Sembilan ibu-ibu dari Pegunungan Kendeng menyemen kedua kaki. Mereka adalah Sukinah, Sutini, Murtini, Ngadinah, Giyem, Karsupi, Surani, Deni, Ambarwati. Ini bentuk protes kebijakan pemerintah yang memaksakan industri semen yang mengancam kawasan karst Pegunungan Kendeng. Kawasan ini bukan hanya memiliki fungsi ekologis, juga fungsi sosial dan budaya.
Aksi ibu-ibu juga sekaligus tohokan keras dan menghujam keangkuhan kekuasaan yang tak bernurani, kekuasaan tak berkaki di bumi. Di depan Istana, perempuan tani dari Pegunungan Kendeng menggugat. Mengajarkan bagaimana pengurus negara (Presiden) harus memberikan perlindungan terhadap warga negara–sebagaimana amanat Konstitusi, kala menghadapi kuasa modal yang begitu kuat.
Ibu-ibu dari Pegunungan mengajarkan kita tentang keteguhan hati dalam memperjuangkan alam yang terancam kerakusan. Bagaimana hanya aksi ini. Beratus-ratus hari di tenda perlawanan, jalan kaki, dialog, bahkan upaya hukum agar pemerintah menghentikan industri semen. Bukan empati yang didapat, seringkali dicibir. Bahkan Gubernur juga mencibir perjuangan ibu-ibu Rembang, seakan dia tidak lahir dari seorang perempuan. Tindak kekerasan juga dialami ibu-ibu di tenda perjuangan ini oleh aparat keamanan. Rasanya, diantara kita mungkin tak banyak yang memiliki keberanian dan keteguhan berjuang demi lingkungan hidup seperti ibu-ibu ini.
Soal hukum, Gubernur mungkin lupa, bahwa sistem hukum ini masih dikuasai lingkaran mafia hukum dan peradilan. JadiHingga ruang pengadilan tak mampu menjangkau nilai atau tujuan dari pengadilan itu sendiri.
Gubernur mungkin juga tak ingat, logika hukum formil negeri ini sejak awal banyak menegasikan apa yang disebut partisipasi rakyat bahkan persetujuan rakyat. Riset Walhi menunjukkan, partisipasi rakyat di wilayah pertambangan masih bersifat semu dan manipulatif.
Bisa jadi, industri semen ini legal dalam konteks legal formil negara, karena pemerintah sudah memberikan perizinan, termasuk analisis dampak lingkungan (Amdal). Ia jadi tak legitimate (illegitimate), karena suara pemangku kepentingan terbesar dalam hal ini rakyat terdampak justru menolak industri ini. Mereka paham ancaman kerusakan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan.
Ibu-ibu Pegunungan Kendeng juga mengajarkan kepada kita semua, terutama pengurus negara tentang bagaimana memaknai alam. Secara khusus, bagaimana perempuan memaknai alam. Luar biasa, para perempuan Kendeng ini bukan hanya bicara hidup dan kehidupan untuk diri sendiri, melainkan seluruh masyarakat sekitar bahkan generasi akan datang. Ciri khas dari perjuangan lingkungan hidup, memperjuangkan generasi ketiga, generasi mendatang.
Keterikatan perempuan dan alam banyak diajarkan kepada kita dari berbagai perjuangan perempuan, baik di Indonesia maupun negara lain. Terutama masyarakat adat atau masyarakat lokal dengan kearifan lokal mereka terhadap alam. Alam dan tubuh perempuan memiliki keterikatan satu sama lain, saling mempengaruhi hidup dan kehidupan. Bahwa, di dalam relasi perempuan dengan alam, ada sebuah pengetahuan, bagaimana perempuan memandang tanah, air, hutan. Semua itu tak lepas dari kehidupan perempuan. Itulah yang mendasari mengapa perlawanan perempuan begitu masif terhadap perusakan alam dan sumber-sumber kehidupan. Seperti perjuangan Mama Aleta dan perempuan Mollo melawan tambang di Nusa Tenggara Timur.
Kekuasaan telah menghancurkan relasi perempuan dengan tubuh, menghilangkan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber-sumber kehidupan. Sistem ekonomi politik kapitalisme telah mendekonstruksi nilai-nilai pengetahuan. Pengetahuan seolah-olah di perguruan tinggi, hingga banyak akademisi jadi alat justifikasi kekuatan kapitalisme dalam melanggengkan kekuasaan. Perempuan dianggap tak memiliki pengetahuan mengurus kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan, hingga perempuan selalu tereksklude dalam cerita pengurusan sumber daya alam.
Di berbagai belahan bumi tanah air, perempuan memiliki pengetahuan dan menjalankan fungsi dan perannya sebagai penjaga pangan. Seluruh cerita bernama pembangunan, makin meminggirkan perempuan, menjauhkan perempuan dari akses dan kontrol terhadap sumber-sumber kehidupan.
Ibu-ibu Pegunungan Kendeng, sedang mengajak kita bicara tentang perjuangan hidup dan kehidupan. Mereka menunjukkan dalam diri perempuan ada pengalaman, ada pengetahuan mereka memandang alam, mengurus sumber-sumber kehidupan. Akhirnya, ibu-ibu Pegunungan Kendeng juga mengajarkan kita semua tentang makna solidaritas yang makin luntur digerus tantangan zaman.
Solidaritas ini bukan hanya solidaritas saat aksi, lebih jauh dari itu, tentang bagaimana ibu-ibu ini mengajak kita membangun semangat memperjuangkan kembali hak-hak rakyat dalam pengurusan kekayaan alam.
* Nur Hidayati, penulis adalah Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia