Mongabay.co.id

Kala Putusan MA Ancam Mata Air Gemulo, Warga Batu Ngadu ke DPR sampai Presiden

Kebahagiaan warga Batu, Jawa Timur, yang berhasil mempertahankan mata air Umbul Gemulo, agar tak hancur karena pembangunan Hotel the Rayja, tampaknya harus tertahan. Pasalnya, kemenangan dari Pengadilan Negeri Malang dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, yang berpihak kepada warga, ternyata tak begitu di Mahkamah Agung.

Dalam putusan peradilan tertinggi yang tercantum dalam website resmi mereka mengumumkan ‘kemenangan’ pemodal. MA menerima kasasi pemilik Hotel The Rayja.Warga kecewa. Merekapun rela datang ke Jakarta, buat mempertanyakan putusan ini kepada MA. Warga juga mendatangi DPR sampai Presiden untuk mengadukan keterancaman sumber mata air gantungan hidup mereka itu.

Sumber mata air Gemulo merupakan satu-satu sumber yang menyuplai sekitar 9.000 keluarga, ratusan hektar kebun dan sawah warga di empat desa. Yakni, Desa Bulukerto, Bumi Aji, Pandan Rejo (Kecamatan Bumi Aji) dan Desa Sidomulyo (Kecamatan Batu).

Sejak Selasa (19/1/16), sekitar 159 warga Kota Batu, tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) datang ke Jakarta. Mereka mendatangani MA, DPR, berlanjut ke Kantor Sekretariat Presiden Rabu (20/1/16).

Anggota DPR Fraksi PAN, salah satu Daeng Muhammad juga Komisi III (paling kanan), menerima berkas kasus mata air Gemulo dari Warga Batu. Foto: Sapariah Saturi

Anggota DPR Komisi III juga Fraksi PAN, Daeng Muhammad merasa heran dengan keputusan MA. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, katanya, memenangkan masyarakat. “Kok bisa-bisanya, di putusan MA yang hanya periksa berkas itu mengalahkan masyarakat,” katanya kala bertemu warga.

Menurut dia, patuh diduga ada kejanggalan hukum terkait putusan MA ini. Untuk itu, mereka akan membahas masalah ini dalam rapat komisi. Setelah ngadu, warga menyerahkan berkas seputar kasus ini ke anggota DPR.

Sebelum itu, Selasa pagi, ratusan warga mendatangi MA. Selain membawa spanduk, sebagian warga membawa hasil bumi Batu, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Di MA, mereka ditemui dua panitera, salah satu Pryambudi, Panitera Perdata. MA tak menyangka, ratusan warga datang ke Jakarta, karena membawa putusan di website.

“MA bilang masih banyak celah yang bisa dilakukan masyarakat,” kata Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, kala mendampingi warga di Jakarta.

Dengan putusan ini, kata Ony, Walhi menduga ada indikasi permainan. “Karena hakim yang sidangkan bukan hakim karir tetapi hakim non karir dari Universitas Brawijaya.”

Dia menyesalkan, putusan MA yang mengabaikan perjuangan warga dalam mempertahankan sumber kehidupan mereka, mata air Gemulo, Telebih, dalam dua pengadilan warga menang.

Masyarakat, katanya, berjuang mempertahankan sumber mata air buat kehidupan. Mereka menolak mata air beralih fungsi.

Langkah lanjutan, kata Ony, warga akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Namun, sebelum itu—setelah menerima salinan putusan–, mereka akan mengadakan eksaminasi publik baik di Jakarta maupun Jawa Timur. “Kami akan mengumpulkan ahli-alhi hukum. Setelah terima keputusan akan eksaminasi publik.”

Warga Batu di bawah rintik hujan usai ke DPR, mereka sedang mendengar penjelasan dari Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jatim (memegang pengeras suara). Foto: Sapariah Saturi

Rudi, Ketua FMPMA tak habis pikir dengan putusan MA. Pasalnya, dari analisis para ahli hukum yang mereka temui MA bakal menguatkan putusan di dua pengadilan sebelumnya. “Kita duga ada kejanggalan. Mungkin ada permainan di sana,” ujar dia.

Untuk itu, setelah kembali ke Kota Batu, mereka akan mendatangi Universitas Brawijaya untuk mempertanyakan soal ini langsung kepada sang hakim non karir dan Rektor Unibraw. “Kenapa putusan kok mengabaikan keselamatan sumber hidup masyarakat. Kepentingan warga diabaikan.”

Perjuangan warga, katanya, tak akan pernah surut. Kali ini saja, warga rela urunan merogoh koceh per orang Rp400.000 agar bisa ke Jakarta menemui berbagai lembaga. “Betapa pengorbangan mereka demi bisa menyelamatkan sumber mata air Gemulo. Mereka semangat urunan,” kata ucap Rudi.

Sampaikan keluhan ke Presiden

Usai ke MA dan DPR, sebagian besar warga langsung pulang ke Malang. Sekitar 47 warga pada Rabu (20/1/16), mendatangi Istana Presiden. Sekitar 17 perwakilan masuk ke Kantor Sekretariat Kepresidenan, melaporkan kasus serupa. Warga diterima Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan.

Ony mengatakan, warga meminta Presiden agar menghentikan kriminalisasi warga pembela mata air Umbul Gemulo.

Sejak Februari 2013, katanya, ada 22 warga Dusun Cangar Desa Bulukerto terus dipanggil polisi sebagai saksi laporan pemilik The Rayja. Warga juga meminta, Presiden melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melindungi hulu daerah aliran sungai (DAS) Brantas dari eksploitasi. “Juga menjadikan sumber Gemulo sebagai kawasan konservasi.”

Selain itu, warga meminta Presiden mendorong Pemkot Batu mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) Hotel The Rayja yang berada dekat mata air Gemulo.

Warga kala ngadu ke Kantor Presiden, ditemui Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki. Foto: Walhi

Teten pun berjanji melaporkan keluhan warga Batu ini kepada Presiden Joko Widodo. Soal kriminalisasi, dia akan sampaikan kepada Kapolri.

Tak hanya itu. Dari Staf Kepresidenan akan berkonsultasi dengan KLHK untuk membuat tim gabungan. Tim ini, akan meninjau langsung ke Batu.

Mata air susut drastis

Menurut Ony, separuh Kota Batu mengalami degradasi lingkungan karena industri wisata masif. Dari 11.227 hektar hutan 5.900 hektar rusak. Kerusakan ini, katanya, sejalan dengan sumber mata air yang terus berkurang. Sebelum 2005, ada 111 mata air, kini tinggal 57.

“Degradasi lingkungan ini imbas kebijakan pemerintah yang membuka lebar investasi wisata tanpa pengawasan ketat,” ucap Ony.

Muhnur Satyahaprabu, Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasioanl mengatakan, kedatangan warga Batu ini wujud konsistensi mereka menolak pembangunan hotel yang mengamcam mata air Gemulo.

Di berbagai daerah di Indonesia, katanya, korporasi jadi ancaman utama bagi pejuang lingkungan. Data kompilasi Walhi 2015 memperlihatkan, dua orang meninggal, 41 kasus penganiayaan dan 30 penangkapan. Berbagai kasus itu, katanya, berkaitan dengan lingkungan dan sumberdaya alam.

Warga dan Walhi kala aksi ke Mahkamah Agung. Foto: Walhi
Exit mobile version