Si Paruh Gincu Ekek-Geling Jawa, Endemis Jawa yang Kritis

Paruhnya merah, dengan warna dominan tubuh berwarna hijau dan sayap merah kecoklatan. Burung ini memiliki corak hitam di garis mata yang mengarah horisontal hingga ke belakang kepala. Karena paruhnya yang merah, kadang burung ini pun disebut si paruh gincu.

Itulah sekelimut deskripsi tentang ekek-geling jawa (Cissa thalassina) atau javan green magpie dalam bahasa inggrisnya, yang termasuk jenis burung berkicau yang tersebar di kawasan Sunda Besar.

Berbeda dengan kerabatnya ekek-geling kalimantan (Cissa jeffreyi), maka ekek-geling jawa memiliki paruh yang lebih panjang, keduanya pun memilik suara yang berbeda. Sebelumnya dua spesies ini dianggap sebagai spesies yang sama.

Populasi burung endemis Jawa bagian barat ini kini diperkirakan kurang dari 250 individu. Ironisnya, ekek-geling Jawa justru kerap dijumpai di dalam sangkar meski sangat langka di alam.

Sejak 2001, jenis burung pemakan serangga ini hanya tercatat di empat lokasi di Jawa yaitu Taman Nasional Merapi, Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dan hutan sekitar Bandung Selatan. Burung ini tercatat pertama kali di Sukabumi pada 1906 dan terakhir kali di hutan sekitar Bandung pada 2006.

Pada 26-29 September 2015 lalu, 35 ahli burung dari berbagai negara berkumpul dalam “First Asian Song Bird Trade Summit” untuk membahas jenis-jenis burung kicauan yang terancam perburuan dan perdagangan. Dalam pertemuan tersebut diidentifikasi 27 jenis burung kicauan di kawasan Sunda yang mencakup Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan yang terancam perdagangan. Dua belas di antaranya ditetapkan sebagai jenis prioritas untuk aksi konservasi.

“Salah satu jenis prioritas itu adalah ekek-geling jawa,” tutur Ria Saryanthi, Head of Communication and Knowledge Center Burung Indonesia yang turut hadir dalam acara tersebut. Jenis burung kerabat gagak ini masuk kategori kritis (Critically Endangered) dalam Daftar Merah badan konservasi dunia IUCN akibat perdagangan.

Kerabat dari ekek-geling jawa di Kalimantan, ekek-geling kalimantan, yang sebelumnya dianggap sebagai satu spesies. Foto: Dave Irving
Kerabat dari ekek-geling jawa, ekek-geling kalimantan, yang sebelumnya dianggap sebagai satu spesies. Foto: Dave Irving

Meski terancam punah, saat ini di Indonesia, ekek-geling jawa belum dilindungi undang-undang. Karena itu, melalui Asian Song Bird Trade Summit para ahli mendorong agar jenis-jenis prioritas termasuk ekek-geling jawa dapat diusulkan sebagai jenis yang dilindungi.

“Selain itu, perlu dilakukan penelitian terkait populasi dan genetikanya serta dilakukan penegakan hukum untuk penangkapan di alam,” ujar Ria.  Sembari menambahkan, di pertemuan tersebut juga disampaikan perlunya mengkaji jenis-jenis yang bisa diusulkan untuk program penangkaran dan reintroduksi serta penyadartahuan ke berbagai pihak.

Tingginya tingkat perburuan dan perdagangan burung ini menyebabkan beberapa ahli dan aktivis mencoba melakukan upaya penangkaran (captive breeding) untuk mempertahankan jumlah populasinya. Salah satunya adalah upaya yang dilakukan oleh Chester Zoo yang bekerjasama dengan Cikananga Wildlife Center (CWC, dulunya PPS Cikananga) sebagai member Treathened Songbird of Asia Working Group (TWASG), yang berupaya untuk merehabilitasi keberadaan burung berparuh gincu ini.

Dalam artikel kerjasama antara Mongabay-Indonesia dan Burung Indonesia bulan November 2015 ini, Anda bisa mengunduh kalender digital untuk gadget atau komputer anda. Silakan klik tautan ini dan simpan dalam perangkat anda.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,