,

Kasus Penebangan Pohon Milik Sendiri, Petani di Sinjai Dijemput Paksa Polisi

Bahtiar bin Sabang, petani yang juga masyarakat adat dari Desa Turungan Baji, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, kini kembali harus meringkuk di penjara. Jumat dini hari, 1 April 2016, sejumlah aparat kepolisian bersama Dinas Kehutanan Sinjai melakukan penjemputan paksa di rumahnya.

Penjemputan paksa ini adalah bagian dari eksekusi putusan Pengadilan Negeri Sinjai yang menjatuhkan vonis selama 1 tahun subsider 1 bulan pada Juni 2015 silam. Ia dituduh mencuri sebanyak 40 pohon kayu di kebunnya sendiri, yang ternyata juga diklaim Dinas Kehutanan Sinjai sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas.

Setelah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Sinjai, Bahtiar kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi di Makassar. Namun, harapan Bahtiar kandas ketika keluar putusan dari Pengadilan Tinggi pada 18 Agustus 2015, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sinjai. Selama dalam proses persidangan ini ia telah menjalani hukuman di sel selama empat bulan dan setelahnya menjadi tahanan rumah.

Pasca putusan Pengadilan Tinggi ini, Bahtiar memang tidak mengindahkan panggilan eksekusi menuntaskan sisa hukumannya. Bahtiar tetap bersikukuh menolak hukuman tersebut karena merasa tak bersalah. Pohon yang ditebang tersebut adalah ia tanam sendiri beberapa tahun silam.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai tindakan penjemputan ini jauh dari rasa keadilan.

“Tindakan penjemputan paksa ini merupakan bentuk penegakan hukum yang sama sekali jauh dari rasa keadilan. Bahtiar adalah korban kriminalisasi, korban ketidakadilan hukum kehutanan warisan kolonial. Bagai AMAN, Bahtiar adalah seorang pahlawan yang memperjuangkan hak azasi kolektif masyarakat adatnya,” ungkap Abdon, Senin (05/04/2016).

Wahyullah, aktivis Gerakan Anti Perampasan Tanah Rakyat (Gertak) Sinjai menilai banyaknya kerancuan terkait objek yang disengketakan tersebut.

“Di atas objek tersebut terdapat tiga bentuk klaim, pertama SK Penataan Batas, lalu ada SPPT PBB, dan kemudian muncul SK Penunjukan kawasan. Kenapa pemerintah terbitkan SPPT PBB diatas objek yang ditata batas tersebut, dan kenapa ada terbit SK Penunjukan diatas objek yang telah ditata batas pada tahun 1982? Sementara dalam aturan penunjukkan kawasan dinyatakan bahwa wilayah yang akan ditunjuk sebagai kawasan hutan syaratnya tidak pernah ditunjuk sebelumnya?”

Wahyullah juga menyoroti keberadaan kawasan yang disengketakan tersebut adalah wilayah adat yang seharusnya tidak lagi dipersoalkan pengelolaannya, meski hingga saat ini belum ada Perda Masyarakat Adat sebagai syarat pengakuan.

Kejanggalan tuntutan

Menurut Nursari, dari Perhimpunan Pengacara Masyarakat Adat (PPMAN), yang mendampingi Bahtiar selama ini, dari awal kasus ini penuh dengan kejanggalan, misalnya tidak konsistennya penggunaan pasal hukum yang digunakan untuk menjerat Bahtiar. Jika diawal Bahtiar dituduh melanggar sejumlah pasal seperti pasal 78 ayat (2) Junto Pasal 50 ayat (3) Huruf e UU No.41/1999 tentang Kehutanan  terkait perambahan hutan. Namun di persidangan ternyata dakwaannya menggunakan pasal 81 ayat (1) Huruf b Jo. Pasal 12 Huruf b 84 “UU P3H (UU-P3H), yang mana pasal-pasal tersebut tidak ada dalam UU-P3H.

“Kami juga menemukan kejanggalan lain seperti keterangan saksi dari pelapor yang berbeda antara BAP dan persidangan,” tambahnya.

Nursari juga melihat adanya kejanggalan pada perubahan poin dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait dengan barang buktitanpa sepengetahuan Kuasa Hukum serta tidak jelasnya areal yang diklaim oleh kehutanan.

“Berita acara tata batas kawasan hutan (1991/1992) menunjukkan bahwa lokasi tata batas kawasan hutan berada dusun Laha-Laha, berbeda dengan lokasi Bahtiar bercocok tanam yakni di Dusun Smelle. Sketsa  menunjukkan bahwa Laha-laha dan Semelle berjarak sekitar 5 Km dan dibatasi Sungai Tangka.”

Hutan Adat Turungan Baji di Desa Turungan Baji, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan sebagian besar kini dijadikan HPT Dinas Kehutanan Sinjai yang ditanami pinus. Sebagian besar kawasan ini menjadi kebun warga setempat. Foto : Wahyu Chandra
Hutan Adat Turungan Baji di Desa Turungan Baji, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan sebagian besar kini dijadikan HPT Dinas Kehutanan Sinjai yang ditanami pinus. Sebagian besar kawasan ini menjadi kebun warga setempat. Foto : Wahyu Chandra

Andi Ismira, Kepala Biro Advokasi Hukumdan Politik AMAN Sulsel, melihat penangkapan ini tidak sejalan dengan janji Nawacita Presiden Jokowi terkait masyarakat adat.

“Di tengah-tengah tuntutan realisasi agenda reforma agraria tersebut, perampasan lahan rakyat baik oleh perusahaan maupun negara dalam skema penetapan dan penunjukkan kawasan masih marak terjadi. Parahnya, dalam gerakan perjuangan hak dan perlawanan atas perampasan lahan, rakyat kecil sering dilemahkan posisinya dengan cara menggunakan hukum untuk menjadi alat legitimasi kriminalisasi bagi mereka, seperti yang terjadi dengan Bahtiar ini,” ungkapnya.

Menurut Ismira, penolakan Bahtiar terhadap eksekusi tersebut karena vonis tetap diberikan meski banyak kenjaggalan-kejanggalan yang ditemukan dalam proses pemeriksaan dan persidangan, yang justru kemudian diabaikan oleh hakim.

“Ditolaknya banding Pak Bahtiar di pengadilan Tinggi menunjukkan bahwa keadilan dan penegakan hak asasi manusia masih menjadi barang langka dalam sistem peradilan di Indonesia, yang tercermin dari korupnya tindakan oknum aparat penegak hukum.”

Aktivis Korban Kriminalisasi

Ismira mencurigai upaya kriminalisasi terhadap Bahtiar terkait dengan aktivitasnya selama ini sebagai salah satu aktivis penggerak Masyarakat Adat Soppeng-Turungan.

“Bahtiar kerap menginisiasi dan membangun ajakan kepada petani-petani di wilayahnya, untuk lebih peka terhadap hak-haknya dan secara mandiri melakukan pemetaan partisipatif. Hal ini seringkali salah dipahami sebagai bentuk provokasi agar masyarakat bisa leluasa melakukan perambahan. Penyataan dari Kepala Disbunhut Sinjai mempertegas hal tersebut,” tambah Ismira.

Ismira menambahkan bahwa kasus Bahtiar ini merupakan satu dari sekian banyak kasus kriminalisasi terhadap petani atau masyarakat adat, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar hutan, dengan menggunakan instrumen hukum UU Pencegahan, Pemberantasan, Perambahan Hutan (UUP3H).

Meski Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014, telah melarang kriminalisasi bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di kawasan hutan, dan memanfaatkan hasilnya sepanjang bukan untuk kepentingan komersial.

“Lahirnya putusan tersebut seharusnya dapat dijadikan acuan implementasi sejak dini, agar tidak ada lagi petani atau masyarakat adat yang dikriminalisasi atas konflik yang terjadi di sekitar areal hutan.”

AMAN Sulsel sendiri menyampaikan sejumlah tuntutan terkait hal ini. Pertama, Bahtiar adalah korban kriminalisasi, korban dari praktik hukum yang tidak adil dan tidak peka HAM.

Kedua, putusan hakim yang tetap menjatuhkan vonis kepada Bahtiar Bin Sabang tanpa mempertimbangkan kejanggalan fakta-fakta persidangan, telah mencederai rasa keadilan dan kepercayaan rakyat. Ketiga, laksanakan implementasi putusan Nomor 95/PUU-XII/2014.

Tuntutan keempat, mendesak kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai untuk  mengambil tindakan konkrit penyelesaian konflik kawasan hutan yang dengan mengedepankan hak-hak masyarakat setempat serta mengevaluasi kinerja dan memberi sanksi kepada aparat hukum yang telah melakukan penyelewengan hukum dalam Kasus Bahtiar Bin Sabang.

“AMAN juga mendesak pemerintah untuk meninjau ulang status kawasan hutan yang proses penataannya asal-asalan, tidak transparan dan menegasikan keberadaan masyarakat adat Turungan Baji, serta mendesak pemerintah segera memberikan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat melalui penetapan UUPPHMA.”

Persidangan kasus ini sempat menghadirkan Sandra Moniaga, Komisioner KOMNAS HAM, yang juga Pelapor Khusus perserikatan bangsa-bangsa (PBB) tentang kasus masyarakat adat di Indonesia, sebagai saksi ahli pada persidangan 1 April 2015 silam.

Dalam kesaksiannya ketika itu, Sandra menyatakan bahwa tanah tempat Bahtiar berkebun, tempat dituduh mencuri kayu, bisa jadi tanah hak adat dan tak perlu surat-surat untuk pembuktian.

Sandra Moniaga, Komisioner KOMNAS HAM, menjadi saksi ahli pada persidangan 1 April 2015 silam kasus Bahtiar, di Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra
Sandra Moniaga, Komisioner KOMNAS HAM, menjadi saksi ahli pada persidangan 1 April 2015 silam kasus Bahtiar, di Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra

“Sebagian besar tanah terbentang dari Aceh hingga Papua tidak memiliki bukti kepemilikan berupa surat. Dari Indonesia merdeka, lalu lahir UUPA 1960 hingga sekarang, pemerintah belum pernah menginventarisasi tanah-tanah hak, baik menurut UUPA, hukum Belanda yang konversi maupun tanah hak adat.”

Menurutnya, dari sekitar 127 juta hektar wilayah klaim Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan, katanya,  baru 15% memiliki berita acara. Sebagian besar berupa ‘penunjukan’. Namun, penunjukan kawasan ini tidak diikuti penataan batas. Padahal,  dalam aturan disebutkan proses harus dimulai penunjukan, penentuan tapal batas, pemetaan, baru penetapan.

“Ini harus ada berita acara. Yang terjadi, kawasan hutan masih penunjukan sudah ditafsirkan sebagai hutan negara secara definitif.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,