,

Di Aceh, Harimau Sumatera Terus Diburu

Jumlah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di alam liar Provinsi Aceh, terus menyusut akibat tingginya perburuan.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Genman Suhefti Hasibuan, Senin, 21 Maret 2016 menyebutkan, akibat tingginya angka perburuan, status harimau sumatera terancam punah yaitu Kritis (Critically Endangered/CR).

“Kemungkinan jumlahnya diperkirakan 150 individu yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Jika tidak segera diantisipasi, nasibnya dikhawatirkan akan punah sebagaimana harimau jawa dan harimau bali.”

Genman mengatakan, BKSDA Aceh memberikan dukungan penuh kepada semua pihak yang membantu pelestarian harimau sumatera. Termasuk, mendukung Polisi Daerah (Polda) Aceh yang menangkap dan melakukan tindakan hukum terhadap para pemburu. “Mereka (pemburu) bekeliaran di Kabupaten Bener Meriah, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Gayo Lues, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan. Bahkan, hampir semua di kabupaten kami temukan jerat harimau.”

Terkait perburuan harimau, Kasubbid Tipiter Reskrimsus Polda Aceh AKBP Mirwazi menyebutkan, pada 17 Maret 2016, pihaknya telah menangkap pelaku perdagangan kulit harimau sumatera di kawasan Cot Gapu, Kabupaten Bireuen. Penangkapan dilakukan setelah polisi menyamar sebagai pembeli dan mengajak pelaku bertemu.

“Saat ditangkap, dari pelaku berinisial AS warga Kabupaten Aceh Besar, ditemukan dua kulit harimau termasuk tulang-tulangnya. Sementara satu pelaku lagi melarikan diri.”

Pelaku yang kabur, Maskur, warga Aceh Tengah, pernah ditangkap Polda Aceh karena kasus perdagangan kulit harimau pada 2014. Namun, 22 Maret 2016 ini, Maskur menyerahkan diri ke Polda Aceh.

“Harimau yang dibunuh untuk diambil kulitnya tersebut, berumur sekitar lima sampai delapan tahun. Pelaku akan dijerat  Pasal 21 ayat 2 (a dan b) Undang-undang No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya junto Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. “Bila dirinci, pada 2014, Polda Aceh telah menangani 15 kasus perdagangan satwa liar, termasuk kulit harimau. Sedangkan 2015, ada 10 kasus,” papar Mirwazi.

Kasus sebelumnya

Pada 15 September 2015, polisi di Kabupaten Aceh Tenggara, berhasil menangkap dua pelaku perdagangan harimau, Samin dan Salman, warga Gayo Lues. Dari tersangka, disita kulit, tulang, dan taring harimau yang rencananya akan dijual ke Medan, Sumatera Utara, seharga Rp150 juta. Namun, dalam perjalanan, keduanya tertangkap di Aceh Tenggara.

Sementara, pada 8 Agustus 2015, tim Reserse dan Kriminal Khusus Polda Aceh, berhasil menangkap empat pemburu harimau di Desa Jambe Rambung, Kecamatan Bandar Pusaka, Aceh Tamiang. Dari tangan tersangka disita kulit, tulang, dan taring harimau.

Dari empat tersangka tersebut, Amir bin Mat Amin, Baharuddin, M. Sa’i alias Ajo, dan Sahruna, tiga diantaranya merupakan pemburu, sementara satu lagi bertindak sebagai penjual. Para pelaku mengaku memburu harimau di hutan Desa Listen, Kecamatan Pindeng, Gayo Lues.

Terhadap kasus tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Aceh Tamiang, yang dipimpin oleh Zulfikar beserta hakim anggota Hasnul Tambunan dan Suhadi Putra Wijaya, memvonis bersalah Amir bin Mat Amin, Baharuddin, M. Sa’i, dan Sahruna. Mereka divonis dua tahun penjara dan dengan Rp50 juta.

“Keempatnya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melukai, membunuh, satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, menyimpan, memiliki, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati bersama,” sebut majelis hakim dalam putusannya.

Jumlah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di alam liar Provinsi Aceh, terus menyusut diakibatkan tingginya perburuan. Foto: Junaidi Hanafiah
Jumlah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) terus menyusut akibat tingginya perburuan. Foto: Junaidi Hanafiah

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU) menuturkan, Kementerian Linkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus memberikan perhatian khusus terhadap kejahatan perdagangan satwa liar. “Kami melihat, Indonesia darurat satwa. Hampir setiap minggu, kami bersama kepolisian membongkar dan menangkap pemburu dan pedagang satwa haram itu.”

Menurut Irma, perdagangan satwa awetan, bukan hanya dilakukan di dalam negeri, tapi juga sudah marak dikirim ke luar. Termasuk, melalui bandara. “Ini membuktikan, Indonesia harus menerapkan darurat satwa.”

Khusus Aceh, perburuan satwa masih marak terjadi sebagaimana harimau, orangutan, dan gajah. Beberapa pemburuan dan pedagang, melibatkan pemain lama yang pernah ditangkap. Kasus perdagangan kulit harimau yang dibongkar pihaknya bersama Polda Aceh pada 17 Maret 2016 ini, salah satu pemainnya adalah Maskur.

“Satu tahun menjalani hukuman, setelah bebas, Maskur kambuh dan kembali terlibat perdagangan kulit harimau. Ini membuktikan hukuman yang dijatuhkan terhadap kasus kejahatan lingkungan masih terlalu ringan, belum ada efek jera bagi pelaku.”

Irma menambahkan, hasil penelusuran pihaknya, awetan harimau dari Aceh, umumnya di jual ke seluruh Indonesia, Singapura, Malaysia, hingga Tiongkok. “Selain untuk hiasan, bagian anggota tubuh harimau juga dianggap berkhasiat sebagai obat-obatan,” tukasnya.

Jumlah harimau sumatera keseluruhan saat ini diperkirakan antara 300 – 400 individu dan cenderung menurun akibat perburuan dan alih fungsi lahan. Jumlah tersebut berdasarkan perkiraan pada pengamatan dan penggunaan kamera jebak yang terungkap saat seminar “Indonesian Tiger Conference 2014” di Bogor, 11-13 Desember 2014.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,