Mongabay.co.id

Sulit Benahi Tata Kelola Gambut Kala Peta Masih Belum Akurat

Hutan gambut yang terbakar atau sengaja dibakar di Kalimantan Tengah, tahun lalu. Foto: Sapariah Saturi

Guna mendapatkan pemetaan gambut lebih baik, BIG dengan dukungan Packard Foundation mengadakan Kompetisi Metode Pemetaan Gambut atau Peat Prize yang dimulai 2 Februari 2016. Pengumuman pemenang pada akhir 2017.

Indonesia memiliki lahan gambut luas, setidaknya lebih 20 juta hektar. Namun, hingga kini, peta gambut yang dimiliki masih belum akurat. Pemetaan belum rinci, baru indikatif dengan skala 1:250.000, dan tak dapat mengetahui kedalaman gambut dengan tepat. Tak pelak, pemetaan minim ini menjadi salah satu penyebab tata kelola buruk. Gambut-gambut tebal bahkan kubah tereksploitasi hingga menimbulkan kerusakan parah berbuntut masalah, salah satu kebakaran hebat. Guna mendapatkan metode andal pemetaan gambut inilah, Badan Informasi Geospasial (BIG) membuat Kompetisi Metode Pemetaan Gambut Indonesia (Peat Prize) dengan dukungan David and Lucile Packard Foundation.

Priyadi Kardono, Kepala BIG mengatakan, pengalaman kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia tahun lalu mendorong Indonesia agar mengelola gambut dengan baik. Janji ini juga disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato di pertemuan para pihak (Conference of Parties) 21 di Paris. Pembenahan tata kelola, katanya, salah satu lewat penyediaan peta gambut yang baik. Dengan begitu, perencanaan pemerintah dan pemangku kepentingan lain tak keliru kala mengelola lahan gambut.

“Dalam kelola gambut, kalo gak ada peta ditel akan sulit. Data gambut baru 1: 250 ribu. Itu yang (pemerintah) punya. Beberapa lokasi ada skala 1: 50.000, tetapi baru skala proyek,” katanya awal Februari lalu.

Pucuk dicinta ulam tiba. Di tengah ketiadakan peta detil, ada sponsor, dari Packard yang bersedia memberikan hadiah US$1 juta bagi pembuat metode pemetaan gambut terbaik. Hasil kompetisi ini, katanya, akan dimanfaatkan sebagai masukan dalam pembuatan Standar Nasional Indonesia (SNI) pemetaan gambut. “Sekarang udah ada tapi masih skala 1: 250 ribu. Paling tidak skala detil 1: 5.000. Yang kita inginkan bagaimana metode luas, distribusi dan kedalamn gambut yang cepat, akurat, terjangkau,” ujar dia.

Dia menargetkan, pemenang nanti bisa menyediakan metodologi transparan yang bisa diimplementasikan dan dapat memetakan luasan gambut secara nasional. “Metode ini akan mendukung perencanaan dan pengelolaan gambut lebih baik, buat pemerintah, perusahaan dan pemangku kepentingan lain. Hasilnya juga akan dimanfaatkan Badan Restorasi Gambut.”

Nurwadjedi Fahmi, Deputi Informasi Geospasial Tematik, BIG menambahkan, sebenarnya pemetaan tanah sudah dimulai lewat proyek RePPProt tahun 80-an. Ini pemetaan sumber daya lahan nasional guna mengidentifikasi lahan-lahan pertanian dan pengembangan transmigrasi. “Disitu ada unit pemetaan terkait gambut.”

Pemetaan sistem lahan, katanya, baru di atas meja hingga akurasi kurang, hasil cek lapangan sekitar 5%. “Wajar jika akurasi kurang. Pembuatan peta gambut, dari peta sistem lahan ditambah peta-peta instansi lain. Jadilah peta gambut berbanding 1: 250 ribu.”

Peta yang belum detil ini menyebabkan data luasan gambut berbeda-beda. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan luasan gambut 20 juta hektar lebih. BIG menyebut data ‘yang disepakati’ Kementerian Pertanian, dan KLHK kurang lebih 15 juta hektar. “Ini kita sadar peta skala 1: 250 ribu peta indikasi untuk operasional belum cukup. Perlu bikin peta 1: 50.000. Kita sadar belum baik. Kita belum bisa petakan kedalaman. Kedalaman gambut, masih lemah.”

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyambut baik kompetisi metode pemetaan gambut ini. Indonesia, katanya, memiliki 20 lebih juta hektar lahan gambut hingga perlu peta akurat. “Pelepasan karbon distribusi besar dari lahan gambut, khusus kebakaran,” katanya.

Data Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dari Bappenas, emisi karbon lahan gambut dari pembusukan gambut dan kebakaran gambut menyumbang 42% seluruh emisi Indonesia. “Gambut tertinggi karbon stok dan tinggi pelepasan emisi juga,” ucap Siti.

Untuk itu, katanya, pedoman bagus untuk tata kelola akan lebih baik bagi gambut dan ekosistem. Salah satu, katanya, pemetaan mesti konsisten, baik obyek, detil, dan bisa dipakai dalam berbagai metodologi. “Mudah-mudahan dengan kompetisi ini bisa menyediakan data dan informasi untuk mengelola gambut dan ekosistemnya dengan lebih baik.”

Lahan gambut di Kalimantan Tengah, yang belum lama terbakar lalu ditanami bibit-bibit sawit. Foto: Sapariah Saturi

Peat Prize

World Resources Institute (WRI) akan menjadi pelaksana kompetisi Peat Prize, dengan pendaftaran dan kualifikasi dimulai 2 Februari hingga 11 Mei 2016. Selama masa pengembangan solusi, peserta diberi waktu setahun dari Juni 2016 sampai Juni 2017 untuk menguji solusi di lokasi pengujan tertentu. Satu pemenang akan mendapatkan hadiah US$1 juta yang akan diumumkan akhir 2017.

Nurwadjedi mengatakan, penilaian pemetaan bagi para kontestan nanti setidaknya memenuhi empat aspek, yakni kecepatan, akurat, terjangkau dan mudah dipakai. “Pemetaan gambut ini disadari medan berat dan biaya mahal.”

Dalam kompetisi ini ada dewan penilai (penasehat) ilmiah dan tim teknis. Dewan penilai ilmiah, katanya, terdiri dari pakar-pakar ilmiah dan teknis, dari dalam dan luar negeri, antara lain pakar gambut, lingkungan dan teknologi pemetaan. Co Chair dalam negeri, Supiandi Sabiham, dan Co Chair luar negeri, David Schimel (Nasa). Para anggota dewan penasehat ilmiah antara lain, Aris Poniman, Hasanuddin Z Abidin, Susan Page, Chrisinae Schumullius, Sassan Saatchi (Nasa), David Schimel (Nasa), Azwar Maas dan Daniel Murdiyarso.

Adapun tim teknis yang dibentuk BIG berisi para ahli mewakili KLHK, Kementerian Pertanian. Kedepan akan mengikutsertakan LAPAN, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Tjokorda Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia mengatakan, luasan pemetaan, rentang 8.000-50.000 hektar. “Jadi memadai manakala direplikasi di tempat lain. Tak akan lebih dari 50.000 hektar.”

Dia berharap, ada 30-50 peserta memasukkan konsep. Lalu mereka membentuk tim dan metode konseptual dan lain-lain. “Tahap ini untuk meyakinkan dewan penilai dan tim teknis bahwa ini metode yang layak didorong ke berikutnya. Pada Juni 2016-Juni 2017, dipilih 7-10 peserta untuk kembangkan metode pemetaan. Ini satu tahun karena ada trial and error.“

Dewan Penasehat Ilmiah, katanya, akan mengkaji semua aplikasi masuk dan mengkualifikasi sampai beri rekomendasi finalis maupun pemenang kepada BIG dan Packard Foundation.

Peserta, katanya, ada kemungkinan meminta dukungan pendanaan dalam mengikuti kompetisi ini. “BIG keluarkan endorsement. Peserta yang bagus lalu berniat minta bantuan ke lembaga lain, akan difasilitasi dengan endorsement ini.”

Siapa yang bisa ikut kompetisi ini? “Bisa siapa saja yang memiliki ide bagus dan memenuhi kriteria untuk mendaftar.” Bisa mahasiswa, katanya, konsultan, insinyur, pimpinan lembaga, ilmuwan, lembaga penelitian, perusahaan, universitas, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain-lain.

Dia mengatakan, peserta kompetisi harus warganegara Indonesia atau asing tetapi memiliki mitra warga Indonesia. “ WRI Indonesia bisa membantu mencarikan mitra Indonesia.”

Exit mobile version