Mongabay.co.id

Kala Petani Jambi Jalan Kaki Lagi ke Jakarta Tuntut Hak Kelola Lahan

Tak sampai dua pekan warga aksi jalan kaki ke Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengeluarkan surat keputusan berisi langkah-langkah penyelesaian konflik lahan di Jambi.

Sekitar 19 orang dilarikan ke Rumah Sakit Sei Lilin, Sumatera Selatan, pada Kamis (31/3/16). Tampak dokter memeriksa kesehatan mereka satu per satu. Rata-rata mengalami infeksi dari makanan maupun keletihan.

“Rata-rata demam serempak satu hari semua. Coba dicek bagian konsumsi warga, apakah yang dikonsumsi tadi siang, karena dicurigai keracunan,” kata Eris, dokter jaga di RS Sei Lilin dalam informasi yang dibagi Joko Supriyadi Nata, Sekretaris Serikat Tani Nasional Jambi sekaligus Koordinator Lapangan.

Ada juga warga demam tiga hari bahkan ada yang harus observasi karena fisik terlalu parah. Dokter menyarankan, peserta aksi istirahat dulu. Setelah beristirahat dua hari di Gedung Serbaguna, Sungai Lilin, Musi Banyuasin, Sumsel, Jumat (1/4/16), petani kembali melanjutkan jalan kaki.

“Pukul 09.20 pagi massa aksi mulai bergerak walaupun masih banyak warga sementara dalam perawatan. Mereka yang sakit akan kembali bergabung dengan rombongan kalau sudah pulih,” kata Joko.

Mereka yang jatuh sakit ini bagian dari 1.000-an warga yang berjalan kaki menuju Istana Negara Jakarta dari Jambi sejak 17 Maret 2016. Aksi kesekian kali ini, warga menuntut pengakuan kelola lahan warga yang kini berkonflik dengan perusahaan maupun taman nasional.  “Juga menuntut Presiden segera menyatakan darurat agraria dan membentuk komite atau dewan nasional reforma agraria.”

Para petani ini perwakilan Dusun Mekar Jaya, Desa Sungai Butang, Saroalangun, Kunangan Jaya II dan Kunangan Jaya I, Desa Bungku, Batanghari berkonflik dengan PT. Agronusa Alam Sejahtera (AAS), PT. Wanakasita Nusantara (WN), dan PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI). Juga perwakilan masyarakat Tanjung Jabung Timur yang berkonflik dengan Taman Nasional Berbak, serta perwakilan masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) 113, Batanghari berkonflik dengan PT. Asiatic Persada.

Warga Jambi peserta aksi jatuh sakit kala di Jambi. Mereka mendapatkan perawatan kesehatan di Sumsel, sebelum melanjutkan perjalanan. Foto: Serikat Tani Nasional

Kronologi dari Serikat Tani Nasional Jambi menyebutkan, konflik agraria muncul antara SAD dan perusahaan, pertama, berawal dari pencadangan tanah sesuai SK Gubernur Jambi No.188.4/599/1985, tanah 40.000 hektar untuk perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU) di Batanghari. Kala itu, lahan merupakan kawasan hutan, tetapi sudah bermukim Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113. Ia terdiri tiga dusun, Tanah Menang, Pinang Tinggi, dan Padang Salak.

Pemukiman ini ada sejak zaman kerajaan dan Belanda. Belanda pada 27 Oktober 1927, 4 September 1930, dan 20 Desember 1940 membuatkan surat keterangan keberadaan dusun pemukiman SAD, disertai penyebutan batas-batas.

Berdasarkan pencadangan gubernur tadi Departemen Kehutanan melalui Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan mengeluarkan surat persetujuan pencadangan pada 29 Agustus 1986. Lalu ditindaklanjuti Surat Keputusan Mendagri soal pemberian HGU kepada BDU 20.000 hektar di Kecamatan Muaro Bulian, Batang Hari. HGU berlaku sampai 31 Desember 2021.

Pada 11 Juli 1987, Departemen Kehutanan mengeluarkan Surat Persetujuan Pelepasan Hutan untuk BDU. Surat ini memiliki lampiran resmi peta mikro. Baik dalam isi surat maupun peta mikro, disebutkan ada tanah warga SAD seluas 3.550 hektar.

Hutan yang disetujui untuk dilepaskan 27.150 hektar dari pengajuan 40.000 hektar. Dengan rincian 27.150 hektar itu masih berhutan 23.000 hektar, belukar 1.400 hektar, perladangan 2.100 hektar, dan pemukiman penduduk 50 hektar.

Oleh BDU, sisa lahan hutan yang baru diberikan persetujuan pelepasan di luar HGU 7.150 hektar jadi kebun sawit untuk anak usaha PT Asiatic Persada, yakni, PT. Maju Perkasa Sawit dan PT. Jammer Tulen. Pada 3 Juli 1992, Menteri Kehutanan menerbitkan SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk BDU.

“SK pelepasan kawasan hutan untuk HGU ini tak memiliki arti karena SK HGU BDU sudah terlanjur keluar mendahului surat pelepasan hutan. Hingga hak warga SAD yang diakui dalam SK tetap masuk HGU. Sampai saat ini tak pernah dilepaskan perusahaan atau dikeluarkan dari HGU,” ucap Joko.

Asiatic Persada tak hanya berkonflik dengan SAD juga dengan petani yang menggarap lahan, dan kebun yang diklaim perusahaan masuk HGU mereka. “Perusahaan lelusa menggusur lahan petani tanpa proses clean and clear. Sampai saat ini batas HGU perusahaan belum ada kepastian hukum.”

Ibu bersama anak ini juga warga Jambi, yang ikut aksi jalan kaki demi mendapatkan kejelasan lahan hidup mereka yang berkonflik dengan perusahaan maupun taman nasional. Foto: Serikat Tani Nasional

Sisa lahan HGU kelola merekapun, berkonflik dengan petani penggarap yang mengerjakan dan membuka lahan di sana. Alif Kamal, Koordinator Gerakan Nasional Pasal 33 untuk Trisakti, yang mendampingi petani mengatakan, konflik berlarut karena negara tak adil memberikan legalisasi tanah kepada warga.

Seharusnya, kata Alif, petani penggarap yang mengerjakan lahan jauh sebelum izin prinsip keluar punya posisi hukum sama Maju Perkasa Sawit dan Jammer Tulen. “Perusahaan baru dapat izin prinsip, sama-sama berusaha memperoleh legalisasi hak, bahkan Asiatic Persada juga menggarap kawasan hutan negara,” katanya, heran.

Begitu juga dengan konflik petani Kunangan Jaya I dan Kunangan Jaya II. Pemukiman dan perladangan masyarakat Kunangan Jaya II, Desa Bungku, Batang Hari, seluas 7.489 hektar diklaim AAS dan WN serta REKI. Lalu, pemukiman dan perladangan masyarakat Dusun Kunangan Jaya I, Desa Bungku, seluas 2.009 hektar juga masuk klaim REKI.

Warga, kata Joko, meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan segera menerbitkan SK pencandangan hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 7.489 hektar di Dusun Kunangan Jaya II dan Dusun Kunangan Jaya I seluas 2.009 hektar. “Ini sesuai surat Menteri Kehutanan 30 Januari 2013 serta usulan Bupati Batanghari 10 Desember 2014.”

Sedangkan petani Mekar Jaya, Desa Sungai Butang, Kecamatan Mandiangin, Sarolangun, lahan seluas 3.000 hektar berkonflik dengan AAS dan WN. Warna menuntut Menteri LHK segera menerbitkan SK pencandangan HTR 3000 hektar sesuai surat Menteri Kehutanan 30 Januari 2013, dan usulan Bupati Sarolangun 22 Oktober 2014.

Aksi ini bukan kali pertama. Pada akhir 2012, petani Jambi berjalan kaki ke Jakarta, setelah itu mereka bahkan membuat tenda perjuangan di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Manggala Wanabahkti, kala itu Kementerian Kehutanan. Sekitar tiga bulan para petani ini hidup di tenda, menuntut pengembalian lahan mereka. Pertemuan-pertemuan dilakukan dengan janji-janji penyelesaian sampai hari ini belum ada hasil hingga warga kembali protes.  

Warga Jambi terus berjalan kaki menuju Jakarta, menuntut penyelesaian konflik lahan. Sebab, keputusan soal HTR yang dibuat pemerintah sejak 2013, tak juga jalan hingga 2016. Foto: Serikat Tani Nasional

Langkah penyelesaian konflik dari Menteri LHK

Menanggapi konflik lahan ini, Menteri LHK, Siti Nurbaya, pada 28 Maret 2016 mengeluarkan surat keputusan soal langkah-langkah penyelsaian permasalahan kawasan hutan dengan masyarakat Dusun Mekar Jaya, Kunangan Jaya I dan II. Keputusan itu juga meliputi penyelesaian sengketa Taman Nasional Berbak terkait keberadaan Desa Sungai Rambut, Rantai Rasau (Sungai Palas), Remau Bako Tuo, Air Hitam Laut, Cemara, dan Desa Labuan Pering.

Surat keputusan itu, setidaknya menetapkan 15 langkah-langkah penyelesaian konflik lahan di Jambi. Antara lain, langkah penyelesaian disesuaikan kondisi lapangan, menurut hasil analisis data dan indentifikasi lapangan obyektif. Juga, lahan yang menjadi kampung (desa), fasilitas sosial dan umum diselesaikan dengan kajian analisis untuk penataan kampung (desa) dalam areal PT Asiatic, PT Agronusa Alam Sejahtera, PT Waskita Nusantara dan PT REKI. Untuk tuntutan penguasaan perorangan kurang dari 15 hektar diselesaikan dengan HTR atau kemitraan. Sedang tuntutan perorangan lebih 15 hektar penyelesaian lewat evaluasi lapangan dan penegakan hukum.

Langkah lain, penertiban surat-surat tanah dalam kawasan hutan secara administratif maupun penegakan hukum bekerjasama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Otoritas Jasa Keuangan. Kepada indikasi pemanfaatan tak legal (sah) di kawasan hutan atau areal REKI dan Asiatic, dilakukan penegakan hukum.

Menindaklanjuti surat itu, pertemuan pun dilakukan di Jambi. Menteri LHK, Siti Nurbaya kepada Mongabay, mengatakan, semua proses sedang berjalan sesuai dalam keputusan.

“Prinsipnya pendekatan mediasi dan penegakan hukum. Data lapangan sudah lengkap , bisa segera melangkah,” katanya  di Jakarta, Rabu (30/3/16).

Pada Rabu itu, katanya, tiga Direktur Jenderal KLHK ke Jambi membangun komunikasi bersama Gubernur Jambi, instansi terkait serta masyarakat. Ada Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, San Afri Awang, Dirjen Perhutanan Sosial, Hadi Daryanto dan Penegakan Hukum, dihadiri Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administratif, Rosa Vivien Ratnawati.

Novrizal, Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, mengatakan, pertemuan ini sekaligus tindak lanjut dari aksi jalan kaki para petani dari Jambi ke Jakarta menuntut penyelesaian persoalan konflik lahan itu. KLHK berharap, dengan pertemuan ini masyarakat kembali ke tempat masing-masing di Jambi. “Pemerintah pusat dan daerah sedang menyelesaikan konflik ini sesuai SK Menteri LHK itu,” katanya.

Meskipun begitu, para petani akan terus ke Jakarta. Ketua Umum KPP STN, Ahmad Rifai mengatakan, perjuangan belum menang. Mereka akan terus berjalan hingga mendapatkan SK pencadangan HTR.

Seorang ibu, warga Jambi yang ikut aksi ke Jakarta, tengah mencuci piring di dekat tenda, depan kantor Kemenhut, November 2012. Foto: Sapariah Saturi
Petani Jambi, kala mendengarkan soal diskusi penyelesaian konflik lahan sebagai tindaklanjut SK Menteri LHK. Foto: Serikat Tani Nasional

Sumber SK: KLHK
Exit mobile version