Opini: Upaya Adaptasi (Indonesia) dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Pemerintahan Joko Widodo memiliki peran penting untuk membawakan posisi Indonesia dalam proses negosiasi akhir perubahan iklim. Sejalan dengan bergantinya Piagam Protokol Kyoto, Pemerintah pun telah melakukan penyerahan kontribusi yang diniatkan (Intended Nationally Determined Contributions/INDC) Indonesia, yang menyebutkan pemerintah Indonesia menargetkan pengurangan emisi hingga 29 persen pada tahun 2030.

Sebelumnya pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah menyatakan akan berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 26 persen dan dengan bantuan internasional akan mempercepat pengurangan emisi hingga 41 persen pada 2020. Kebijakan terkait kontribusi memerangi dampak perubahan iklim ini tampaknya berupaya dilanjutkan oleh pemerintahan Joko Widodo.

Sesuai dengan Nawacita yang dideklarasikan Presiden Jokowi, pemerintah menekankan agenda kebijakan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas. Sejalan dengan Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencantumkan sistem pembangunan adaptif yang berorientasi pada ketahanan pangan, kemandirian energi, ketahanan ekosisten maupun ketahanan wilayah khusus meliputi perkotaan maupun kawasan pesisir dan pulau kecil.

Kebijakan tersebut diimplementasikan melalui regulasi dan payung hukum hingga rencana kongkrit RAN/RAD GRK (Rencana Aksi Nasional dan Daerah Gas Rumah Kaca) maupun RAN-API (Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim).

Dalam berbagai workshop maupun pertemuan dengan para ahli, UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) berpendapat bahwa upaya adaptasi dapat menjadi instrumen bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Maka, Indonesia sebagai negara berkembang cukup tepat merumuskan RAN-API yang merupakan dokumen untuk membantu masyarakat mempersiapkan upaya adaptasi atau penyesuaian terhadap dampak perubahan iklim yang terjadi untuk kurun waktu 2013 hingga 2025.

Namun perumusan kebijakan adaptasi perubahan iklim menghadapi berbagai tantangan dan tidak selalu berjalan dengan mulus.

Tantangan Kebijakan Adaptasi

Kebijakan global terkait Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) digaungkan oleh PBB akan berakhir pada tahun 2015 yang kemudian digantikan dengan Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dalam dokumen MDGs ditekankan upaya memberantas kemiskinan. Sementara dampak perubahan iklim sangat signifikan berdampak dalam menaikkan angka kemiskinan, apabila tidak diantisipasi dengan baik.

Selain belum dapat menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, Indonesia dihadapkan dengan kerawanan di berbagai sektor akibat dampak perubahan iklim. Dalam periode SDGs ini, laju pembangunan berkelanjutan disyaratkan hanya dapat dilakukan dengan perlindungan menyeluruh terhadap lingkungan hidup di Indonesia.

Indonesia sangat rawan terkena dampak perubahan iklim karena di wilayah pedesaan dihuni oleh mayoritas masyarakat petani, di kawasan pesisir didominasi oleh nelayan hingga kawasan perbukitan ditempati oleh masyarakat peladang. Masyarakat tersebut memiliki kerawanan besar baik jiwa maupun aspek ekonomi apabila terjadi bencana alam maupun dampak perubahan iklim. Dengan demikian, upaya adaptif perlu diberikan porsi yang lebih besar bagi kelompok masyarakat tersebut.

Kelompok perempuan di pedesaan adalah komponen masyarakat yang rentan perubahan iklim. Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup sebagai petani di daerah rural. Foto: Wahyu Candra.

Selain itu, rezim internasional terkait perubahan iklim tidak jauh berbeda dengan rezim perdagangan bebas global. Kepentingan negara-negara maju seringkali mendominasi pihak negara-negara berkembang, yang memiliki daya tawar politik global yang rendah,sehingga kerap tidak dapat mengakomodir kepentingan nasionalnya.

Bukan rahasia lagi bahwa dalam rezim perubahan iklim, sebagian besar negara-negara maju berkomitmen rendah untuk menurunkan emisinya. Kemudian prinsip ‘Sama, Namun Tanggung Jawab Berbeda’ seolah-olah memberikan beban tanggung jawab yang sama kepada negara-negara berkembang untuk pula terlibat dalam mengurangi emisinya.

Ketika Indonesia berkomitmen pada tahun 2009 untuk mengurangi emisi hingga 26 persen, Indonesia cukup akomodatif untuk membantu negara-negara maju agar tidak menanggung terlalu besar untuk mengurangi emisinya. Dalam perkembangannya, Indonesia pun lalu menjadi negara “tertuduh” dalam berbagai fora internasional karena dianggap tidak mampu menjaga hutan tropisnya saat menghasilkan emisi yang cukup besar bagi dunia.

Sementara itu, di sisi lain tantangan perumusan kebijakan perubahan iklim domestik pun tidaklah kalah besar. Target penurunan emisi Indonesia sebesar 26 persen mendapatkan porsi dalam APBN sangat kecil, hanya 0,8 persen atau sekitar Rp 10 triliun. Keinginan besar namun anggaran tidak memadai untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen.

Hal lainnya, yang cukup signifikan adalah rendahnya niat politik nasional dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Perubahan Iklim. Jangankan Undang-Undang, wacana untuk merumuskan regulasi terkait perubahan iklim kalah populer dibanding dengan agenda prioritas pembangunan lainnya.

Agar Indonesia mampu mengartikulasikan kepentingan nasional dalam perubahan iklim di forum internasional, sudah selayaknya Indonesia perlu memiliki amunisi regulasi yang khusus mengatur upaya menghadapi dampak perubahan iklim.

Menghidupkan Kearifan Lokal

Upaya adaptasi perubahan iklim tidak akan berjalan baik apabila kelompok masyarakat yang menjadi target untuk rencana aksi tidak ditempatkan sebagai subyek. Upaya menjaring permasalahan agar aksi adaptasi nasional dapat efektif dan tidak lepas harus melibatkan profesi rentan atau masyarakat lokal yang hidup di kawasan yang rawan terkena dampak perubahan iklim.

Isu perubahan iklim terkadang terlalu ilmiah untuk dipahami masyarakat pada umumnya. Maka membangun kesadaran akan dampak perubahan iklim perlu menggunakan cara-cara yang sederhana yaitu menggali potensi kearifan lokal.

Sudah terlalu lama, kearifan lokal dianggap hanya sekedar mitos bahkan tidak ditempatkan sama selayaknya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap memiliki nilai kebenaran, sementara kearifan lokal dianggap hanya suatu hal yang terjadi secara kebetulan.

Sebaliknya para ilmuwan lokal tidak berupaya mempopulerkan kearifan lokal. Selayaknya, ilmuwan perlu untuk menggali kearifan lokal sebagai upaya untuk berkomunikasi dan memahami filofosi yang dijunjung oleh masyarakat lokal. Karena itu perlu upaya untuk mendokumentasikan kearifan lokal yang tersebar di seluruh nusantara.

Saya teringat mengenai senandung oleh para petani untuk menanam padi ataupun memanen di beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa. Namun, hal ini sudah tidak sesuai karena senandung tersebut dengan menanam padi sesuai dengan periode dahulu dan banyak masyarakat petani yang tidak mengetahui perubahan iklim. Sementara akibat perubahan iklim, terjadi kekacauan musim yang seringkali mengakibatkan gagal panen.

Untuk memberikan pemahaman hingga meningkatkan kesadaran akan dampak perubahan iklim, dengan upaya adaptasi selayaknya beradaptasi sebagaimana masyarakat lokal tersebut bertindak agar upaya adaptasi menjadi efektif untuk menunjang program-program pembangunan.

*Ica Wulansari, penulis adalah Pemerhati Kebijakan Perubahan Iklim dan Pengajar di berbagai perguruan tinggi swasta di Jakarta

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,