,

Mereka yang Terimbas Reklamasi di Pesisir Makassar

Saparuddin (28), dari lahir hingga dewasa,  dan berumah tangga di Kecamatan Mariso, pesisir Makassar. Ia kawasan bisnis sekaligus pemukiman mewah. Tidak jauh dari rumahnya, tampak blok-blok lahan ‘milik’ investor.

Pengembangan pesisir itu dimulai sejak 2000-an. Membuka jalan lurus dari Pantai Losari menuju Tanjung Bayang. Pendapat pemerintah kala itu, Makassar sudah padat hingga pengembangan di wilayah pesisir.

Berbagai proyek pembangunan dilakukan dengan mengundang investor. Kini di tempat itu ada pusat perbelanjaan, gedung pertemuan (Celebes Convention Centre), rumah sakit bertaraf internasional, hotel berbintang, restoran. Juga pengembangan mega proyek Centre Point of Indonesia (CPI). Tak jauh dari kawasan itu berumah Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla.

Di balik proyek-proyek pengembangan itu, ratusan penduduk di sekitaran kawasan, sebagian besar menggantungkan hidup dari nelayan, makin terjepit. Mereka ditolak kerja dalam proyek-proyek itu. “Buruh-buruh dari luar pulau seperti Jawa,” kata Saparuddin.

Dia menapakkan kaki pada tumpukan batu di bawah jembatan. Air laut hitam, dan berlumpur membuat seluruh telapak tangan dan kaki keriput dan pucat. Sembari berjalan, dia mengangkat hasil tangkapan kerang dengan gabus kotak kecil. Lalu dia masukkan ke karung.

Saparuddin bersama Wawan, dan enam orang lain menyelam mencari kerang. Arus kuat diakali dengan membawa bambu. Ketika pencari kerang itu menyelam, dia memegang bambu agar tak terbawa arus.

Delapan pencari kerang itu saya temui pada sebuah sore, akhir Juni 2015. Karung-karung mereka menggeletak di atas batu. Perlahan terisi. Setiap hari mereka mencari kerang pukul 11.00-17.00. Rata-rata setiap orang mendapatkan dua hingga tiga kaleng ukuran dua kg. Setiap kaleng Rp15.000. “Untuk membeli beras dan lauk saja,” katanya.

-Dermaga Pelelangan Ikan dengan halaman depan Rumah Sakit Siloam. Setelah reklamasi, jalur nelayan makin sempit. Foto: Eko Rusdianto
-Dermaga Pelelangan Ikan dengan halaman depan Rumah Sakit Siloam. Setelah reklamasi, jalur nelayan makin sempit. Foto: Eko Rusdianto

“Dulu, waktu jalan belum dibangun kami mencari kerang di depan rumah. Dalam dua sampai tiga jam bisa terkumpul satu karung penuh,” kata Wawan.

“Sekarang susah, tinggal tempat ini untuk cari kerang. Itupun sudah makin sedikit,” timpal Saparuddin.

Menurut Wawan, dulu ada sekitar enam jenis kerang, sekarang tinggal tiga. “Kerang hijau tidak begitu diminati. Dulu berita kalau kerang hijau di Losari tercemar dan beracun.”

Jalur nelayan terkurung

Losari menjadi ikon utama Makassar untuk menyaksikan sunset begitu indah. Sejak pembangunan kawasan pesisir seperti CPI, ada jembatan melintang menghubungkan dengan Pulau Lae-lae.

Penanggung Jawab Kawasan CPI Soeprapto Budisantoso, mengatakan, pembangunan kawasan bisnis global terintegrasi seluas 1.000 hektar akan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan akses sosial masyarakat. “Ini untuk menyelamatkan pesisir kota agar makin baik,” katanya.

Soeprapto memperlihatkan rancang bangun kawasan itu. “Ini gambar lama. Secara umum seperti ini. Coba lihat. Ini Trans Mall, jika sekarang berada di pinggir pantai, setelah pengembangan tidak lagi.”

Saat ini, Trans Mall, salah satu pusat perbelanjaan di Makassar. Letak di pinggir pantai, didirikan di lahan reklamasi. Jadi, katanya, jangan melihat reklamasi sebagai sesuatu yang salah, karena Dubai dan beberapa negara lain melakukan itu.

Soeprapto menjelaskan, bagaimana pengembangan kawasan terintegrasi itu begitu diperhitungkan, dari aspek sosial hingga lingkungan. “Konsep ini digambar oleh Dani Pomanto (saat ini menjadi Walikota Makassar, dikenal sebagai arsitek). Saya kira dia sangat tahu dan benar-benar memperhitungkan bagaimana hidrologi air, biota dan pergerakan sedimen. Saya kira dia cukup ahli dalam hal itu.” “Coba lihat, ini jalan yang menghubungkan nelayan menuju tempat pelelangan. Jadi semua telah terintegrasi dengan baik.”

Sedangkan Guru Besar MIPA Universitas Hasanuddin, Dadang Ahmad Suriamiharja, juga menelisi DAS Jeneberang dan kondisi Teluk Losari pada 2001 mengatakan, reklamasi pemerintah Makassar dan Sulsel di pesisir Losari tidak memperhitungkan sirkulasi dan hidrologi air. “Jadi, tak ada lagi proses pergantian air. Sekarang dengan kasat mata terlihat air berlumpur, bau menyengat dan hitam.”

Reklamasi, katanya, juga menghilangkan kawasan serapan air karena menjadi jalan utama lintas Metro Tanjung Bunga. “Pembangunan jalan tidak hanya menghilangkan kawasan mangrove, namun menyisakan kawasan Tempat Pelelalangan Ikan di Rajawali sebagai kubangan dan tempat bertumpuknya sedimentasi,” katanya.

Saya mengunjungi TPI. Dermaga yang dulu berjejer perahu-perahu nelayan dari pagi hingga sore, sudah tidak nampak lagi. Kondisi seperti kolam kecil dengan air berwarna hitam pekat.

Akses nelayan menggunakan perahu untuk membawa ikan dengan perahu hanya kanal kecil. Saat kemarau, perahu dengan muatan ikan penuh akan membongkar di luar dermaga, karena jalur kapal dangkal. TPI itupun tidak lagi di pesisir melainkan halaman belakang rumah sakit Siloam.

Dermaga TPI di Makassar. Foto: Eko Rusdianto
Dermaga TPI di Makassar. Foto: Eko Rusdianto

Wisma negara

CPI akan dibangun di lahan seluas 157 hektar. Ciputra Group melalui PT Ciputra Surya Tbk menjadi pengembang menggandeng PT Yasmin Bumi Asri, pemenang tender.

Berdasarkan perjanjian kerjasama sekitar 50 hektar lahan reklamasi diserahkan ke Pemerintah Sulsel. Lahan itu akan menjadi area publik guna pembanguann fasilitas umum, seperti masjid, istana negara, miniatur monas, area terbuka hijau, hingga kantor pemerintahan.

Selebihnya lahan Ciputra untuk mengembangkan kota baru dengan nama Citra Land City Losari untuk pemukiman dan area komersil.

Sektretaris Komisi A DPRD Makassar, Rudianto Lallo mengatakan, hampir semua pengembangan di pesisir Losari tak memiliki izin. “Bayangkan semua orang membangun dulu baru mulai mengurus izin. Ini kan aneh.”

“Sekarang, melihat sebelumnya. Tempat itu laut, pasir tumbuh. Bagaimana mungkin dibuatkan kawasan pemukiman, itu menjadi hak milik.”

Tak hanya itu, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah yang seharusnya menjadi landasan dan payung hukum belum disahkan. RTRW periode 2006-2015, berakhir 15 Juni 2015. “Jadi pemerintah dan pengembang hanya menggunakan Perda Nomor 6 tahun 2006, tentang RTRW Makassar, yang pada dasarnya hanya untuk kawasan di Anjungan Pantai Losari itu.”

Ketua Pansus RTRW DPRD Makassar, Abdul Wahab Tahir saat diskusi bersama Walhi mengatakan, garis pantai Makassar sekitar 35 km akan berubah. “Ingat, ketika Presiden mengadakan ground breaking pengembangan pelabuhan Makassar dengan luasan ratusan hektar, itu legitimasi untuk reklamasi.”

Pembangunan di Pesisir Pantai Makassar. Foto: Eko Rusdianto
Pembangunan di Pesisir Pantai Makassar. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,