, , ,

Pakar: Kebakaran Hutan dan Lahan Percepat Perubahan Iklim

Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia yang mencapai lebih 1,5 juta hektar tahun ini menyumbang pelepasan emisi karbon tak sedikit hingga mendorong perubahan iklim. Kebakaran terjadi dampak ekosistem hutan rusak karena konversi menjadi beragam kegunaan dari kebun kayu, sawit, sampai tambang.

Sudibyakto, M.S, Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) mengatakan, kebakaran hutan dan lahan menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Selain merusak ekosistem lahan tropika basah, juga akan mempercepat proses perubahan iklim.

Pemulihan kerusakan eksosistem lahan dan hutan yang terbakar memerlukan waktu lama, 30-50 tahun, bahkan lebih. Untuk itu, perlu manajemen risiko bencana kebakaran hutan dan lahan komperehensif antara kementerian atau lembaga pemerintah. Termasuk negara tetangga, dalam kerangka kerja ASEAN Agreement on Disaster Risk Management.

“Kegagalan mengelola hutan dan lahan gambut akan mempengaruhi perubahan iklim yang menimbulkan dampak luas masa mendatang,”katanya, pekan lalu di Yogyakarta.

Kebakaran ini, katanya, merupakan bencana nonalam. Sedang iklim, seperti El-Nino yang menguat pada November ini, tak berhubungan langsung dengan kebakaran.

“El-Nino memang mempengaruhi kekeringan. Ancaman kekeringan meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan, tetapi bukan penyebab.”

Dia mendesak, penyusunan standar operasi prosedur (SOP) pengendalian kebakaran dan hutan dengan cara memperkuat peraturan perundang-undangan. Kesiapsiagaan pemerintah daerah dan lembaga terkait dalam penilaian dan manajemen risiko menjadi prioritas pembangunan berkelanjutan sejalan dengan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030.

Masyarakat sekitar hutan, katanya, perlu dilibatkan langsung dan lebih proaktif dalam berbagai kegiatan mitigasi kebakaran. Langkah ini bisa difasilitasi misal lewat desa tangguh bencana berkesinambungan menuju pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat.

Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Hartono mengatakan, kebakaran hutan dan lahan kali ini mirip 1997 dan jauh lebih parah karena asap mengganggu banyak kehidupan.  Dampak kebakaran merugikan secara ekonomi, biodiversitas dan kesehatan, pendidikan dan jelas melepas emisi karbon.

“Kerugian ekonomi jelas, hilang produk perdagangan, pariwisata, penerimaan pemerintah berkurang, sampai berbagai pembatalan penerbangan. Kerugian biodiversitas, sinar matahari berkurang, hilang tanaman obat-obatan dan spesies langka,” katanya.

Untuk itu, perlu usaha sungguh-sungguh karena penyebab dapat ditelusuri dan memberikan hukuman tegas pada pembakar hingga memberikan rasa keadilan. Penginderaan jauh, katanya, bisa menampilkan data dalam ruang dan waktu untuk mengkaji kebakaran.

Azwar Maas, Ketua Pokja Karhutla IABI, ikut bicara. Dia menilai, sulit mengatasi kebakaran karena pembuatan kanal di lahan gambut tak memperhatian satuan hidrologis. Air tanah menyusut karena tidak ada sumber air pengisi (luapan pasang surut, hujan atau kubah) dan zona perakaran dangkal kering. Gambut semula suka air (hydrophilic) menjadi tidak suka air (hydrophobic), kering dan berdebu.

“Tanaman penutup tanah, cover crop dan rumput atau semak menjadi kering karena zona perakaran tidak mampu menyerap air,” katanya.

Dengan kondisi ini, katanya, sebenarnya ada beberapa cara dari jangka pendek hingga panjang. Untuk jangka pendek, terkait teknis kedaruratan, yaitu aplikasi teknis mengatasi kebakaran. Jangka menengah prioritas utama teknis non kedaruratan dan jangka panjang membuat perencanaan strategis tentang peraturan perundangan, peraturan teknis, peraturan-peraturan lain pendukung peraturan mendasar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,