,

Akankah Perdagangan Burung Peliharaan Memicu Penyelundupan dan Mengancam Populasi Burung Liar?

Seorang pemilik toko burung terlihat sibuk di sebuah pasar burung dengan lantai beton yang kusam dan kotor di Jakarta. Tampak jelas dari luar empat tumpukan sangkar burung yang di dalamnya ada parkit beserta dua sangkar bambu tergantung rendah. Di dalamnya, ada kasturi ternate (Lorius garrulus), burung endemik Maluku Utara yang populasinya kian menurun dalam 25 tahun terakhir, berdasarkan data BirdLife International.

“Dari Ambon, sangat cantik” sang pemilik toko menjelaskan, sambil menunjuk ke dua sangkar bambu yang menggantung itu.

Kedua paruh bengkok itu yang panjangnya sekitar 30 cm dengan sebagian besar bulu merah dengan warna hijau di paha dan sayap, diam membisu. Di alam liar, sekadar mendapati burung-burung yang terkenal suka mengoceh ini adalah hal yang sangat sulit. Burung ini berstatus Rentan (vulnerable) oleh IUCN.

Tapi, di belantara Jakarta yang penuh sesak, justru burung-burung ini mudah dijumpai.

Indonesia dikaruniai keragaman spesies burung melimpah yang di saat bersamaan, masyarakatnya juga memiliki tradisi memelihara burung yang sangat berakar. Berdasarkan data Burung Indonesia 2014, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung, 426 burung endemik, dan 136 yang terancan punah.

Media massa di Indonesia seringkali memberitakan berbagai penyelundupan burung lintas negara yang menurut para ahli justru tradisi memelihara burung menjadi ancaman lebih besar terhadap keberadaan satwa tersebut di alam liar.

“Mereka menyuplai kebutuhan pasar dengan melakukan perburuan besar-besaran.”

Di pasar burung di Jatinegara, Jakarta, ribuan burung ditempatkan dalam sangkar sempit yang terbuat dari bambu dan kawat untuk ditawarkan kepada para calon pembeli. Di sini, para pembeli bisa membeli burung dari seluruh Indonesia, maupun dari Asia dan Afrika. Pasar seperti ini bisa ditemukan juga di banyak tempat di Jawa, Sumatera, dan Bali, yang menjual burung-burung langka terancam punah. 

Beberapa waktu yang lalu, 24 kakatua jambul kuning ditemukan dijejalkan dalam botol air mineral di kapal laut di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya untuk diselundupkan. Satwa langka tak jarang dijadikan hewan peliharaan rumah tangga di Indonesia. Foto: Petrus Riski

Selama  ratusan tahun, orang Indonesia  – khususnya di Jawa – memelihara burung untuk menandakan status dan dipercaya mendatangkan ketenangan pikiran.  Sepertiga dari seluruh rumah tangga di enam kota terbesar di Jawa dan Bali diperkirakan memelihara burung, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti Oxford University pada 2011.

Perlombaan kicau burung, fenomena yang dikenal dengan nama Kicau-mania, juga sangat popular, didukung dengan jaringan luas, dan media-media terutama online. Adu kicau burung seperti ini menawarkan hadiah hingga ratusan juta rupiah. Burung pemenang bisa dihargai lebih dari Rp 100 juta.

“Melalui program transmigrasi, orang jawa kini menyebar ke seluruh tempat di Indonesia” kata Muhammad Iqbal, seorang pemerhati burung.

“Di tempat baru, mereka kemudian mengenalkan tradisi memelihara burung kepada masyarakat lokal dan menangkapi burung lokal untuk dipelihara”.

Skala perdagangan burung telah lama membuat khawatir pegiat konservasi dan para ornitologi yang membahayakan populasi burung liar Indonesia. Tapi, sejauh mana dampaknya, memang tak mudah untuk mengukurnya.

“Tidak ada organisasi yang melakukan pemantauan berkala di pasar dan populasi burung liar di seluruh Indonesia,” kata Iqbal.

Menurut para ahli, tantangan yang dihadapi adalah biaya pemantauan yang besar, pengetahuan ilmiah tentang burung juga sering sulit didapat, dan tidak ada budaya konservasi  kuat di Indonesia.

Hasil studi di pasar burung di Sumatera menunjukkan bahwa makin berkembangnya perdagangan burung peliharaan berbanding lurus dengan menurunnya populasi burung asli di Sumatera.

Menggunakan data pasar dan pendapat para ahli, peneliti dari Princeton University ini menemukan bahwa jenis burung yang paling sering diperdagangkan di Indonesia menjadi mahal dan sulit didapat di pasar. Artinya, populasinya di alam liar telah menurun.

Para peneliti juga menemukan bahwa lima dari 14 spesies penelitian mengalami penurunan populasi yang berada di IUCN Red List. Atau, populasinya menurun secara global.

“Pada dasarnya kami memiliki jejak yang jelas bahwa perdagangan seperti ini mempengaruhi populasi burung, dan sekarang kita harus mencoba dan mencari tahu burung-burung apa saja yang populasinya menurun,” kata J. Berton Harris, salah satu penulis penelitian tersebut.

Untuk negara-negara berkembang yang pusat perdagangan burung liarnya bernilai miliaran dolar tetapi sering kekurangan sarana untuk memantau penurunan satwa liar, untuk melihat tren itu, pasar merupakan cara mudah untuk mengukur penurunan spesies burung  secara akurat dan murah.

Namun, para ahli di Indonesia mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk mencegah kepunahan. Beberapa burung endemik Indonesia bernilai sangat mahal sebagai hewan peliharaan, seperti kakatua- kecil jambul-kuning (Cacatua sulphurea) dan jalak bali (Leucopsar rothschildi), kini terancam punah. Dan ada kemungkinan burung lain juga sedang menuju kepunahan.

“Cukup mungkin untuk mengidentifikasi masalah ini, tapi tampaknya mustahil menghentikannya” kata Iqbal.

Memiliki burung sebagai hewan peliharaan adalah tradisi dan kadang-kadang menunjukkan status kelas seseorang dalam masyarakat.

“Selain itu, kejahatan terhadap satwa liar belum menjadi prioritas bagi pemerintah, sehingga Anda dapat melihat pasar burung lokal di mana-mana di Indonesia.”

Dwi Adhiasto dari Wildlife Crime Unit (WCU) mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki undang-undang yang melarang penangkapan dan perdagangan burung tertentu, dan ditambah lagi dengan penegakan hukum yang lemah.

“Ini adalah masalah besar. Tidak hanya pedagang, tapi pemburu dan penjaga ilegal harus dihukum sesuai hukum di Indonesia karena terlibat dalam perdagangan burung-burung dilindungi.” (Diterjemahkan oleh Akhyari Hananto).

Artikel Asli:

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,