Mongabay.co.id

Komitmen Lingkungan Perusahaan Tergabung IPOP Dituding Berpotensi Kartel, Kok Bisa?

Kementerian Pertanian, menuding komitmen perusahaan-perusahaan sawit yang berkomitmen peduli lingkungan dan sosial lewat Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP)  melanggar kedaulatan negara. Bahkan IPOP dikatakan berpotensi kartel dan menimbulkan persaingan tak sehat, seperti surat yang dilayangkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada IPOP Oktober 2015. Komitmen yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini dinilai berpotensi menyebabkan produksi sawit petani kecil minim terserap.

Gamal Nasir, Direktur Perkebunan Kementerian Pertanian, menolak keras IPOP. Dia beralasan, komitmen ini melanggar UU Indonesia. Tanpa penjelasan detil dia menyebut, keberadaan IPOP membuat posisi Indonesia diatur negara luar.

”Akan kita cermati, KPPU telah mengeluarkan surat terkait ada indikasi kartel. Kita akan koordinasi terlebih dahulu, untuk bisa jadi dasar (pembubaran IPOP, red.),” katanya. Kementan mengklaim 70% pasar CPO dikuasai anggota IPOP.

KPPU mengirimkan surat kepada IPOP menyatakan potensi kartel pada 22 Oktober 2015 dengan menyertakan 10 poin analisis. Antara lain, kesepakatan IPOP tak sejalan dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) terkait penetapan standar kriteria lingkungan yang baik. ISPO menggunakan standar kriteria high conservation value Forest (HCVF), IPOP sepakat menambah high carbon stock (HCS). Posisi ini dianggap berkedudukan lebih tinggi dibandingkan regulasi pemerintah.

KPPU menyebutkan, dalam implementasi IPOP tak memiliki dasar hukum hingga berpotensi bertentangan dengan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasalnya, ini berpotensi mendistorsi pasar dengan kesepatan pembatasan pelaku usaha.

Syarkawi Rauf, Ketua KPPU menyebutkan implementasi IPOP membawa dampak terhadap pelaku usaha lain di luar IPOP. Salah satu, hambatan masuk pasokan ke perusahaan yang tergabung dalam IPOP. Kondisi ini, katanya, dialami pelaku usaha yang telah mematuhi aturan pemerintah (ISPO). ”Ada potensi IPOP posisi lebih tinggi dibandingkan regulasi pemerintah, padahal hanya kesepakatan pelaku usaha.”

Komitmen inipun, katanya, punya celah terbentuk kartel yang mampu menimbulkan persaingan tak sehat. ”KPPU menyatakan kesepakatan ini tak dapat diimplementasikan,” katanya. KPPU, katanya, terlebih dahulu akan menyelidiki dugaan pelanggaran ini.

Menurut Syarkawi, apabila menginginkan IPOP bisa jalan, pelaku usaha perlu mendorong pemerintah. “Yakni mengakomodasi nilai IPOP dalam regulasi resmi pemerintah.”

Dialog terbuka

Bagaimana tanggapan IPOP? Nurdiana Darus, Direktur Utama IPOP menyebutkan, setelah ada tudingan potensi kartel ini, mereka dialog terbuka.

Ade, panggilan akrab Nurdiana, tetap mempertahankan IPOP. ”Kami percaya, kita harus menjaga lingkungan kita ke depan. Kita harus mewariskan lingkungan lebih bagus untuk anak cucu,” katanya.

Mereka sudah dua kali pertemuan dengan Direktorat Perkebunan Kementan. Hasilnya, program Kementan dan IPOP memiliki visi sejalan. Keseriusan IPOP mengelola sawit berkelanjutan ditandai berbagai program, seperti pemberdayaan masyarakat. Mereka bersama pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat sipil, akan menjemput bola kepada petani. Mereka akan menjelaskan kepada petani soal penting sertifikasi ISPO, penyuluhan, data produksi, lahan dan lain-lain.

Hingga kini, ada 5.769 petani di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, mendapatkan fasilitas ini. Tahun ini, IPOP mengembangkan ke Pelalawan, dan Sumatera Selatan. IPOP menggelontorkan anggaran US%338.000 pada petani non plasma.

IPOP menyebutkan, Januari 2015 mendatangi KPPU. Tim Legal IPOP, Ibrahim Senen, mengatakan, kala pertemuan dengan IPOP, KPPU tak melihat ada indikasi (rule of reason) pelanggaran IPOP.

Ibrahim mengatakan, tak benar anggota IPOP menguasasi 70% pasar. ”Diperkirakan luasan lahan anggota IPOP sekitar satu juta hektar, 20% total swasta. Hanya mewakili 13% produksi CPO.” IPOP, katanya, jauh dari unsur kartel atau upaya menghambat pasar.

Data Kementan, luas lahan rakyat 42%, BUMN dan swasta 55%. Sisi produksi, lahan BUMN dan swasta mewakili 65 persen total produksi CPO nasional.

Hingga kini, para anggota IPOP memiliki komitmen menerima buah segar dari petani sawit kecil dengan lahan di bawah 25 hektar dan berlaku surut. IPOP meminta pemerintah cek lapangan. “Apakah petani yang berteriak itu memiliki luasan lebih atau kurang 25 hektar?”

Baik Ade maupun Ibrahim menegaskan, IPOP ini sebuah kesepakatan. ” IPOP tak create standard, tapi kumpulan perusahaan sawit yang memiliki komitmen sama. Masing-masing member memiliki SOP sendiri terkait supply chain(rantai pasok).”

Di Indonesia, tak ada ketentuan hukum melarang orang menciptakan standar lebih tinggi dari hukum. Meski demikian, komitmen ini sangat baik.

”Dia bukan perusahaan, PT bukan, yayasan bukan, subyek badan hukum bukan. (Ini) pledging commitment.”

Sepanjang pemerintah mampu membuktikan ada hukum dilanggar, katanya, negara bisa menghukum. Sedang ketentuan IPOP hingga kini tak melanggar hukum seperti membakar hutan, menebang hutan lindung dan mengeringkan lahan gambut. “Yang ditakutkan pemain sawit tak berkelanjutan kala mereka kehilangan pasar hingga tak ingin proses berlanjut.

Exit mobile version