Mongabay.co.id

Pelibatan Masyarakat Adat Bisa Jadi Jurus Ampuh Atasi Perubahan Iklim

Masyarakat adat di Indonesia memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan iklim. Hutan-hutan bagus banyak berada di wilayah adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengidentifikasi dari 57 juta hektar kawasan hutan dikuasai masyarakat adat, sekitar 40 juta hektar masih hutan alam sangat baik. Sedang dari peta wilayah adat seluas 6,8 juta hektar yang diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 65% masih hutan alam.

”Langkah paling efektif penurunan emisi tentu dengan memberi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN dalam pernyataan kepada media, awal Desember 2015.

Untuk itu, katanya, agar hutan alam terus terjaga, Pemerintah Indonesia harus mendukung percepatan pemetaan wilayah-wilayah adat dan mengintegrasikan dalam kebijakan nasional satu peta (one map policy). Pemerintah, katanya, juga harus memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak masyarakat adat melalui pengesahan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. “Ini jadi syarat utama.”

Bersama masyarakat adat berbagai negara, kata Abdon, AMAN melakukan perhitungan karbon dari hutan-hutan adat. Hutan adat di Indonesia berhasil berkontribusi menjaga karbon sebesar 32,7 Gigaton.

“Bukan mau jualan karbon, tetapi untuk memperlihatkan kalau pemerintah serius melindungi masyarakat adat, maka urusan pengurangan emisi itu bukan masalah sulit,” katanya, baru-baru ini.

Pelibatan masyarakat adat

Dalam pidato Presiden Joko Widodo di COP21 Paris menyatakan jelas perlu pelibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim. “Pidato ini memberi apresiasi terhadap upaya-upaya yang selama ini dilakukan masyarakat adat dalam menjaga hutan-hutan terbaik yang masih ada di wilayah adat. Sekaligus bisa dimaknai, penanganan perubahan iklim yang didominasi pemerintah dan swasta, jauh dari efektif,” kata Abdon kepada Mongabay.

Nah, ini aksi perusahaan-perusahaan skala besar, jualan ‘bisnis berkelanjutan’ fakta di lapangan banyak buka hutan untuk kembangkan usaha. Foto: Save Our Borneo

Masyarakat adat (indigenous peoples), katanya, berkomitmen bekerjasama dengan pemerintah. “Jika pemerintah membuka diri untuk bersama-sama masyarakat adat.”

Untuk Indonesia, katanya, kerja gotong-royong penyelamatan hutan di wilayah adat sangat penting guna memastikan pelaksanaan komitmen pengurangan emisi 29% dan 41% dengan bantuan internasional. “Di wilayah adat lebih 40 juta hutan terbaik. Ini gudang karbon yang harus dijaga.”

Sebagian wilayah adat, kata Abdon, merupakan rawa gambut. Jadi,  kalau dijaga dengan sistem pengetahuan adat yang sudah teruji menjaga gambut basah sepanjang tahun,  bisa mencegah kebakaran tak terkendali. “Saya melihat, pidato Presiden di COP21 masih dalam koridor Nawacita. Pertanyaannya sekarang, bagaimana substansi pidato itu, apakah sudah tercermin di dalam INDC?”

Untuk itu, katanya, tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi lebih berat karena harus menyelaraskan Intended Nationally Determined Contributions (INDC) dengan komitmen politik Presiden. “Mudah-mudahan Ibu Siti (Menteri LHK) bergerak lincah dan tegar dengan situasi dan perkembangan ini.”

Tanah adat dunia penyimpan 20% karbon

Pelibatan masyarakat adat penting dalam mengatasi perubahan iklim, dikuatkan dari penelitian yang menyebutkan hutan adat dunia menyimpan 20% karbon dari hutan tropis dunia. Penelitian yang rilis 30 November 2015 ini menyatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat bisa memberikan kontribusi besar dalam memperlambat perubahan iklim.

Inilah Hutan Nagari Sei Buluh, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Masyarakat adat turun menurun menjaga hutan. Hutan larangan ini tak boleh diganggu, sebagai pelindung mereka, baik mencegah bencana (banjir maupun longsor), juga sebagai penyimpan pasokan air. Foto: Sapariah Saturi

Penelitian ini memetakan dan mengukur karbon yang tersimpan di wilayah adat pada bentangan-bentangan terbesar hutan tropis dunia yang tersisa. Analisis menunjukkan, karbon yang terkandung di hutan-hutan tropis di wilayah adat Lembah Amazon, Mesoamerika, Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Indonesia setara 168,3 Gigaton karbon dioksida (GtCO2) -lebih dari tiga kali gas-gas rumah kaca pemicu perubahan iklim global (52,7 GtCO2) pada 2014. Jumlah itu, 20.1% karbon yang tersimpan di seluruh hutan tropis dunia. Perkiraan ini, masih bersifat konservatif karena tak mempertimbangkan karbon tersimpan di wilayah adat di bagian lain di Asia tropis dan Lembah Kongo. Dari jumlah karbon itu, Indonesia bisa menyimpan sekitar 32,7 Gigaton.

Dari penelitian itu, memperlihatkan, lebih 9% hutan tropis di Lembah Amazon, Mesoamerika, DRC dan Indonesia mengandung 76,4 GtCO2 (setara 1,5 kali total emisi gas rumah kaca dunia pada 2014). Wilayah-wilayah adat ini sangat terancam karena berada kurang mendapat pengakuan hukum.

Menurut penelitian itu, melindungi hutan tropis tanah adat dari pembukaan, pembakaran, pertambangan, penebangan tidak lestari dan ancaman lain tak hanya penting mencegah kenaikan CO2 juga untuk menjaga manfaat lingkungan lain. Kerusakan hutan bisa berdampak lingkungan dan kesehatan langsung, seperti kabut asap dari kabakaran hutan.

“Masyarakat adat mempraktikkan cara hidup tradisional yang memiliki dampak jauh lebih rendah terhadap hutan tropis. Tetapi kemampuan kami mencegah pembangunan ilegal dan melindungi wilayah dari penggunaan hutan dibatasi kurangnya dukungan hukum dan keuangan, termasuk pengakuan wilayah minim,” kata Abdon.

Jorge Furagaro dari COICA mengatakan, agar bisa melestarikan hutan tropis di wilayah tradisional ini, mereka perlu memiliki hak kuat untuk hutan itu. “Mengakhiri kriminalisasi yang menghadang upaya melindungi tanah kami.

Kematian, tak harus menjadi harga yang harus kita bayar untuk melakukan bagian kita dalam mencegah emisi yang menyulut perubahan iklim.”

Temuan ini merupakan upaya kolaborasi antara organisasi masyarakat adat yang terdiri dari enam kelompok adat dan lembaga penelitian, the Coordinators of the Indigenous Peoples of the Amazon Basin (COICA), the Mesoamerican Alliance of Indigenous Peoples and Forests (AMPB), AMAN, dan the Network of Central African Indigenous and Local Peoples (REPALAC), Woods Hole Research Center, dan Environmental Defense Fund. Ford Foundation, mendanai upaya ini.

Para pimpinan masyarakat adat dunia ini menyerukan , pemimpin dunia dan pemerintah negara untuk membantu masyarakat adat melindungi hutan tropis di wilayah mereka. Mereka mendesak pemerintah mengakui wilayah adat, pengakuan hak-hak sumber daya alam serta pengakuan jasa lingkungan wilayah-wilayah adat. Pemerintah juga diminta memberikan bantuan kepada para pemimpin adat yang teraniaya kala membela hak-hak dan wilayah adat mereka. Juga pengakuan kontribusi masyarakat adat terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan pencantuman kontribusi ini dalam INDC. Lalu, penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam kegiatan-kegiatan konservasi hutan di wilayah adat dan memberikan akses langsung pendanaan iklim bagi masyarakat adat.

Beginilah kondisi hutan adat Sungai Utik yang dijaga sangat ketat oleh masyarakat adat Iban, Kapuas Hulu. Foto: Andi Fachrizal

Kambing hitam

Tahun 2015, Indonesia, kembali dilanda kebakaran hutan dan lahan parah yang menyebabkan emisi karbon 15-20 juta ton per hari. Dari perhitungan KLHK, emisi dari kebakaran hutan dan lahan  2015, sebesar 1,1 Gigaton. Dari masalah ini, Abdon menyoroti, soal  masyarakat adat yang kerap menjadi kambing hitam sebagai penyebab kebakaran. Padahal, katanya, komunitas-komunitas adatlah yang menjaga hutan dengan kearifan turun menurun. Masyarakat adat, katanya, sekaligus menjadi korban kebakaran, dari sisi ekonomi, sampai kesehatan.

Saat kebakaran hutan dan lahan, katanya, masyarakat adat malah berjuang menjaga teritori. “Banyak yang nahan diri tak bakar lahan. Bahkan, mereka persiapkan diri berjaga-jaga agar api tak masuk ke wilayah mereka,” ucap Abdon.

Hasil penelusuran lapangan AMAN dan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan sebaran titik api pada 10 lokasi wilayah adat dipengaruhi aktivitas perusahaan termasuk HTI dan perkebunan sawit. Temuan lain memperlihatkan, delapan dari 10 wilayah adat yang diteliti sebagian besar dikuasai perusahaan.

Menurut Abdon, salah satu cara mencegah kebakaran, dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat adat. “Termasuk jangan ada konsesi lagi.”

Dalam lembar fakta AMAN dan FWI memberikan banyak contoh, praktik-praktik masyarakat adat yang mengelola hutan lestari, pencegahan bencana alam, dan upaya memulihkan hutan, antara lain Komunitas Adat Dayak Iban Sungai Utik di Kalimantan Barat dan Komunitas Adat Dayak Benuaq Kampung Muara Tae di Kalimantan Timur.

Pada 7 Agustus 2008, Komunitas Adat Dayak Iban Sungai Utik menerima sertifikat Ekolabel Pengelolaan Hutan Adat dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Menteri Kehutanan M.S. Kaban, menyerahkan langsung sebagai tanda mereka telah menjaga dan melestarikan sumberdaya alam serta mencegah bencana serta dan kerusakan lingkungan di wilayah adat.

Lalu,  21 September 2015, masyarakat adat Dayak Benuag di Kampung Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur, mendapatkan penghargaan Equador Prize. Penghargaan ini wujud upaya mereka mempertahankan, melindungi dan memulihkan hutan dan wilayah adat tersisa dari libasan perkebunan sawit, tambang sampai HPH.

Tata kelola

Dari analisis FWI bersama AMAN, pembakaran hutan dan lahan Januari–Oktober 2015, sebagian besar (72%) di kawasan hutan dengan 34.960 titik api. Dalam rentang waktu itu, 50% titik api di konsesi perusahaan, selebihnya pada area moratorium izin (23%), area tidak luar moratorium (23%), dan sebagian kecil wilayah adat (4%). Berdasarkan pembagian kawasan hutan memperlihatkan, konsentrasi sebaran titik api terbesar, 52% di hutan produksi (HP/HPK/HPT) dan hutan lindung 11%.

Soelthon G. Nanggara, Wakil Direktur FWI mengatakan, dari data sebaran titik api itu membuktikan ada yang salah dalam sistem pemanfaatan hutan di Indonesia. “Tidak serta-merta hanya menyalahkan El-Nino sebagai penyebab tunggal kebakaran hutan dan lahan.”

Untuk itu, katanya, peristiwa ini harus menjadi momentum untuk review izin pemanfaatan hutan dan lahan gambut, serta segera mencabut izin-izin konsesi yang terbukti membakar hutan.

Tata kelola hutan dan lahan buruk ini, kata Soelthon, harus diperbaiki. Temuan kedua lembaga ini diperkuat berbagai kajian yang menunjukkan indeks tata kelola rendah akan berkontribusi terhadap kerusakan sumber daya hutan dan lahan. “Mendorong keterbukaan proses pemberian izin pemanfaatan hutan dan lahan, termasuk memastikan penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran, bisa menjadi langkah awal.”

Tata kelola hutan dan lahan gambut yang buruk sejak lama menciptakan kebakaran berulang. Ini lahan PT Central Sawit Sejahtera, Kalteng, yang terbakar dan disegel KLHK, belum lama ini. Foto: Save Our Borneo
Exit mobile version