Sebuah perahu merapat dan bersandar di dermaga Desa Tambun, Pulau Talise, pada Jumat siang di pertengahan Oktober 2015. Dari kapal, turun penumpang yang berisi tim dari Manengkel Solidaritas dan Yapeka. Ada juga dua pakar ekowisata asal Universitas Wegeningen, Belanda, yaitu Rene Henkens dan Lawrence Jones Walters, yang berniat menyaksikan keindahan alam di sana.
Talise merupakan salah satu dari banyak pulau kecil di Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Diperkirakan, pulau ini memiliki luas sekitar 200 hektar, dengan panjang 6 km dan lebar 2 km.
Begitu menginjakkan kaki di dermaga Desa Tambun, siapapun bisa menyaksikan pemandangan yang didominasi pasir putih, hijau pepohonan dan jajaran perahu. Ke arah laut, selain bening air, terlihat juga penampakan pulau-pulau kecil, seperti Kinabohutan, Bangka dan Tindila.
“Di sini, ada 8 jenis mangrove, yang didominasi Rhizopora. Lamun ada 7 jenis, kebanyakan Enhalus acoroides. Ada juga, Halophila ovalis, Thalasia hemprichii dan beberapa jenis lainnya. Untuk karang dan ikan, masih dalam pengolahan data. Nanti seluruhnya akan dijadikan satu,” kata Rio Noval Puasa, koordinator konservasi wilayah pesisir dan laut Manengkel Solidaritas menjelaskan hasil survey mereka.
Survey yang merupakan hasil kerjasama antara Manengkel Solidaritas, Yapeka dan sebuah lembaga internasional, GoodPlanet, dilakukan tiap enam bulan sekali. “Yang saya lihat, masyarakat di sini sudah mengetahui bahwa jika lingkungan rusak, mereka akan sulit menangkap ikan di situ.”
Di bagian dalam pulau, nyaris tiap rumah memiliki tanaman pohon dan bunga, yang membuat rumah-rumah warga terlihat semakin indah. Bonus lainnya, pengunjung bisa merasakan suasana asri dan sejuk. Tambun jelaslah sebuah desa yang dipenuhi bunga, tanpa perlu mencitrakan dirinya dengan gelaran berbudget internasional.
Menanam dan merawat bunga sudah jadi semacam kebiasaan warga setempat, jelas Hortinatus Masambe, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Tambun saat datang menyambut. Ketika musim panas berkepanjangan seperti sekarang, warga semakin sering menyiram tanaman agar tidak mengalami kekeringan.
Ada berbagai bunga dan pohon yang ditanam di sana. Warga percaya, tanaman-tanaman tersebut, selain membuat pemandangan menjadi indah dan asri, dapat berfungsi sebagai ‘apotek’ dan ‘dapur’.
“Tanaman dapat berfungsi sebagai dapur hidup, ia bisa menjadi bahan pangan warga setempat, misalnya cabai dan kunyit,” kata Hotrinatus. “Sedangkan, apotek hidup itu berguna bagi obat-obatan, contohnya lidah buaya dan kunyit.”
Konservasi Laut
Sebagaimana daerah kepulauan, warga desa Tambun umumnya berprofesi sebagai nelayan. Uniknya, sejak tahun 2011, pemerintah desa telah menetapkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Luas perairan yang masuk dalam DPL sekitar 1 hektar. Kabarnya, aturan dalam perdes tadi, mengikat warga di tiga pulau, yakni Bangka, Gangga dan Talise. “Kalau kedapatan menangkap ikan di kawasan DPL, alat tangkap milik nelayan tersebut akan disita. Tapi, tentu ada tahapan dalam pemberian sanksi, misalnya dimulai dari teguran,” tutur Hortinatus.
Perdes DPL dibuat dari pengalaman sulitnya mendapatkan ikan di perairan sekitar, ketika nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bom, racun atau jaring yang merusak ekosistem karang.
“Perdes DPL berupaya menjaga agar tidak terjadi perusakan di wilayah-wilayah penting,” jelasnya.
DPL diyakini bisa menjadi semacam bank ikan. Kelak, diharapkan, akan banyak ikan berkembang biak di daerah yang sudah dilindungi. Sehingga, nelayan bisa mendapat banyak ikan, bahkan di luar kawasan DPL. “Seluruh masyarakat menyepakati peraturan ini. Sebab, hasilnya juga akan dimanfaatkan bersama.”
Berdasarkan informasi warga setempat, di hutan Talise terdapat sejumlah satwa seperti yaki (Macaca nigra), tarsius serta rusa. Beberapa warga meyakinkan bahwa monyet yang dilihatnya berpantat merah. Diceritakan, yaki sering turun ke kebun warga dan memakan hasil kebun. Akibatnya, tidak sedikit warga yang marah lalu mengusir satwa endemik Sulawesi Utara ini.
Sementara, untuk tarsius, diketahui ada seorang akademisi dari luar negeri pernah melakukan penelitian di pulau Talise. Akademisi tadi diketahui merekam suara tarsius sebagai bahan penelitian.
Kami penasaran, lalu meminta Hortinatus untuk mengantar ke hutan. Jaraknya sekitar 2 km dari pemukiman warga. Di sana, kurang lebih 2 jam kami menunggu kemunculan yaki. Dalam suatu kesempatan, saya bertanya kepada Hortinatus, apakah yaki di pulau Talise juga diburu untuk dikonsumsi. “Ya, ada. Di desa sebelah sana,” jawab dia sambil menunjuk ke arah barat.
Sayang sekali, hingga menjelang sore, yaki tak kunjung datang. “Ada beberapa tempat yang biasa jadi lokasi yaki untuk cari makan. Di sini salah satunya. Yang pasti, sampai sekarang, masyarakat masih belum tahu tepatnya tempat tinggal yaki di hutan ini.”
Potensi Wisata Pulau Talise
Rene Henkens, pakar ekowisata dari Universitas Wegeningen, mangatakan, pulau Talise memiliki syarat yang cukup untuk menjadi desa ekowisata. Dia yakin, pengunjung bisa menyaksikan keindahan alam, orisinalitas desa serta budaya. Bagi Rene, unsur-unsur tersebut sangat penting, sebab pembangunan untuk ekowisata baiknya tidak merubah bentang alam.
Ia berharap, jika kedepannya pulau Talise menjadi kawasan ekowisata, pemerintah bisa mengontrol jumlah pengunjung ke daerah ini. “Karena, wisata massal akan berpengaruh pada ekologi dan sosial,” kata Rene.
Senada, Akbar A Digdo, Direktur Program Pesisir Yapeka, menilai, pulau Talise memiliki potensi wisata yang cukup besar. Penilaiannya berdasarkan aksesbilitas yang mudah dan kondisi alam yang masih terjaga.
Konsep ekowisata yang ditawarkannya adalah berbasis masyarakat, yang berdampak pada tingginya partisipasi warga setempat dalam pengelolaan wisata. “Artinya, kalaupun kita kembangkan, secukupnya saja. Nggak harus ada hotel. Wisata yang sangat efisien. Sehingga, uang yang diberikan wisatawan langsung diterima masyarakat. Uangnya habis di situ. Lain halnya, kalau kita menginap di hotel berbintang ‘10’, uangnya nggak habis di lokasi, tapi di investor.”
Karena itu, pihaknya berupaya mencari terobosan dalam ekowisata dengan membuat masyarakat setempat menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Mereka harus di depan dan menjadi aktor utama. “Kami coba mencari terobosan dalam ekowisata. Nggak cuma gitu-gitu aja. Sebab, selama ini, kalau ada resort besar, kebanyakan investasi asing. Akhirnya, warga hanya melihat, syukur-syukur bisa terlibat.”
Dari pemaparan tadi, Akbar menyatakan, daerah ekowisata mesti memiliki syarat-syarat yang terdiri dari, pertama, berdampak rendah pada lingkungan dan harus mendatangkan manfaat bagi lingkungan. Kedua, mendatangkan manfaat untuk masyarakatnya. Ketiga, memajukan sosial-budaya masyarakat di sana.
“Selama ini, dalam banyak kasus, ekowisata hanya buka plang, pasang karcis lalu kasih tempat parkir. Tidak ada edukasi buat masyarakat dan wisatawan. Harusnya, Pemda melihat alam sebagai aset. Artinya, bisa dipakai, tapi juga harus pelihara. Asetnya apa? Terumbu karang, lamun, mangrove, kemudian masyarakatnya,” jelas Akbar.
Masyarakat desa, kata dia, akan maju kalau alamnya lestari dan tidak terlampau bergantung dengan uang. Mereka dinilai menjadi ujung tombak pemanfaatan sumber daya alam. Contohnya, saat orang butuh makan, butuh lauk, hanya perlu ke laut. “Jadi, ekowisata di desa jangan dinilai dari uang, tapi bagaimana masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam sebagai penopang hidupnya.”
Hortinatus menjelaskan di sekitar perairan pulau Talise, terdapat spot diving mirip di perairan Bunaken. Sejumlah wisatawan, dalam waktu tertentu, sering dibawa ke lokasi tersebut jika perairan Bunaken sedang dalam cuaca buruk.
Hanya saja, diakui Hortinatus, jumlah wisatawan di pulau Talise, setidaknya di desa Tambun, belum terbilang banyak. Pengunjung dari luar kawasan umumnya datang untuk melakukan penelitian maupun peliputan berita. “Itupun jumlahnya tidak seberapa. Data pastinya ada di kantor Desa. Ada di buku tamu,” kata dia.
Hortinatus menyampaikan kegembiraannya kala dikunjungi tim Manengkel Solidaritas, Yapeka serta dua pakar ekowisata asal Universitas Wegeningen, Belanda, Rene Henkens dan Lawrence Jones Walters.
Menurut dia, informasi yang didapatinya sangat berguna untuk menjaga dan memajukan sumber daya alam di desa Tambun. “Dari masukan mereka, kami bisa mendapat informasi baru dan dapat kesempatan belajar. Semoga, kedepannya, komunikasi ini masih bisa berlanjut, sehingga pulau Talise bisa menjadi lokasi wisata yang baik,” harap Hortinatus.