Mongabay.co.id

Kala Satgas Masyarakat Adat Masih Tak Jelas

Sejak tahun lalu, kebijakan yang memayungi pembentukan satgas masyarakat adat santer terdengar bakal segera terbit. Bahkan, pemerintah beberapa kali menyatakan, draf aturan sudah finalisasi untuk tanda tangan Presiden Joko Widodo. Sayangnya, tahun berganti, kini sudah memasuki kuartal pertama 2016, Satgas Masyarakat Adat, masih juga belum ada kejelasan. Sejalan dengan itu, rekomendasi Inkuiri Nasional Komnas HAM yang mengambil 40 kasus konflik masyarakat adat di kawasan hutan, belum ada tindaklanjut berarti.

Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan mengatakan, Keputusan Presiden soal Satgas Masyarakat Adat dalam proses pembahasan lintas kementerian. Kalau tak ada hal-hal serius, katanya, mungkin segera tanda tangan. Namun, Teten tak berani memberikan target.

“Saya belum dapat arahan dari Presiden sejauh mana satgas ini, kapan selesainya. Saya ga bisa berspekulasi,” katanya, kala usai launching buku hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM di Jakarta, Rabu (16/3/16).

Dia mengatakan, pemerintah menyadari Satgas Masyarakat Adat ini penting tetapi berbagai aspek sedang dipelajari termasuk soal anggaran. “Itu dia problemnya. Ini kan banyak badan baru atas permintaan UU, ada (badan) pangan, dewan air dan lain-lain. Banyak sekali menurut UU harus dibentuk. Juga usulan Satgas Masyarakat Adat.”

Sisi lain, pemerintah punya program deregulasi dan debirokratisasi untuk menyederhanakan pimpinan dan prosedur agar pemerintahan tak gemuk dan membebani biaya. Selama ini, katanya, banyak pembentukan lembaga, badan tak memperhitungkan anggaran.“Jadi badan baru yang diusulkan (satgas) dan proses dipertimbangkan agar tak tumpang tindih dan tak tambah beban,” ucap Teten.

Meskipun begitu, katanya, badan-badan baru yang penting, seperti Satgas Masyarakat Adat ini menjadi perhatian. “Sinkronisasi penting, kerjasama untuk selesaikan masalah masyarakat hukum adat secara komprehensif.”

Teten tampaknya menyadari kalau penyelesaian masalah masyarakat adat lamban. Sampai-sampai dia berharap, masyarakat tak melakukan hal destruktif atas penanganan pemerintah selama ini. “Kami memahami penderitaan dan kehilangan yang dialami masyarakat adat,” ujar dia.

Agustus tahun lalu, Andi Widjajanto, kala menjadi Sekretaris Kabinet mengatakan, Satgas Masyarakat Adat sedang finalisasi untuk disampaikan ke Presiden. “Diharapkan dalam Agustus Kepres Satgas Masyarakat Adat bisa selesai dan bisa segera bekerja,” katanya usai rapat bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Jumat (31/7/15).

Teten meminta masyarakat adat bersabar. Sedang, di lapangan masyarakat adat terus mengalami kesulitan. Konflik masih menggila. Berbagai kalangan mendesak Presiden segera merealiasikan janji, segera membentuk satgas ini.

Ketua Komnas HAM, Imdaddun Rahmat, menyerahkan buku hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM ke Sekjen AMAN, Abdon Nababan. Foto: Wahyu Chandra

Desak aksi cepat Presiden

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak Presiden segera membentuk Satgas Masyarakat Adat guna menghindari hal-hal buruk lebih luas terjadi di lapangan.

“Jadi sekarang ini, saya sebagai Sekjen AMAN merasa harus lebih keras menyuarakan kepada Presiden untuk menyelamatkan jiwa manusia. Agar tak ada darah tumpah hanya gara-gara janji Presiden,” kata Abdon Nababan, Sekjen AMAN.

Di beberapa daerah, katanya, sudah muncul aksi, seperti di Kabupaten Paser, warga menahan buldozer, dan di Talang Mamak, Riau, dua buldozer diamankan. Warga tampak kecewa. “Karena memang merasa laporan, Inkuiri Nasional gak memberikan atau menimbulkan hasil. Jadi mudah-mudahan ini tak menimbulkan keresahan sosial yang berujung kerusuhan sosial lebih luas,” ujar dia.

Untuk itu, perlu aksi cepat pemerintah agar ketidakpuasan terhadap penundaan satgas ini tak terekspresi dalam bentuk kekerasan. “Satgas perlu segera. Karena satgas ini juga yang akan menjalankan hasil Inkuiri Nasional,” katanya.

Abdon berpikir, Teten Masduki, selaku Kepala KSP sudah menyadari bahwa AMAN mulai menagih dengan keras karena sampai saat ini, satgas belum ada kejelasan. Semua, kata Abdon, baik dari Sekretariat Kabinet, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kantor Staf Presiden, bilang sudah di meja Presiden. “Artinya, tinggal tanda tangan. Persoalannya mau tanya langsung ke penandatangan gak punya akses. Kalau saya sih percaya aja di meja Presiden. Cuma meja bagian mana di kantor Presiden? Karena yang bilang ini juga orang di Kantor Presiden. Apa ada meja lain di luar meja Seskab, Setneg dan KSP? Ini saya gak tau,” tanyanya.

Eko Cahyono, Direktur Sajogyo Institute juga angkat bicara. Dia menilai, urgen pembentukan Satgas Masyarakat Adat. Tak hanya soal penyelesaian konflik dalam kaitan manusia (aspek kemanusiaan) juga soal kebangsaan. Ketika izin-izin konsesi terus menggila di lapangan, katanya, mencaplok lahan-lahan adat dengan beragam modus baru dan makin masif. Belum lagi, dampak pembangunan infrastruktur.

Dari hasil penelitian dalam laporan Inkuiri Nasional, katanya, praktik-praktik di lapangan menunjukkan ekspansi perkebunan, kehutanan dan pertambangan masif karena tak lagi terkontrol pusat tetapi di bupati dan gubernur. “Hingga harus ada langkah cepat. Satgas itu jadi penting untuk segera dibentuk. Kalau tidak, ekspansi kehutanan, pertambangan dan perkebunan makin hari, makin gila. Ditambah konflik infrastruktur,” katanya.

Dalam beberapa temuan penelitian itu, misal di Halmahera, modus-modus baru justru pakai isu konservasi. “Dimasukkanlah (wilayah) dalam taman nasional tapi justru dicadangkan buat eksploitasi.”

Modus lain, katanya, melalui pemekaran wilayah. Dia mengambil kasus di Kepulauan Aru. Penelitian menunjukkan, ketika ketahuan PT Menara Grup–yang mengklaim wilayah daratan sebagian Aru mau buat perkebunan didukung angkatan laut—, sudah dilaporkan ke Komnas HAM, politik mereka bikin kabupaten baru. Namanya, Aru Perbatasan. “Bisa dibayangkan kekuatan perkebunan berkolaborasi dengan penguasa daerah. Setelah kita cek di lapangan, 90% wilayah yang akan dibuat kabupaten baru itu, klaim wilayah angkatan laut dan Menara Grup.”

Begitujuga soal infrastruktur yang bisa menjadi penyebab konflik. Pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang buat kemakmuran rakyat malah berbuah kebalikan. Asumsi ekonomi Indonesia tak maju karena tak terkoneksi dan tak terintegrasi dijawab dengan rencana pembangunan infrastruktur agar ada interkoneksi.

“Papua punya sumber daya alam, minyak. Kalimantan punya batubara. Pertanyaan kami, meningkatkan ekonomi bagi siapa? Mudah bagi siapa? Keadilan buat siapa? Eksisting yang menguasai nikel itu siapa? Yang kuasai minyak siapa, air siapa? Lalu infrastruktur dibangun untuk siapa?”

Seharusnya, dalam pembangunan infrastruktur perlu kajian mendalam terlebih dahulu. Jangan sampai, kata Eko, infrastruktur menjadi ajang pengerukan SDA yang tak kembali ke rakyat. “Misal, surat masyarakat Dayak di Kalimantan kepada Presiden yang protes rel kereta api batubara. Bagaimana warga bangga dengan rel itu karena buat mengeruk batubara dari kami? Merusak alam kami? Jadi infrastruktur justru buat mempermudah pengerukan SDA rakyat. Untuk siapa? Jadi jelas memperkeruh dan menambah konflik.”

Tindaklanjut inkuiri nasional minim

Inkuiri Nasional Komnas HAM sudah selesai akhir 2014 mengambil 40 kasus konflik masyarakat adat dalam kawasan hutan di berbagai wilayah di Indonesia. “Ini bagian upaya advokasi terus menerus Komnas HAM dalam menghormati dan melindungi hak masyarakat adat atas wilayah,” kata Ketua Komnas HAM Imdaddun Rahmat. Temuan Inkuiri Nasional dan rekomendasi Komnas HAM sudah dibuat. Bahkan, Rabu (16/3/16), peluncuran empat buku terkait penelitian Komnas HAM dalam Inkuiri Nasional Masyarakat Adat ini.

Sayangnya, kata Abdon, walaupun Inkuiri Nasional sudah memperlihatkan temuan dan rekomendasi dari 40 kasus itu, di lapangan tak ada perubahan. Hubungan negara dan masyarakat adat, katanya, masih mengkhawatirkan. Negara, katanya, baru hadir di masyarakat adat lewat Komnas HAM. “Kami ingin masyarakat hadir dan laksanakan hak-hak yang sedang ada di tangan yang ga berhak.”

Basaria Panjaitan, Pimpinan KPK mengatakan, peluncuran yang berisi temuan dalam Inkuiri Nasional jangan hanya testimoni. “Kami harapkan dari hasil ini pemerintah buat kebijakan atau perumusan penyelesaian kasus secara komprehensif. Dalam 40 kasus, penyelesaian ga baik.”

Dia menilai, erat kaitan antara korupsi, konflik sumber daya alam yang berujung pelanggaran HAM. Kala pemanfaatan SDA sarat korupsi, memperlihatkan tata kelola buruk, bakal berpotensi konflik. Dia menjelaskan, pada 2010, KPK lakukan kajian, ditemukan persoalan ketidakpastian hukum, dan permasalahan kawasan hutan. Pada 2013, temuan KPK potensi suap Rp22 miliar setiap proses perizinan sektor kehutanan. Lalu, pada akhir 2015, KPK temukan kehilangan hutan akibat administrasi buruk menyebabkan kerugian Rp8 triliun.

Exit mobile version