, , ,

Tata Mandong, Sosok Penjaga Hutan Bawakaraeng

Sabtu malam, 17 Oktober 2015. Suara angin bergemuruh di Lembah Ramma, Gunung Bawakaraeng, Kecamatan Tinggi Moncong, Gowa, Sulawesi Selatan. Di satu rumah, tampak kasur kapuk tua tergulung. Spanduk aksi menempel di dinding, menutup celah papan. Lantai matras. Udara malam itu membuat tubuh menggigil.

Lelaki ini tampak menikmati suasana. Menyeduh kopi. Menggulung tembakau. Membungkus badan dengan sarung. Kadang-kadang dia baru terlelap pukul 01.00, dini hari. “Sebelum tidur, banyak itu dipikir. Ingatka pohon. Air. Sama ini alam supaya dijaga terus,” katanya.

Dia biasa hidup sendiri. Namun, malam itu, empat lelaki pendaki menemani. “Saya mau kalau mati dikubur di sini. Nda dikubur juga nda apa. Yang penting dekat Bawakaraeng.” Suara sedikit berat, diselingi batuk dahak. Dia kurang enak badan sejak tiga hari terakhir.

Dialah Tata Mandong, begitu para petualang dan penikmat alam menyapanya. Tata, dalam bahasa setempat berarti bapak.

Tata Mandong, lahir 1938. Tiinggi sekitar 165 cm. Selalu  berpeci hitam. Sejak 2003, dia menempati rumah panggung di tengah Lembah Ramma. Tak ada tetangga. Menjangkau desa terdekat, Lembanna, perlu waktu berjalan kaki tanpa istirahat sekiar dua jam. Bagi pendaki, berpengalaman sekalipun, waktu tempuh tiga sampai empat jam.

Perkenalan Tata Mandong dengan Gunung Bawakaraeng dimulai usia 10 tahun. Bersama orangtua dan puluhan warga desa di Panaikang–kaki Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang–melakukan perjalanan menuju puncak.

Dia tak bisa lagi merinci suasana dan detail masa itu. Dia menikmati kala itu. Melihat kampung dari ketinggian, lembah, dan awan. Masyarakat kaki Bawakaraeng, memandang gunung sebagai tempat suci. Tak boleh dikotori dan harus sopan.

Secara harafiah Bawakaraeng dalam bahasa Makassar, terdiri dari dua kata. Bawa berarti mulut dan Karaeng adalah orang mulia. Bawakaraeng adalah mulut orang mulia (suci). “Dulu kalau mau naik (Puncak Bawakaraeng di Pos 10), sampai Pos 8, harus buka alas kaki ke puncak,” kata Mandong.

Lembah Ramma terlihat dari ketinggian, diantara Pos 7 menuju Talung. Foto: Eko Rusdianto
Lembah Ramma terlihat dari ketinggian, diantara Pos 7 menuju Talung. Foto: Eko Rusdianto

Bawakaraeng adalah penamaan baru, sekitar 1960-an. Sebelumnya, dikenal dengan Butta Toayya (tanah tua), Butta Lompoa (tanah besar), dan Butta Salama (tanah keselamatan). “Jadi dulu dikana naikeri ri Butta Toayya (mendaki ke Butta Toayya). Tidak dibilang Bawakaraeng,” katanya.

Menjaga amanah

Tahun 1972, kali pertama Tata Mandong bersentuhan dengan Bawakaraeng. Di Desa Lembanna, , melaui Dinas Kehutanan Gowa, dia jadi tenaga honorer. Menanam dan menjaga bibit pohon pinus.

Saat bibit pinus di Lembanna bertumbuh baik, dia dipindahkan ke Longko Lappang, lalu Topidi, Lembah Loe terakhir Lembah Ramma.

Total luasan pohon dijaga mencapai ratusan ribu hektar. Di Lembah Loe, misal, sebelum berpindah ke Lembah Ramma, dia menjaga pohon Dinas Kehutanan seluas 400 hektar. Di tempat ini, kakinya terbakar karena terjadi kebakaran. “Ada juga orang kehutanan datang, tapi tinggal liat. Jadi saya matikan, kena kaki api. Tidak apa-apa.”

Mandong juga dipercaya menjaga dan menilisik perubahaan hutan di pegunungan Bawakaraeng dan Lompobattang. Upah dari 1972 sebesar Rp500 per bulan, naik Rp25.000, lalu Rp50.000, menjadi Rp100.000, sekarang Rp150.000. Sejak 2005, Mandong tak menerima upah dalam bentuk uang tetapi diganti beras, sabun, ikan dan garam.

Kunjungan membawa bahan oleh petugas Dinas Kehutanan Gowa, tidak rutin. Tak ada waktu tetap. Bisa seminggu, dua minggu, bahkan sebulan sekali. Untuk kebutuhan lain, dia mengusahkan sendiri. Membuat kolam ikan, dan menanam sayur. Baginya, uang tidak begitu perlu. “Kalau adami beras, cukupmi.”

Mandong juga memelihara satu sapi jantan. Nanti, usia tiga tahun akan dijual untuk beli sapi anakan. Uang itu, untuk keperluan mendadak keluarga.

Saat pagi, dia menunjukkan pada saya, rute dan jalur menapak dua gunung itu. “Dari sini (Lembah Ramma) ke Lompobattang itu tiga hari.”

Telaga di Lembah Ramma. Foto: Eko Rusdianto
Telaga di Lembah Ramma. Foto: Eko Rusdianto

Saat malam, Mandong membuat api. Tak ada tenda. Tidur hanya menggunakan selembar sarung dan menempelkan badan di batang pohon. “Itumi kerjaan. Harus jaga ini hutan,.”

Akbar, rekan saya, bergidik mendengar kesaksian Mandong. “Kami kalau lewat jalur itu harus pakai tali,” katanya.

Kale-kale ta Tata (jalan sendiri Tata)?” tanyanya pada Mandong.

“Iye. Kale-kale ku (sendiri saja).”

Saya juga mengunjungi tempat menyaksikan langsung patahan longsoran pada 2004. Ketika saya memotret, beberapa kali terjadi longsoran kecil. Debu terlihat menggumpal pada sisi tebing, dari kejauhan terlihat seperti pasir.

Di tempat saya berdiri, 11 tahun lalu, Mandong tiba-tiba merasa ngeri. Dia berlari ke rumah. Berserah diri. Duduk dan merenung.

Kuciniki lari mi bangkengna (saya liat tanah itu lepas seperti lepas dari kaki gunung),” katanya.

“Kenapa Tata tak meninggalkan Ramma,” kata saya.

“Tidak. Apapun. Eh, saya mau disini. Kalau mati, biarmi di sini,” katanya.

Tujuh hari sebelum kejadian, Mandong sudah melihat tanda-tanda. Dari badan gunung di Pos 8, hembusan debu keluar. Dia menuju beberapa desa, mengabarkan pandangan mata ini. Tak ada yang percaya. Akhirnya, longsoran itu membawa petaka dan menewaskan puluhan orang.

Penelitian 2009 oleh Dosen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Syamsul Arifin Lias menyebutkan, material longsoran mencapai 250 juta meter kubik, menutupi hulu Sungai Jeneberang sedalam 60 meter.

“Sekarang, melihat struktur Bawakaraeng, dan bekas longsoran 2004, potensi longsoran masih besar mencapai 113 juta meter kubik. Jika terjadi, bibir intake PDAM Makassar di bendungan Bili-bili akan tersumbat,” katanya.

Hulu Sungai Jenebrang yang tertutup material longsoran tahun 2004. Foto: Eko Rusdianto
Hulu Sungai Jenebrang yang tertutup material longsoran tahun 2004. Foto: Eko Rusdianto

 

***

Dari Pos 7 Bawakaraeng, kami turun menyisir punggung gunung. Kami berjalan selama empat jam. Dua jam perjalanan, saya menyaksikan Lembah Ramma dari ketinggian. Ada aliran sungai kecil dan sebuah rumah beratap seng.

Di rumah itulah, Mandong tinggal. Hidup sendiri. Tanpa keluarga. Dua kali beristri dan tak punya anak. Keluarga dekat, di sekitaran kaki Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang. Beberapa kali keputusan tinggal di tengah hutan ditentang. Dia kekeuh.

Rumah itu punya tiga sekat kecil. Satu sekat depan sebagai ruang utama, tempat tidur. Ada pula sekat kamar kecil bersisihan dengan dapur tungku kayu. Di bagian depan, ada teras beratap seng masih mengkilap, sumbangan dari pendaki.

Pada salah satu ruang utama, berjejer puluhan tabung gas kecil kosong. Mandong memeroleh dari para pengunjung setiap akhir pekan. “Saya pungut kalau pulangmi orang. Jadi nda na bawa pulang i tabungnya,” katanya.

Beberapa tahun terakhir, jalur Lembanna menuju Lembah Ramma cukup ramai. Akhir pekan akan ada puluhan tenda, berdiri di pinggiran aliran sungai, di tepi telaga, atau di antara pinus. Di tengah lembahpun berkibar bendera Indonesia, tertancap pada tiang besi. Saya melihat, titik tiang bendera itu menjadi spot foto beberapa pelancong.

Tiang bendera didirikan beberapa kelompok pencinta alam saat peringatan Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2015. Hari itu, ribuan orang memadati Lembah Ramma. Pengunjung di sekitaran Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang mencapai 6.000 orang. Sampah berserakan.

Nevy Tonggiro, pendaki memulai debut pertama ke Bawakaraeng pada 1985, menyayangkan ulah pengunjung. “Gunung atau alam bebas bukanlah tempat hura-hura, melainkan tempat merenung dan berpikir,” katanya. “Ramma sudah tak sesejuk dan sebaik masa lalu.”

Bagi Nevy, sampah ini satu persoalan di Bawakaraeng dan Lompobattang. Masalah besar, lapisan tanah atas terlepas hingga semua batuan terbuka. “Sekarang jalur pendakian itu membentuk gully (kanal) karena jejak kaki pengunjuk tak pernah terhenti. Itu membuat potensi erosi saat musim hujan lebih mudah.”

“Saya kira itulah kenapa pengunjung yang memasuki Bawakaraeng dan Lompobattang, harus membuka alas kaki agar lapisan tanah permukaan terjaga,” kata Nevy.

“Iya banyak orang salah datang. Tapi biarmi itu orang datang dan liat supaya ikut jaga alam,” kata Mandong dalam bahasa Indonesia terbata-bata.

Kaos Tata Mandong. Foto: Eko Rusdianto
Kaos Tata Mandong. Foto: Eko Rusdianto
Rumah Tata Mandong di Lembah Ramma. Foto: Eko Rusdianto
Rumah Tata Mandong di Lembah Ramma. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,