Mongabay.co.id

Ada Monster Plastik di Gianyar Bali. Ada Apakah?

Di tangan ahlinya, sampah bisa berubah menjadi barang-barang cantik dan mempesona. Begitu pula di tangan Putri dan Intan. Dua anak SD bersama 20 temannya dari Komunitas Pusat Belajar Slukat, Gianyar, Bali, membuat mainan dari barang-barang bekas.

Kain bekas dan kaos kaki, mereka sulap menjadi mainan imut dan warna-warni. Kaos kaki mereka tarik memanjang. Di dalamnya mereka isi dengan kain-kain. Pita kain warna-warni mereka ikatkan melingkar badan mainan. Lalu kancing mereka tambahkan menjadi mata mainan tersebut.

Wallaaaa! Jadilah, boneka pinguin dan ulat warna-warni.

Pembuatan boneka dari bahan bekas itu merupakan salah satu kegiatan di TrashStock Festival akhir pekan Sabtu dan Minggu (20-21/06/2015) kemarin. Kegiatan itu diadakan oleh Komunitas Slukat, Act Global, Yayasan Manik Bumi, Eco Bali, dan Komunitas Tunas Rungu Bali (Bali Deaf Community).

Di lokasi kegiatan, di Taman Baca Kesiman, Jalan Sedap Malam, Denpasar, para pengunjung membuat aneka barang kerajinan dari plastik. Di depan perpustakaan ada pameran lukisan. Di halaman depan ada stan komunitas-komunitas yang ikut memamerkan karya dan program masing-masing terkait lingkungan.

Komunitas Eco Bali, misalnya, memamerkan antara lain tas serba guna untuk menggantikan tas plastik. Ada pula berbagai gelas terbuat dari botol bekas. Komunitas Act Global mempromosikan program-program mereka di berbagai negara termasuk Indonesia. Adapun Soul Surf Project Bali memamerkan foto-foto tentang sampah di pantai-pantai Bali.

Festival TrashStock pertama ini bertema musik, artistik, dan plastik, mempertemukan berbagai komunitas peduli lingkungan di Bali, mulai dari organisasi lingkungan, seniman dan musisi.

“Kami ingin mengubah mindset anak muda tentang sampah plastik mulai dari apa yang anak muda sukai yaitu seni dan musik. Dengan begitu, mereka akan lebih teredukasi,” kata Putu Hendra Arimbawa, Ketua Panitia TrashStock.

Berbagai kerajinan dari barang bekas yang ditampilkan dalam Festival Trashstok di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Hendra menambahkan ide acara ini juga terinspirasi dari kepercayaan umat Hindu Bali yaitu Tri Hita Karana, konsep keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia (pawongan), dan alam (palemahan).

“Dari filosofi itu, kami arahkan pada hal lebih modern untuk mengingatkan anak-anak muda,” ujarnya.

Monster Plastik

Ide kampanye tentang plastik melalui seni dan musik itu disambut antusias oleh seniman dan musisi muda di Bali. Made Bayak, Gede Sayur, Nanoe Biroe, dan Gede Robi Supriyanto hanya sebagian dari seniman dan musisi yang turut serta.

Made Bayak, pelukis dan gitaris band Geeksmile, misalnya, membuat seni instalasi dari sampah daur ulang. Pelukis yang sering membuat karya-karya seni dari sampah ini juga yang mengajarkan anak-anak Komunitas Slukat di TrashStock untuk membuat mainan dari kain bekas.

Bayak, alumni Insitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, secara personal sudah membuat kampanye peduli lingkungan melalui seni lewat proyek Plastikologi. Melalui proyek ini, Bayak mengajarkan anak-anak untuk memanfaatkan sampah plastik.

Instalasi dari sampah daur ulang karya Made Bayak, yang ditampilkan dalam Festival TrashStock di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

Secara terus menerus, dia ke sekolah-sekolah maupun komunitas-komunitas anak di Bali. Dengan biaya sendiri, Bayak mengajak anak-anak melukis atau membuat seni instalasi dengan sampah.

“Kita harus mendekatkan sampah kepada anak-anak. Menjadikan mereka sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan, bukan hanya dibuang,” ujarnya.

Selama kegiatan TrashStock, Bayak memamerkan karya instalasi berupa patung ikan terbuat dari plastik. Dia seperti mengampanyekan bagaimana sampah-sampah plastik di daratan juga telah mencemari laut dan ikan-ikan maupun habitat lainnya.

Instalasi lain adalah monster plastik karya Gede Sayur, seniman dari Ubud. Sayur selama ini konsisten dengan kampanye Not For Sale dengan instalasi seni di desanya sebagai bentuk penolakan terhadap maraknya penjualan tanah.

Di TrashStock kali ini dia membawa pesan sendiri mengenai bahaya sampah plastik. Instalasi yang dia buat berupa mulut monster raksasa berukuran sekitar 1,5 x 1 meter. Mulut itu memamerkan gigi besar-besar dan runcing.

Instalasi mulut monster raksasa dari barang bekas berukuran sekitar 1,5 x 1 meter karya seniman Gede Sayur yang ditampilkan dalam Festival TrashStock di Gianyar, Bali. Foto : Anton Muhajir

“Awas sampah plastik siap menerkam dan memakanmu. Ingat waspada sampah plastik,” kata seniman alumni ISI Yogyakarta ini.

Konser Musik

Selain melalui seni lukis dan instalasi, kampanye sampah plastik TrashStock juga dilakukan melalui musik. Gede Robi, vokalis band Navicula yang juga aktivis lingkungan, turut hadir pada malam konser musik.

Robi mengampanyekan perlunya penanganan sampah karena ada rata-rata 11 ton per hari sampah padat di Bali. Ketika dipilah, 70 persen merupakan sampah organik dan 30 persen non organik. Sampah organik, menurutnya, bisa dikembalikan ke alam karena alam membutuhkannya.

“Apabila dijadikan kompos akan bermanfaat dan bukan menjadi sampah,” ujarnya.

Robi sendiri sudah membuktikan. Dia termasuk salah satu musisi di Bali yang aktif bertani secara organik maupun dengan metode urban farming. Dia juga terlibat dalam kampanye-kampanye tentang permakultur.

Menurut Robi, sampah organik selain mengurangi jumlah sampah juga bisa mendatangkan keuntungan. Berdasarkan hitung-hitunganya, kalau dikelola pemerintah Bali dengan harga pupuk organik Rp4.000 per kilo, dari 70 persen sampah ini pemerintah Bali bisa mendapatkan Rp4 triliun per tahun.

“Itu uang yang sangat besar apabila dikelola dengan benar. Karena ini bisa menjadi sumber daya asal sampah dipisah,” tambahnya.

Karenanya, dia mendukung kampanye terkait sampah dengan berbagai cara, seperti TrashStock ini.

Exit mobile version