Mongabay.co.id

Produsen Raksasa Sawit Dunia Selesai Petakan Rantai Pasokan Mereka

Produsen sawit terbesar kedua di dunia, Golden Agri-Resources (GAR), menyebutkan perusahaan telah menyelesaikan pemetaan rantai pasokan ke pabrik dan mengumumkan pada GAR Sustainability Dashboard. Ia meliputi 489 kilang (mills) yang menyuplai minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) dan palm kernels (PK) ke delapan pabrik mereka di seluruh Indonesia.

Paul Hickman, Head of Vegetable oil and Oilseeds, Trading GAR, mengatakan, langkah ini lanjutan dari proses membangun komitmen keberlanjutan perusahaan dalam mengetahui seluruh rantai pasokan. Usaha ini dimulai sejak 2014 lewat dukungan organisasi The Forest Trust (TFT), yang memiliki spesialisasi dalam perbaikan rantai pasokan industri.

Saat ini, katanya, para pembeli minyak sawit makin sadar dan ingin tahu dampak produk yang mereka beli. Untuk itu, GAR memetakan pasokan hingga sumber. “Jika kami bisa lakukan ini secara efektif, kerjasama dengan pemasok akan makin meningkatkan praktik lingkungan dan sosial,” katanya dalam rilis yang diterima Mongabay, Kamis (25/2/16).

Lahan sawit yang dikelola GAR lebih dari 480.000 hektar, baik langsung atau lewat petani plasma. Pada 2015, GAR memproduksi tujuh juta ton CPO dan PK dari kilang independen maupun kilang milik perusahaan ini.

GAR, katanya, akan lanjut untuk mengumumkan rantai pasokan dan data keberlanjutan mereka di GAR Sustainability Dashboard. “Ini sebagai bagian dari komitmen tanggung jawab dan keterbukaan pelaporan mereka.”

Perusahaan ini didirikan sejak 1996, dengan kapitalisasi pasar US$2,9 miliar terhitung pada September 2015. Perusahaan investasi, Flambo International Limited, saat ini menjadi pemegang saham terbesar GAR, dengan kepemilikan saham 50,35%. GAR memiliki beberapa anak perusahaan, termasuk PT SMART Tbk tercatat di Bursa Efek Indonesia sejak 1992. Perusahaan ini juga beroperasi di India dan Tiongkok.

Komitmen berkelanjutan perusahaan termasuk rantai pasokan ini tak lepas dari desakan berbagai kalangan, baik masyarakat maupun organisasi masyarakat sipil, seperti Greenpeace, Walhi, dan lain-lain. Bahkan, laporan Rainforest Action Network pada November 2015, mengaitkan pasokan tiga produsen sawit besar, salah satu GAR rawan dari Ekosistem Leuser. Laporan ini menekankan, produsen besar berperan penting dalam memastikan rantai pasokan sawit mereka dari kawasan penting, seperti KEL. Dengan perusahaan mempunyai peta jelas pemasok mereka, akan memudahkan pelacakan asal sawit.

Kala itu, Agus Purnomo, Managing Director Sustainability & Strategic Stakeholders Enggagement GAR mengatakan, GAR mendukung agar perusahaan beraksi nyata dengan tak membeli sawit yang berasal dari kawasan penting itu, seperti Kawasan Ekosistem Leuser. “Itu jelas, kami tak akan mengambil sawit-sawit dari kawasan penting, seperti dari kawasan hutan, lahan gambut,” katanya. Perusahaan, kata Agus, ingin memastikan pasokan sawit mereka bisa terlacak hingga bisa diketahui jelas asal usul.

Pada akhir tahun lalu, Greenpeace juga melakukan pemantauan kepada PT Bumitama Agri Ltd, perusahaan bersertifikat RSPO, pemasok Wilmar International dan Golden Agri Resources.

Dalam berita Mongabay, sebelumnya, disebutkan, konsesi anak perusahaan Bumitama ini, PT Andalan Sukses Makmur (ASMR), di Kalimantan Tengah, sangat dekat dengan Taman Nasional Tanjung Puting. Luas konsesi, 153.000 hektar, ASMR 9,277 hektar. Kiki Taufik, Manajer Kampanye Hutan Greenpeace di Indonesia, saat itu, menyatakan, sejak 2013, Greenpeace menangkap basah kegiatan mereka yang tak lestari.

Pada 13 Agustus 2015, Bumitama meluncurkan kebijakan berkelanjutan, termasuk komitmen tak membabat hutan termasuk tak membuka lahan gambut kedalaman lebih 50 cm. Fakta di lapangan, katanya, gambut dalam Kalteng, terbabat. Bahkan, ada dugaan kawasan itu penyumbang asap pada Juli-September 2015.

Annisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace mengatakan, Greenpeace mengapresiasi keterlacakan GAR 100% sampai ke pabrik. Keterlacakan, katanya, bagian penting dari implementasi komitmen mereka dan langkah pertama dalam membersihkan rantai pasok dari perusakan hutan dan lahan gambut.

Greenpeace mengharapkan, rencana aksi dan milestone segera dirancang bagaimana perusahaan mencapai 100% terlacak sampai kebun. “Bagaimanapun juga masih banyak yang harus dilakukan perusahaan mencapai 100% keterlacakan sampai kebun sebagai salah satu komitmen mereka kepada publik dan para pembeli,” katanya.

Rantai pasokan pasok minyak sawit yang rumit, katanya, menjadi tantangan utama permasalahan keterlacakan sampai tingkat kebun, terutama dalam konteks pemasok pihak ketiga yaitu legalitas. “Kuncinya kerjasama semua pihak dan dukungan pemerintah,” ujar dia.

Menurut dia, usaha GAR dan perusahaan-perusahaan yang berkomitmen nol deforestasi dalam hal keterlacakan sebenarnya sangat membantu pemerintah menegakkan peraturan perundangan-undangan.

“Memberikan dukungan penuh petani kecil, sekaligus memberikan sinyal positif kepada pasar global terkait keuntungan kompetitif dari produk minyak sawit Indonesia terlacak dan tak terkait deforestasi. Lebih jauh lagi mendukung target penurunan emisi yang ditegaskan kembali oleh Presiden Jokowi pada dunia internasional.”

Desakan dan kampanye Greenpeace juga dimulai sejak 2007. Dari tulisan Bustar Maitar di website Greenpeace menyatakan, tahun 2007, Greenpeace merilis laporan yang mengungkap operasi raksasa sawit ini mulai 2007. Laporan berjudul ‘Cooking the Climate’ (Menggoreng Iklim) ini menyingkap perkembangan pasar global minyak sawit memicu kerusakan hutan hujan dan lahan gambut serta emisi gas rumah kaca di Indonesia dengan menyoroti peran Sinar Mas Grup (Golden Agri Resources – GAR dan Asia Pulp and Paper–APP) sebagai pemicu deforestasi di Indonesia.

Pada April 2008, Greenpeace juga launching laporan ‘Burning up Borneo’ yang mengumpulkan bukti ekspansi perusahaan minyak sawit, terutama GAR, ke hutan habitat orangutan dan lahan gambut Kalimantan. Juga mengkaitkan keterlibatan Unilever. Laporan Greenpeace kembali keluar pada 2008 berjudul ‘The Hidden Carbon Liability in Indonesian Palm Oil’. Ia mengungkap ancaman hutan Indonesia, lahan gambut dan iklim global karena operasi pulp dan minyak sawit Grup Sinar Mas dan Raja Garuda Mas. Pada 11 Desember 2009 , Unilever membatalkan kontrak dengan GAR.

Pada Februari 2010, Kraft membatalkan kontrak minyak sawit dengan GAR.Laporan Greenpeace kembali launching Maret 2010 berjudul, ‘Caught Red-handed’ (Tertangkap Tangan) yang menghubungkan Nestle ke GAR. Pada Maret 2010, Nestle membatalkan kontrak dengan GAR. Pada Mei tahun sama,Nestle berkomitmen kebijakan baru ‘tidak bagi deforestasi’. Greenpeace meluncurkan kampanye membujuk HSBC menarik investasi pada GAR. HSBC lepas dari pada GAR. Pada September 2010, Burger King memutuskan kontrak minyak sawit GAR.

Pada September 2010 , The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengkritik praktik lingkungan dan sosial GAR. Akhirnya, pada 9 Februari 2011, GAR mengumumkan rencana menghentikan pengrusakan hutan Indonesia termasuk menghentikan konversi lahan gambut.

Exit mobile version