

Kebijakan Bupati ini, diperkuat Gubernur Maluku, kala itu dijabat Karel Albert Ralahalu, melalui surat rekomendasi pelepasan kawasan hutan yang diajukan Juli 2011. 

Penelusuran FWI terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aru tahun 2009-2028 menemukan, 76% lahan dari 28 perusahaan berada di bawah Menara Group, masih hutan alam. Lima perusahaan sudah memiliki izin kelayakan. 

Selamatkan pulau-pulau kecil

Hasil kajian FWI menunjukkan, ada 2,97 juta hektar lahan masih hutan alam dari 7,40 juta hektar daratan di pulau-pulau kecil (pulau dengan luas sampai 2.000 km) di seluruh Indonesia. Dari total itu, 1,3 juta hektar atau 18% dibebani izin investasi berbasis lahan, seperti HPH, HTI, perkebunan sawit, dan pertambangan. 

Ancaman bagi hutan alam di pulau-pulau kecil datang setelah Kementerian Kehutanan—saat itu– mengeluarkan kebijakan arahan lokasi untuk HPH, HTI, dan restorasi ekosistem melalui Surat Keputusan No. 5984/Menhut-II/BPRUK/2014. Kebijakan ini mengalokasikan lahan untuk konsesi perusahaan seluas 0.85 juta hektar tersebar di 242 pulau kecil di Indonesia.

Mufti mengatakan, sampai saat ini belum ada kejelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait pencabutan SK ini. “Menteri harus segera mencabut SK ini sebagai bagian dari proses review perizinan seperti yang dimandatkan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.”

Seharusnya, tak ada investasi skala besar di pulau-pulau kecil karena akan menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat . Salah satu, berdampak pada krisis air.

Abdon menambahkan, pulau-pulau kecil di Indonesia,  harus bebas dari eksploitasi alam skala besar seperti perkebunan, penebangan hutan dan pertambangan. “Karena biaya sosial dan ekologis jangka panjang jauh lebih besar dari manfaat ekonomi jangka pendek.”

Menurut dia, UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sudah tegas mengatur soal ini. “Menteri Kelautan dan Perikanan, harus sigap mencegah kehancuran ekosistem pulau-pulau kecil, bukan hanya di Kepulauan Aru tetapi di seluruh pulau-pulau kecil nusantara.”

Dokumen dan kronologis hutan Kepulauan Aru menjadi kebun tebu bisa dilihat di sini.

Izin-izin di bawah Menara Group di Kepulauan Aru  bagian 1.

Izin-izin di bawah Menara Group di Kepulauan Aru bagian 2

Izin-izin di bawah Menara Group di Kepulauan Aru bagian 3

Exit mobile version