,

Menikmati Rupa Ogoh-ogoh Berpesan Masalah Lingkungan di Bali

Willy, salah seorang remaja bersiap mengarak ogoh-ogoh (boneka raksasa simbol kejahatan) pada Pengerupukan. Ini tradisi malam sebelum Nyepi, peringatan tahun baru Hindu di Bali yang dirayakan dalam hening. Temannya yang lain bertubuh lebih kecil, rata-rata anak sekolah dasar.

Belasan anak ini sudah tak sabar mengarak ogoh-ogoh berwujud bayi raksasa memegang martil di tangan kanan dan tangan kiri meremukkan ekskavator, alat berat pengeruk. Di bambu-bambu yang dirakit untuk mengarak ogoh-ogoh ini, diisi spanduk bertuliskan Bali Not for Sale.

“Ini bayi tolak reklamasi,” seru anak-anak dengan riang. Beberapa orang mengaku sudah familiar dengan lagu Bali Tolak Reklamasi dan sering melihat remaja mengenakan kaosnya.

Ogoh-ogoh ini satu di antara ribuan yang dibuat untuk diarak oleh anak muda di seluruh desa di Bali. Pengerupukan adalah parade budaya terkolosal karena jumlahnya bisa jadi puluhan ribu karena desa adat dan dinas jumlahnya lebih dari 2000. Tiap desa terdiri dari sekitar 3-5 banjar/dusun dan tiap dusun membut 2-5 ogoh-ogoh. Belum lagi yang membuat tidak atas nama banjar tapi kelompok. Ukuran raksasa, sedang, sampai kecil-kecil sekitar satu meter tingginya.

Perwujudan bhuta kala ini diarak di jalan-jalan desa dan kota dalam waktu hampir bersamaan karena menunggu persembahyangan usai pada petang hari. Jadilah mulai petang sampai hampir tengah malam monster aneka rupa dan simbol ini berkeliling desa, ditonton warga, diiringi gamelan atau musik disko. Setelah itu sebagian besar ogoh-ogoh yang dibuat rata-rata dalam waktu satu bulan ini dibakar sebagai simbol pralina atau penyeimbangan alam.

Di Denpasar Barat, ada ogoh-ogoh yang dikonsep serius dengan narasi situasi lingkungan terkini di Bali. Judulnya Sandyakalaning Bali. Narasinya sungguh menggigit. “Pulau Bali sudah diakui keindahan alam dan keunikan budayanya. Namun kini berada di persimpanganatau sandikala, dua sisi baik dan buruk. Akankah kesejahteraan atau kehancuran yang diwariskan pada generasi muda nanti di Bali?” Demikian sebagian isi sinopsis ogoh-ogoh yang dipasang depan ogoh-ogohnya.

Sebuah ogoh-ogoh dengan pesan masalah lingkungan hidup menyelang Nyepi 2016 di Denpasar, Bali. Ogoh-ogoh itu menggambarkan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani
Sebuah ogoh-ogoh dengan pesan masalah lingkungan hidup menyelang Nyepi 2016 di Denpasar, Bali. Ogoh-ogoh itu menggambarkan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani

Di lokasi ini, situasi terasa agak tegang. Pasalnya polisi setempat datang dan melarang simbol yang lekat dengan isu penolakan reklamasi Teluk Benoa ini. Alasannya untuk stabilitas keamanan.

Ekskavator yang digenggam tangan raksasa setinggi sekitar 3 meter ini pun diturunkan. Pada hari Pengerupukan ekskavator sudah tak ada. “Dilarang sama polisi,” seru sejumlah anak yang bergerombol sekitar Banjar Buagan.

Ketua pemuda atau Sekaa Teruna setempat Wayan Sumarna mengatakan pihaknya memang menurunkan atribut ekskavator itu. “Demi keamanan seperti permintaan. Kami tak takut, kalau ada yang mengancam kan tinggal tepak (membunyikan) kulkul banjar,” ujarnya.

Kulkul adalah sarana komunikasi tradisional di banjar-banjar yang masih difungsikan, terutama untuk informasi ritual, perkabungan, dan situasi darurat.

Sumarna menyebut selain tentang reklamasi, ekskavator juga bisa bermakna masalah sampah yang makin menumpuk. “Sudah tak mampu membersihkan sampah sekitar kita,” jelasnya tentang ide pembuatan ogoh-ogohnya. Ia dan kelompok muda banjar mendiskusikan ini di rapat sehingga tercetuskah rupa raksasa yang menggendong bumi di punggung dan mencengkram ekskavator.

Sebelumnya topik ogoh-ogoh seputar pewayangan epos Mahabrata dan Ramayana. “Itu kan sudah biasa dan sering diangkat. Kita ingin menyadarkan soal lingkungan,” lanjut Sumarna.

Selain itu di Kuta, terlihat ada ogoh-ogoh yang lebih verbal berpesan tolak reklamasi di Teluk Benoa. Setinggi hampir 5 meter, berwujud tangan yang meremukkan ekskavator. Diletakkan di pinggir jalan depan banjar Abianbase, Kuta.

Berdampingan dengan baliho bertuliskan Keluarga Besar ST. Yowana Sari Banjar Abianbase Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Batalkan Perpres No.51 tahun 2014.

Jelang malam Pengerupukan, warga setempat terlihat memadati banjar. Seperti di banjar-banjar lain mereka bersembahyang dan memohon air tirta untuk dibawa pulang. Sebagai medium penyucian alam bhuana agung (semesta) di tingkat rumah. Ini rangkaian dari ritual Melasti yang dilaksanakan sebelum Pengerupukan.

Saat Melasti, ratusan ribu warga di tiap desa parade membawa benda-benda yang disucikan ke sumber-sumber air seperti laut dan campuhan (muara sungai). Pada tahun baru saka diharapkan manusia bisa hadir dengan pikiran yang lebih jernih setelah berkomunikasi dengan alam melalui ritual-ritual ini. Konsep yang sangat ekologis namun dalam keseharian tak sepenuhnya bisa selaras.

Pesan Lingkungan

Ogoh-ogoh dengan pesan tolak rencana reklamasi ini makin banyak, di tahun keempat gerakan penolakan yang terus membesar tak hanya di desa-desa sekitar Teluk Benoa.

Ketika diarak di jalanan, ogoh-ogoh ini juga menarik perhatian karena simbol ekskavatornya. Ada berbagai wujud dan gaya. Selain di atas ada juga alat pengeruk berwujud tangan tikus simbol investor yang dinaiki raksasa.

Sebuah ogoh-ogoh dengan pesan masalah lingkungan hidup pada acara pengerupukan menyelang Nyepi 2016 di Denpasar, Bali. Ogoh-ogoh itu menggambarkan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani
Sebuah ogoh-ogoh dengan pesan masalah lingkungan hidup pada acara pengerupukan menyelang Nyepi 2016 di Denpasar, Bali. Ogoh-ogoh itu menggambarkan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa. Foto : Luh De Suriyani

Walau berwajah menyeramkan, ada yang dimodifikasi sehingga lucu dan satir. Misalnya raksasa yang masuk bak dengan tulisan “Jangan tenggelamkan kami” atau moyet sedang surfing memegang patahan ujung ekskavator. Sedikitnya 20 ogoh-ogoh mengkritik reklamasi terlihat wara-wiri di media sosial.

Juga ada atraksi menarik selain ogoh-ogoh saat Pengerupukan. Seperti yang diperlihatkan akun ForBALI, di Desa Adat Kerobokan, ada persembahan sekaa teruna Banjar Gede mementaskan wayang tentang reklamasi Teluk Benoa dengan judul Satyaning Ganesha.

I Made Sumerta, dalang dalam pementasan menyebutkan kisahnya tentang investor yang datang ke Bali dan mau mereklamasi Teluk Benoa. Saat investor itu mau mereklamasi, datanglah Betara Ganesha yang menghancurkan alat berat yang ada di teluk. Saat Ganesha mau menghancurkan turunlah ibunya, yakni Dewi Uma dan menasehatkan Ganesha untuk mulat sarira (introspeksi) saat Nyepi.

Bisa jadi Nyepi tahun ini paling banyak menampilkan visualisasi verbal dan non verbal masalah lingkungan di Bali. Memperlihatkan dinamika warga yang mulai berani bersuara termasuk memasukkannya dalam tradisi dan ritual yang biasanya dianggap tabu karena berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,