Mongabay.co.id

COP 21 Paris: Tekan Emisi dari Hutan dan Lahan, Jokowi Janji Benahi Tata Kelola

Presiden Joko Widodo dalam Conference of Parties (COP) 21 Paris, memaparkan Indonesia menghadapi beragam tantangan penanganan perubahan iklim, salah satu masalah kebakaran hutan dan lahan yang berulang. Meskipun begitu, tak menyurutkan Indonesia berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi, dengan komitmen 29% pada 2030, bahkan 41% kala ada bantuan internasional.

Guna mengatasi masalah hutan dan lahan ini, pemerintah berjanji memperbaiki tata kelolanya, lewat one map policy, moratorium dan review perizinan pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari. Jokowi juga menyebutkan, akan merestorasi lahan gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.

“Sebagai salah satu negara pemilik hutan terbesar yang menjadi paru paru dunia, Indonesia memilih menjadi bagian dari solusi. Pemerintah yang saya pimpin, akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan,” katanya dalam pidato di Paris, 30 November 2015.

Indonesia, ucap Jokowi, baru mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut. El-Nino, katanya menyebabkan upaya penanggulangan kebakaran menjadi sangat sulit, meskipun akhirnya dapat diselesaikan. “Penegakan hukum tegas dilakukan. Langkah prevensi disiapkan dan sebagian mulai implementasikan. Salah satu restorasi gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut,” katanya.

Emisi kebakaran

Kebakaran hutan dan lahan beberapa bulan lalu yang meludeskan 2,6 juta hektar lebih melepas emisi karbon sangat besar. Data yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pelepasan emisi karbon mencapai 1,1 Gigatton Co2 eq. Dari above ground biomass (AGB) sebesar 266.619.491 t CO2-eq dan emisi gambut 855.835.856 t CO2-eq.

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Janji baik, tetapi harus…

Greenpeace menyambut baik janji Presiden pada COP-21 untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut.

Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyatakan, Jokowi bisa gagal memenuhi janji bila tak ada perlindungan permanen hutan dan lahan gambut.

“Jokowi sudah setengah jalan menuju penanggulangan emisi di Indonesia. Perlu kebijakan komprehensif mencakup hutan dan lahan gambut,” katanya dalam rilis kepada media.

Komitmen Presiden melindungi dan merestorasi lahan gambut, katanya, sesungguhnya bisa berdampak lebih luas dalam mengurangi emisi Indonesia, bila disertai kekuatan hukum.

“Tanpa langkah baru perlindungan hutan, Jokowi justru sedang melanggengkan perusakan hutan, termasuk kebakaran yang sangat merugikan.”

Penghancuran hutan dan lahan gambut di Indonesia sumber emisi terbesar. Indonesia kehilangan 31 juta hektar hutan hujan 1990, atau hampir setara luas Jerman.

Pada 2011, katanya, Indonesia telah menghentikan pemberian izin baru bagi pembukaan konsesi hutan primer dan lahan gambut, tetapi kerusakan hutan justru meningkat.

“Indonesia memegang kunci pengurangan emisi gas rumah kaca global dengan cara paling murah dan efektif, yaitu perlindungan dan pemulihan hutan-lahan gambut.”

Greenpeace mendesak Presiden tak melepas kesempatan di Paris, guna mendapat dukungan bagi penyelamatan hutan dan lahan gambut Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga perlu produk hukum penuh dalam melindungi hutan dan lahan gambut, termasuk sanksi tegas bagi pelanggar UU. “Juga perlu ada transparansi menyeluruh terkait penguasaan lahan, hutan, dan lahan gambut.”

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Walhi menanggapi pidato Jokowi. Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, dalam menurunkan emisi, sektor tata kelola hutan dan lahan,  sejak awal, Walhi mengkritik Intended Nationally Determined Contributions (INDC) Indonesia. Dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, katanya, Indonesia, tak menghitung emisi dari bencana berulang itu. “Padahal kita tahu, sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and forestry (LULUCF),” katanya.

Pemerintah Indonesia, kata Khalisah, seharusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut. Hingga menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan tata kelola gambut sebagai salah satu hal paling mendasar.

Dia mengatakan, moratorium dan review izin lahan gambut dalam situasi saat ini, tak memiliki kekuatan signifikan. Terlebih, kebijakan moratorium melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, apalagi tanpa ada review perizinan lama dan penegakan hukum.

Video pidato lengkap Presiden Joko Widodo, bisa didapat di sini.


Pidato lengkap Jokowi di COP 21, Paris:
Ketua,Para Kepala Negara/Pemerintahan yang mulia,Duka cita kami yang dalam atas aksi teror di Paris tanggal 13 November 2015, yang menelan korban sipil yang tidak berdosa.Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia menegaskan bahwa Islam mengajarkan perdamaian. Islam mengajarkan toleransi.Tindakan teror tersebut tidak ada kaitannya dengan agama, bangsa dan ras apapun.

Ketua,

Saya hadir di sini untuk memberikan dukungan politik kuat terhadap suksesnya COP 21.

Sebagai salah satu negara pemilik hutan terbesar yang menjadi paru-paru dunia, Indonesia telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi.

Pemerintah yang saya pimpin akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan.

Yang Mulia,

Indonesia memiliki kondisi geografis yang rentan terhadap perubahan iklim:

Dua pertiga wilayah terdiri dari laut.
Memiliki 17 ribu pulau, banyak di antaranya pulau-pulau kecil.
60 persen penduduk tinggal di pesisir.
80 persen bencana selalu terkait dengan perubahan iklim.
Baru-baru ini, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut.

El Nino yang panas dan kering telah menyebabkan upaya penanggulangan menjadi sangat sulit, namun telah dapat diselesaikan.

Penegakan hukum secara tegas dilakukan.

Langkah prevensi telah disiapkan dan sebagian mulai implementasikan.

Restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.

Kerentanan dan tantangan perubahan iklim tersebut tidak menghentikan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi.

Untuk itu, Indonesia berkomitmen:

Menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah business as usual pada tahun 2030.
Menurunkan emisi sebesar 41 persen dengan bantuan internasional.
Penurunan emisi dilakukan dengan mengambil langkah:

Di bidang energi:

Pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif
Peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional tahun 2025
Pengolahan sampah menjadi sumber energi
Di bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, melalui:

Penerapan one map policy.
Menetapkan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut.
Pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari.
Sementara di bidang maritim:

Mengatasi perikanan ilegal/IUU Fishing.
Perlindungan keanekaragaman hayati laut.

Semua upaya ini dengan melibatkan masyarakat, termasuk masyarakat adat.

Yang Mulia,

Kesepakatan Paris harus:

Mencerminkan keseimbangan, keadilan serta sesuai prioritas dan kemampuan nasional
Mengikat, jangka panjang, ambisius, namun tidak menghambat pembangunan negara berkembang.
Untuk mencapai kesepakatan Paris, semua pihak, saya ulangi, semua pihak harus berkontribusi lebih dalam aksi mitigasi dan adaptasi, terutama negara maju, melalui:

Mobilisasi pendanaan USD 100 miliar hingga 2020, dan ditingkatkan untuk tahun-tahun berikutnya
Transfer teknologi ramah lingkungan dan peningkatan kapasitas.
Hadirin yang terhormat,

Mencapai kesepakatan di Paris adalah suatu keharusan.

Saya mengharapkan kita semua menjadi bagian dari solusi.

Menjadikan bumi ini menjadi tempat yang nyaman bagi anak cucu kita.

Menjadikan bumi menjadi tempat yang sejahtera bagi kehidupan mereka.

Terima kasih.

Exit mobile version