Mongabay.co.id

Komitmen Lingkungan Dinilai Terlalu Berat, Pemerintah Khawatir IPOP Hambat Bisnis

Aneh dan bingung. Mungkin itu pikiran yang muncul kala melihat respon pemerintah terhadap lima perusahaan besar yang baru memulai komitmen berbisnis bertanggung jawab dengan lingkungan dan masyarakat lewat Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Betapa tidak. Satu sisi pemerintah ribut meminta swasta ikut serta dalam pembangunan berkelanjutan guna mengurangi emisi karbon. Sisi lain, kala pebisnis baru melangkah—belum terlihat hasil—berniat memulai bisnis dengan standar nol deforestasi, pemerintah malah menilai tak masuk akal bahkan, membahayakan industri sawit itu sendiri.

Dari pertemuan lintas kementerian yang diadakan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jumat (28/8/15), yang muncul berbagai kekhawatiran terhadap kehadiran IPOP, seperti membahayakan rakyat, bisa mematikan bisnis sawit, dan melanggar UUD-45. Muncul juga dugaan IPOP bisa membentuk kartel sampai tudingan IPOP sebagai ‘produk’ dan tekanan asing di balik pembentukan itu.

Meskipun begitu, ada beberapa pandangan yang menyatakan, jangan berburuk sangka terlebih dahulu dengan IPOP. Bisa jadi, komitmen ini ada guna menjawab tuntutan pasar yang kuat menginginkan produk sawit bertanggung jawab dan peduli lingkungan. Ada juga, yang menyatakan,  secara substansi dan UU lingkungan dan kehutahan, sebenarnya IPOP malah bagus,  mendukung perlindungan lingkungan dan kehutanan.

Dalam acara itu hadir berbagai kementerian, selain KLHK, antara lain, ada perwakilan dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, BPKM. Dirjen dari KLHK, hadir  San Afri Awang, Dirjen Tata Lingkungan, Hadi Daryanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan serta Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, serta beberapa jajaran direktur dan staf ahli.

San Afri Awang, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK, mengatakan, IPOP bagus tetapi tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi, dengan memasukkan  hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi. “Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” katanya.

Salah satu aksi protes warga yang lahan terampas kebun sawit di Kota Waringin Timur, Kalteng. Seharusnya, pemerintah lebih serius lagi khawatir dan peduli penanganan konflik-konflik lahan yang muncul karena sawit. Foto: Walhi Kalteng

Untuk itu, katanya, diskusi lintas kementerian ini ingin membangun komunikasi yang nantinya bisa disampaikan ke manajemen IPOP. “Minta mereka buat menurunkan standar, tak memasukkan semak belukar dan hutan sekunder sebagai yang diproteksi dalam komitmen.”

Meskipun kebun sawit sudah 10 jutaan hektar, tetapi dia tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, katanya, usulan-usulan yang masuk banyak ingin membangun kebun sawit. Dari pernyataan Awang, tampak banyak usulan masuk untuk bangun kebun sawit, terutama di Papua. “Andaikata terjadi tukar menukar lahan APL (alokasi penggunaan lain) dan HPK (hutan produksi konversi), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. Jadi sulit karena masih banyak orang mau bangun di Papua.”

Dalam diskusi Awang juga sempat menyatakan, kalau IPOP membahayakan rakyat, terutama petani-petani sawit yang juga menjadi pemasok dari pebisnis besar. Kala mereka tak bisa memenuhi standar tinggi itu, bisa ditolak produk sawitnya.  Karena itu, dia menilai IPOP sudah melanggar UUD’45 dan sebagai organisasi sudah melampaui kewenangan pemerintah. Sebab, katanya,  aturan pemerintah membolehkan pembangunan di hutan sekunder dan semak belukar tua tetapi dalam IPOP malah melarang.

Dalam beberapa bulan sejak ada IPOP ini, katanya, sudah berdatangan beberapa anggota yang mengeluh dan meminta bantuan KLHK karena berat menjalani komitmen. Bahkan, sawit anggota IPOP sudah ada yang dilarang karena tak bisa memenuhi standar.  “Fakta, mereka datang melapor, kami buat ini, tapi kami tak bisa melakukan karena anggota kami kena semua,” ucap Awang, menceritakan keluhan anggota IPOP.

Dia sempat menilai, IPOP ini sebagai suatu kebaikan yang berbungkus sesuatu. “Bagaimana mungkin pemerintah Indonesia, tak boleh bangun sawit dari belukar tua?”

Menurut dia, harus dilihat latar belakang kelahiran pledge ini yang dinilai berkat  tekanan dari asing. “Kenapa pemerintah silang pendapat? Memang gak ngerti.” Menurut dia, ada wilayah yang benar-benar berbahaya untuk negara. “Yang voluntary itu di bawah tekanan…mestinya kawan-kawan  tahu siapa yang menekan. Kalau negara berdaulat gak usah mau ditekan.”

Para anggota juga, katanya, sudah membuat kesepakatan tetapi bingung sendiri. “Dia minta cari jalan keluar. Waktu buat mereka yang voluntary. Anggota kena banned, gak bisa jual lagi, karena minyak sudah ditahan ketahuan masih bangun di hutan sekunder dan belukar tua. Mana ada lagi tanah kosong. Lima perusahaan ini difasilitasi negara juga buka hutan sekunder lo. Ada politik, dan wilayah hukum. KLHK ngomong ini semua karena center ini deforestation free.”

Disebutkan beberapa contoh dampak suspensi-suspensi pembelian sawit oleh perusahaan besar anggota IPOP kepada pemasok, antara lain oleh Wilmar, Musim Mas, Golden Agri dan Asian Agri. ”Suspensi berjalan dan tak pernah muncul di permukaan…”

Musdhalifah Machmud, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian, juga menyebutkan kekhawatiran terhadap IPOP karena di lapangan sudah berdampak. Menurut dia, tiga juta petani bergantung pada sawit.

“Kita sebenarnya sudah ada ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), kita tidak bisa adopsi pledge (IPOP). Di lapangan sudah banyak dampak yang terjadi, misal, di Aceh sudah ada kebun sawit kerjasama dengan Wilmar tapi karena mereka masih mau bangun, CPO tak bisa dijual ke Wilmar.”

Dari awal, katanya, tak pernah ada informasi jelas soal apa isi plegde. “Waktu penandatanganan pertama (ikrar empat perusahaan besar di New Yok), nol deforestasi. Kemudian, curiganya, kenapa tak lalui pemerintah tetapi duta besar?”

Menurut dia, para pebisnis ini seharusnya didampingi oleh Pemerintah Indonesia. “Tapi tak terjadi, hanya Kadin yang dampingi. Pengusaha diminta lakukan pledge. Kami dari kantor Menko Perekonomian bilang, silakan kalau mau lakukan plegde, dan B to B (sesama pebisnis) tak harus di depan Presiden.”  Dia menyesalkan, ternyata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diminta hadir.

“Itu perusahaan yang bekerja di negara kita. UU yang harus dipatuhi di negara kita bukan Amerika.”

Pembuangan limbah dari pabrik PT. Mustika Sembuluh yang mengalir ke Sungai Sampit dan Pondok Damar. Kini, sungai Sampit pun tak bisa digunakan keperluan sehari-hari layaknya Organisasi perusahaan yang baru mau komitmen tinggi buat lingkungan dikhawatirkan hambat bisnis, seharusnya, pencemaran air dan kerusakan lingkungan seperti inilah, yang menjadi ‘kehebohan’ pemerintah untuk menanganinya. Foto: Walhi Kalteng

Saat ini, kata Mus, setelah menjadi IPOP, dampak meluas dan membahayakan bisnis sawit. “Bagaimanapun juga perkebunan sawit sumber perekonomian rakyat. Daerah remote dengan perkebunan rakyat. Usaha-usaha rakyat bisa terhenti. Apakah ada alternatif lain? Silakan pledge tapi jangan ganggu pembangunan di negara kita.”

Meskipun begitu, terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh pebisnis, katanya, harus ada penguatan pengawasan. “Pembangunan berkelanjutan itu harus. Tapi cara yang harus diluruskan.”

Laksmi Dewanti, Staf Ahli Industri  dan Perdagangan Internasional KLHK, mengatakan, sebenarnya belum ada pelanggaran apapun yang dilakukan IPOP. “Malah dari UU KLHK cenderung mendukung,” katanya.

Dia menilai, kekhawatiran yang muncul ini serupa dengan kekhawatiran dulu kala labeling-labeling pertama kali ada. “Kejadian ini juga pernah terjadi saat kita belum marak dengan labeling. Waktu itu teman-teman ecolabel di Indonesia, marak mengembangkan itu. Seolah-olah pemerintah, padahal bukan.” Menurut dia, harus ada pernyataan tegas pemerintah bahwa IPOP ini tidak wajib bagi perusahaan bukan anggota.

Dia melihat, kelompok ini bentuk plegde untuk meminta insentif lebih dari pemerintah.  Dari para anggota IPOP, katanya, muncul kekhawatiran kala mereka memproteksi lahan sesuai standar, malah diklaim sebagai lahan terbengkalai oleh pemerintah—yang bisa diambil dan diberikan kepada pengusaha lain.

Kala pertemuan, dari IPOP meminta kepastian kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bahwa lahan-lahan mereka yang dijadikan wilayah konservasi guna menjaga lingkungan, jangan diambil.

Dari Kementerian ATR bilang, tak akan mengambil lahan-lahan yang dikeluarkan perusahaan untuk perlindungan lingkungan. Dari IPOP meminta ketegasan, pemerintah buat mendukung upaya perlindungan ini, dari pusat sampai daerah.

Nurdiana Darus, Direktur Eksekutif IPOP menanggapi. Menurut dia, perkebunan sawit di Indonesia dan dimanapun di dunia mestinya menyadari mereka berada pada dua sisi. Yakni, memiliki nilai ekonomi tinggi yang memberikan kontribusi pendapatan Indonesia dan tenaga kerja, juga dikaitkan dengan berbagai isu lingkungan dan sosial mulai dari deforestasi, keragaman hayati hilang, emisi gas rumah kaca sampai konflik sosial.

Masalah-masalah ini, katanya, mengelilingi bisnis sawit yang menyebabkan, pebisnis sawit mengubah cara pikir dan berbuat lebih dari praktik-praktik dan standar yang sudah ada dengan memanfaatkan peraturan yang berlaku untuk membuat sektor ini lebih berkelanjutan di seluruh rantai bisnis mereka.

“Cara baru berpikir ini diubah menjadi janji yang akan menjadi pedoman dalam berbisnis. Ini juga berarti mendorong dan melibatkan komitmen dari pemasok pihak ketiga yang terkait, petani, LSM dan masyarakat untuk bekerja sama. Tentu dengan dukungan dari pemerintah sebagai regulator sektor ini,” ucap Ade, sapaan akrabnya.

Ide revolusioner yang diwujudkan dalam bentuk kesepakatan IPOP ini, akan menjadi pedoman bagi sektor swasta bahwa mereka ingin mengubah praktik bisnis dan sekitar ekosistem mereka, dengan mulai mengimplementasikan paradigma berkelanjutan.

“Misi IPOP menciptakan suasana bahwa Indonesia bisa dan mampu mempromosikan produksi sawit berkelanjutan. Yang itu adalah nol deforestasi,  memperluas manfaat sosial, dan meningkatkan daya saing pasar Indonesia.”

Ade juga menyebutkan misi IPOP diterjemahkan kedalam fokus-fokus kepada area di mana anggota bisa menjalankan komitmen mereka. Salah satu, menyoroti peningkatan kepedulian terhadap lingkungan di mana anggota IPOP akan mengenali dan melindungi high carbon stock (HCS) dan high conservation value (HCV).

“Pendekatan HCV dirancang untuk memelihara atau meningkatkan nilai-nilai lingkungan dan sosial di lansekap produksi, sedangkan pendekatan HCS dirancang, mengidentifikasi daerah karbon tinggi sebagai strategi mencapai nol deforestasi dengan melindungi kawasan hutan alam yang layak, lahan HCV dan masyarakat.”

Fokus lain, juga komitmen manfaat sosial bagi masyarakat. Melalui kerjasama dengan mitra di lapangan, katanya, perusahaan anggota IPOP berkomitmen meningkatkan produktivitas petani kecil dan mata pencaharian masyarakat. “Perusahaan-perusahaan anggota juga berkomitmen memperkuat ISPO dan nilai tambah terutama melalui sertifikasi petani kecil.”

Jadi, implementasi IPOP untuk mendukung sawit Indonesia meningkatkan daya saing baik global maupun domestik. “Penting, minyak sawit kami dipandang tidak hanya sebagai komoditas strategis tetapi juga salah satu yang berkelanjutan.”

Jalan di perkebunan sawit PT. Surya Bumi Agro Langgeng menuju Rimbo Sekampung. Masyarakat adat ini khawatir, hutan Marga Banakat ini terancam sawit. Apakah pemerintah juga akan khawatir dengan kondisi ini? Foto: Taufik Wijaya
Exit mobile version