Konsep restorasi dia bangun guna mengembalikan sungai seperti sediakala. Dia pelopor hingga tim berhasil menyosialisasikan usaha restorasi lima sungai di Yogyakarta, antara lain, Sungai Cidem Winongo, Tambak Bayan, Kuning dan Gajah Wong. Dialah Agus Maryono, dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada. Dia baru saja meraih penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai pelopor restorasi sungai 2015.
“Kasat mata, sungai-sungai penuh sampah, limbah, terutama di pemukiman dan perkotaan. Kalaupun sungai dikelola, tidak memperhatikan ekosistem. Masyarakat tidak lagi memperhatikan sungai, padahal sungai alam sangat berguna bagi manusia,” katanya, Jumat, pekan lalu
Sungai, katanya, memiliki banyak peran strategis seperti suplai air, menanggulangi banjir, tanggulangi kekeringan, alat transportasi, iklim mikro, kesehatan ekosisitem, jalur hijau, pendidikan dan banyak lagi.
Sayangnya, peran penting ini tak diimbangi kesadaran masyarakat memperlakukan sungai. Untuk itu, sungai restorasi hadir, katanya, sebagai gerakan mengubah pola pikir masyarakat.
Dia menawarkan, lima konsep restorasi sungai dalam meningkatkan eksistensi dan mengembalikan esensi sungai. Yakni, restorasi hidrologi, restorasi ekologi, morfologi, sosial ekonomi, serta restorasi kelembagaan dan peraturan. Pada tataran restorasi hidrologi, kata Agus, mereka memantau kuantitas dan kualitas air. Sedang restorasi ekologi, dengan pemantauan terhadap flaura dan fauna.
“Restorasi morfologi dengan meninjau bentuk keaslian sungai dan restorasi sosial ekonomi untuk melihat manfaat sungai secara ekonomis serta mengajak masyarakat ikut memperoleh pengetahuan. Restorasi kelembagaan fokus membuat peraturan-peraturan yang menjaga kelestarian sungai,” katanya.
Pentingnya restorasi sungai diamini Hilman Nugroho, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia mengatakan, sekitar 70% sungai di Indonesia tercemar berat. Untuk itu, perlu perbaikan mulai DAS, badan sungai dari hulu, tengah, hilir sampai muara, dan pantai, laut hingga pesisir.
Sungai, katanya, tak terpisahkan dengan gunung, hutan dan daratan lebih luas lagi. Ia tangkapan air hujan dan pemasok mata air, rembesan dan aliran.
“Degradasi dan ancaman sungai adalah ancaman ekologi dan ekosistem air, hingga perlu gerakan pemulihan dan pengembalian fungsi.”
Menurut dia, ada banyak sungai besar seperti Barito, Kapuas, Mahakam, Musi, Batanghari, Kampar, Brantas, Solo maupun Ajkwa (pembuangan tailing tambang emas Freeport di Papua) mengalami permasalahan baik tata kelola maupun ekosistem.
Begitu juga masalah Sungai Citarum, Kali Ciliwung, Kali Semarang dan Kali Surabaya (Kali Mas) menunjuk betapa parah dan rumit masalah ekosistem sungai di Indonesia.
Pengelolaan DAS dan sumberdaya air, katanya, seringkali penyebab utama kegagalan pengelolaan DAS. Ke depan, penting mengkaji dan evaluasi umum terhadap sistem ekologi sungai di Indonesia dalam perspektif keberlanjutan daya dukung. Juga mengkaji efektivitas aturan dan perundang-undangan yang menyangkut kelestarian ekologi sungai serta menginventarisir inisiatif-inisiatif masyarakat maupun akademisi.