Menjelang perayaan pengucapan syukur di kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, perdagangan satwa dilindungi diduga masih berlangsung. Sebab, pada Kamis (23/07/2015) tim Yayasan Selamatkan Yaki menyaksikan potongan daging mirip Yaki (Macaca nigra), satwa endemik Sulut, di Pasar Langowan.
Berawal ketika tim Selamatkan Yaki membuka Stand Informasi di pasar Langowan, untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk tidak lagi mengkonsumsi satwa dilindungi dalam perayaan pengucapan syukur di Minahasa.
Tiba-tiba, dari jarak 10 meter mereka dikejutkan potongan daging mirip Yaki sedang diperdagangkan di sana. Namun, pertimbangan keamanan membuat tim Selamatkan Yaki tidak bisa memastikan satwa yang diperdagangkan tersebut.
“Tidak sempat difoto karena kami harus mempertimbangkan faktor keamanan. Di pasar Langowan kami menggunakan baju, atribut dan simbol-simbol penyelamatan yaki yang relatif besar ukurannya. Kalau difoto atau menanyakan langsung pada penjual, mungkin bisa lain ceritanya,” kata Yunita Siwi, Education Officer Yayasan Selamatkan Yaki pada Mongabay, Jumat (24/o7/2015).
Ke depan, Yayasan Selamatkan Yaki kedepannya akan berkomunikasi dengan pengelola pasar untuk menertibkan aktifitas perdagangan di pasar Langowan. Mereka juga akan melibatkan para pedagang di sana dalam kegiatannya.
“Kami berencana bikin sebuah kegiatan khusus dengan pedagang dan menjelaskan kepada mereka bahwa yaki adalah satwa dilindungi. Kegiatan ini rencananya akan melibatkan juga pengelola pasar,” ucapnya.
Dalam penyelenggaraan Stand Informasi kali ini, tim Selamatkan Yaki melibatkan Kelompok Pecinta Alam Langowan (Kapalang). Anak-anak juga dilibatkan dalam kegiatan mewarnai. Kegiatan ini kemudian berhasil menarik perhatian sejumlah pengunjung pasar. Sayangnya, tidak banyak informasi terkait perdagangan satwa endemik Sulut yang didapat.
“Tapi, kami sedang bikin riset mengenai perdagangan satwa liar, bukan cuma yaki. Pengambilan data dilakukan di beberapa lokasi, misalnya Langowan, Kawangkoan, Tomohon, Amurang dan Motoling. Ini baru tahap pertama. Dari riset ini, kita akan tahu kecenderungan perdagangan satwa di Sulawesi Utara, khususnya mengenai satwa dilindungi,” jelasnya.
Sudiyono, kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, mengaku baru mendengar informasi dugaan perdagangan satwa mirip yaki di pasar Langowan. Namun, ia berjanji akan meninjau lokasi dan mengembangkan informasi terkait perdagangan satwa di pasar Langowan ini.
“Kita akan pantau siapa penyuplai dan lewat jalur mana. Kami juga akan mengkomunikasikan persoalan ini dengan pengelola pasar, nantinya,” katanya.
Pihaknya mengaku sudah melakukan pengawasan menjelang perayaan pengucapan syukur di kabupaten Minahasa ini. Upaya menekan perdagangan satwa dilindungi, misalnya, dilakukan dengan mengawasi peredaran di perbatasan Sulut dan Gorontalo. Sebab, perdagangan satwa dilindungi diduga melintasi jalur Sulawesi Tengah, Gorontalo hingga Sulawesi Utara.
Meski demikian, ia tidak memungkiri bahwa pengawasan tersebut memiliki kendala tersendiri. “Memang ada yang terlewat dari pengawasan. Kan, jumlah yaki di luar kawasan konservasi hampir 3000 ekor,” jelasnya.
BKSDA melakukan pendekatan berbeda dalam pengawasan di pasar menjelang perayaan pengucapan syukur. Faktor keamanan petugas patroli dijadikan pertimbangan untuk mengambil langkah.
“Kami melakukan pengawasan tertutup sesuai dengan informasi. Kami juga sudah punya jadwal,” tambah Sudiyono, “Namun,pengucapan syukur di Sulawesi Utara ini kan tidak serentak. Itu juga jadi salah satu kendalanya.”
Perayaan pengucapan syukur secara historis merupakan ungkapan syukur masyarakat Minahasa atas panen padi. Namun, dalam perkembangannya, sejumlah aktivis dan pecinta satwa menilai, momentum pengucapan syukur cukup rentan dengan perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa dilindungi, salah satunya yaki.
John Tasirin, pakar Biodiversitas asal Universitas Sam Ratulangi menyatakan, semua primata di Indonesia merupakan satwa dilindungi. Sehingga, perdagangan satwa mirip yaki di pasar Langowan merupakan pelanggaran hukum. Karenanya, ia mendesak instansi berwenang untuk berani mengambil langkah menyelesaikan persoalan ini.
“Semua primata dilindungi undang-undang, bukan perorang. Jadi ketika ditemukan daging mirip yaki di pasar Langowan, berarti ada seorang kriminal, sesuai UU. Pihak berwenang harus usut kasus ini. Harus ada action. Strategi yang baik di pasar adalah menindak kepala pasar karena dia yang bertanggungjawab di sana,” tegas dia.
Namun, John melihat, kelemahan dalam penyelesaian kasus perburuan atau perdagangan satwa dilindungi berasal dari sudut pandang para penegak hukum. Selama ini, sejumlah kasus perburuan dan perdagangan satwa sulit diselesaikan karena bukti semisal foto dinilai tidak cukup kuat secara hukum.
“Kalau ikut mekanisme sekarang, tangkap tangan, susah. Tapi, kan, dalam UU sudah ditegaskan, siapa yang memiliki, memegang dan atau memindahkan, sebagian atau seluruhnya, hidup atau mati, sudah bisa dipidana.”
Dampak Buruk Bagi Kesehatan
John menyatakan sejumlah penelitian membuktikan bahwa ada penyakit yang bisa ditularkan primata pada manusia, yang dalam jangka panjang berdampak degradasi fungsi otak.
John belakangan menjadi anggota South East Asia One Health Universty Network (SEAOHUN). Jaringan one health di universitas se-Asia Tenggara ini digagas oleh WHO, bertujuan menciptakan kader profesional atau terlatih berdasarkan konsep one health.
“One health berarti ekosistem sehat, manusia juga sehat,” jelasnya.
Lewat SEAOHUN, ia terlibat dalam riset-riset yang bertujuan mengidentifikasi dan memerangi virus yang ditebarkan oleh satwa liar. “Contohnya zoonotic atau virus yang didistribusikan oleh satwa liar, yang merambat dari kehidupan satwa liar ke manusia.”
Ia menambahkan, sejumlah penelitian telah mempublikasi adanya virus yang ditemukan di tempat lain, tapi tidak ditemukan di sini. Namun, itu bukanlah kabar baik. Sebab, virus-virus tadi bisa berkembang dan bermutas dengan sangat cepat.
“Kalau virus-virus itu bermutasi, kita di Sulawesi Utara yang paling berbahaya menerima penyakit tersebut. Kalau masyarakat menyatakan selama ini tidak bermasalah dengan konsumsi daging yaki, karena memang dampaknya tidak langsung terasa. Ada bioakumulasi. Nanti akan terasa sedikit-sedikit,” katanya.
“Dari sisi kesehatan masyarakat, warga Sulut sebenarnya dirugikan karena sudah mengkonsumsi yaki. Tapi banyak orang mempercayai mitos. Ada yang bilang yang bilang obat dan sebagainya. Padahal, berdampak buruk bagi kesehatan.”
John menilai, belum ada stategi untuk menekan peredaran virus tersebut. Solusi yang dirasa paling relevan adalah berhenti mengkonsumsi satwa liar. “Karena kita bisa konsumsi hewan yang sudah didomestikasi, yang lebih terkontrol kehidupannya. Jadi, sampai kapan makan yaki?”