,

Gerakan Anak Muda, Media sosial dan Permasalahan Lingkungan

Pada tahun 2013 sampai pertengahan 2014 sebuah kampanye perlawanan lewat media sosial terhadap berdirinya perkebunan tebu di Kepulauan Aru telah menjadi viral. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga hingga ke luar negeri.

Siapa yang sebelumnya tahu tentang Kepulauan Aru? Kepulauan Aru tidak terlalu menarik perhatian banyak orang, di peta atlas pun hanya merupakan kumpulan titik-titik kecil yang berada tepat di bawah wilayah kepala burung Papua.

Masalah di Kepulauan Aru mulai menarik perhatian orang ketika sebuah hashtag (#SaveAru) menjadi penyambung bagi setiap orang yang tak saling kenal untuk berbicara tentang Aru. Kepulauan yang sebelumnya tak dikenal dan tak terbayangkan akhirnya menjadi terbuka dengan banyaknya informasi, tidak hanya tentang isu yang ada namun hingga pada potensi dan kehidupan masyarakat disana.

Gerakan #SaveAru pada awal mulanya bermula dan dikoordinir oleh warga lokal yang melakukan perlawanan terhadap rencana konversi hutan di Kota Dobo, Ibu Kota Kabupaten Aru. Kampanye yang terbatas ini, lalu kemudian menarik perhatian setelah disebarluaskan lewat media sosial. Gerakan ini berkembang secara masif, bahkan menarik perhatian banyak orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda untuk turut membantu gerakan perlawanan itu.

Salah satu poster #SaveAru yang dibagikan lewat media sosial

Tercatat mulai dari Artis Glen Fredly sampai kepada tokoh agama, seniman, akademisi, mahasiwa, organisasi lokal, komunitas-komunitas kreatif anak muda termasuk organisasi-organisasi besar semua turut ikut andil dalam satu bendera gerakan besar, bernama #SaveAru.

Media sosial memungkinkan sebuah kampanye lingkungan yang semula kecil dan terbatas untuk kemudian mampu melintasi ruang dan waktu. Kampanye ini mampu mengetuk hati siapapun untuk turut serta menjaga kekayaan alam di Kepulauan Aru.

Dengan penggunaan media sosial dan strategi kampanye yang tepat #SaveAru mampu menjangkau setiap orang di pelosok-pelosok yang jauh secara geografis dari Kepulauan Aru. Media sosial pun mampu menggerakkan berbagai aksi nyata dan memberikan desakan publik dan kepedulian langsung terhadap masalah yang dihadapi warga Aru.

Penggunaan teknologi yang semakin banyak di Indonesia semakin memungkinkan publik untuk berpartisipasi, baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan maupun kesdaran menjaga lingkungan. Warga negara memiliki hak untuk menyuarakan haknya, tanpa takut akan adanya batasan sensor seperti zaman dahulu ketika masih maraknya media tradisional, dan belum berkembangnya media sosial.

Satu gerakan kepedulian lingkungan di Pulau Pombo Maluku yang digalang oleh komunitas online Maluku untuk mengajak anak muda menjaga lingkungan dengan pesan-pesan lokal.
Satu contoh sebuah gerakan kepedulian lingkungan di Pulau Pombo Maluku yang digalang oleh komunitas online Maluku untuk mengajak anak muda menjaga lingkungan dengan pesan-pesan lokal.

Perkembangan Internet dan Kampanye Lingkungan

Potensi penggunaan teknologi internet terutama di Indonesia sendiri menurut survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga akhir tahun 2014 tercatat mencapai 88 juta dari total 252 juta jiwa rakyat Indonesia. Dari jumlah tersebut, akses internet dari smartphone hampir mendominasi para pengguna di Indonesia.

Kenaikan signifikan meningkat dari 7,8% di tahun 2004 ke 34.9% di 2015. Adapun pengguna terbesar berada di Jawa (52 Juta), Sumatera (18,6 Juta), Sulawesi (7,3 Juta), Kalimantan (4,2 juta) dan Papua Maluku Nusa Tenggara (5.9 Juta). Menariknya mayoritas pengguna internet di Indonesia berumur 18-25 yakni meliputi hampir 49% diikuti oleh pengguna berumur 26-35 tahun sebanyak 33,8%.

Meski banyak orang sering mengatakan penetrasi internet dan media sosial hanyalah mencapai warga kelas menengah Indonesia yang berpendidikan dan kebanyakan dari mereka tinggal di kota-kota besar. Namun belajar dari #SaveAru, hal ini menjadi antithesis bagaimana sebuah informasi dari sebuah pulau terpencil dengan teknologi yang terbatas mampu menggebrak tidak hanya di Indonesia namun menjadi viral ke seluruh dunia maya.

Satu hal lain yang dapat dipelajari dari #SaveAru, adalah kemungkinan banyaknya jaringan diaspora dari warga yang bersimpati dengan kasus di Kepulauan Aru. Terkadang malah didorong oleh para anak-anak muda pendatang dari kampung atau dari pelosok yang melanjutkan pendidikan di kota-kota besar. Mereka inilah yang menjadi penyambung lidah hingga lewat jejaring pertemanan yang mereka miliki, yang berkembang menjadi spiral terbuka.

Hal ini juga membuktikan, bahwa para pengguna teknologi dan media sosial, terutama dari anak-anak muda yang ada di perkotaan, bukanlah mereka yang tidak benar-benar mengerti (teralineasi) tentang permasalahan yang ada di pelosok penjuru tanah air. Netizen dapat dianggap sebagai kelompok sosial baru yang memiliki perhatian terhadap berbagai permasalahan sosial.

Lebih lanjut, efek balik dari informasi yang menjadi viral di media sosial ini bahkan telah mampu mencapai pelosok-pelosok desa terpencil, yang menjadikan masyarakat sadar bahwa mereka tidak hanya sendiri dalam menjaga dan mengelola sumber daya alam mereka. Secara moral masyarakat telah mendapatkan energi baru untuk terus berjuang menyelamatkan alam lingkungan mereka.

Membangun sistem sel-sel informasi dengan menjadikan anak muda sebagai ujung tombak penyadaran lingkungan adalah sesuatu yang secara potensi dapat dilakukan. Belajar dari #SaveAru, potensi netizen muda Indonesia di media sosial yang berjumlah 49% dari sekitar 88 juta pengguna internet dapat menjadi ujung tombak kampanye penyadaran untuk mengajak banyak masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan.

Kampanye-kampanye kreatif kepedulian dan penyadaran terhadap permasalahan lingkungan lewat media sosial kedepannya harus lebih diturunkan lagi ke level paling bawah, agar terus dapat menyentuh berbagai permasalahan dan ancaman yang riil terjadi di tingkat masyarakat lokal (grassroot).

Pada akhirnya, kesadaran lingkungan diharapkan tidak hanya berhenti di media sosial. Namun dapat dibawa ke dunia nyata. Anak-anak muda ini pun bisa berbagi cerita dengan sahabat, keluarga dan tetangga mereka tentang sumber daya alam disekitar mereka.

Kampanye-kampanye pengelolaan hutan pun dapat dibuat secara kreatif dengan nilai-nilai pesan ajakan berpartisipasi dengan bahasa lokal sehingga dapat dimengerti dan dipahami secara sederhana hingga masyarakat di pelosok-pelosok. Pada saat mereka kembali pulang ke kampung halaman pun, mereka dapat menjadi para pelaku sekaligus pelestari lingkungan yang bijak.

* Tulisan ini merupakan pemenang kedua lomba penulisan lingkungan yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) bekerjasama dengan Mongabay-Indonesia pada bulan Desember 2015. Tanpa mengurangi makna, bahan asli tulisan ini telah diedit seperlunya. 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,