,

Sengkarut Lahan dan Revitalisasi Danau Limboto (bagian – 1)

Di hamparan yang luas itu, Sutarjo Polontalo memperlihatkan peta. Tangannya menunjuk lokasi-lokasi yang sudah diberi angka dan dilingkari spidol. Gambarnya berisi kotak-kotak persegi, tentang kaplingan tanah milik warga. Tempat ia berdiri adalah kotak dengan angka dua dan dilingkari spidol berwarna merah. Lokasi ini mengatasnamakan dirinya sendiri.

“Kita sekarang berada di sini. Total semuanya ada 116 lokasi dan 105 orang pemilik lahan,” kata pria paruh baya itu.

Hamparan ini merupakan area Danau Limboto yang telah berubah menjadi daratan.  Meski disengat panasnya matahari, Sutarjo antusias menjelaskan proses penguasaan lahan. Terutama yang masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Hutuo, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo. Ia hapal satu per satu siapa saja nama-nama pemilik lahan, lengkap dengan luasannya.

“Menurut orang tua, tanah danau ini dikapling sejak 1940-an. Lalu disusul 1970-an. Namun, di 1980-an, penguasaan tanah di Danau Limboto mulai ramai dan memiliki sertifikat dari Badan Pertanahan yang ketika itu masih bergabung dengan Departemen Dalam Negeri,” ungkap Sutarjo.

Di tahun 1980-an itu, Sutarjo menjabat sebagai Kamra (Keamanan Rakyat), yang bertanggung jawab pada polisi. Lalu pada 1992, ia ditunjuk sebagai Koordinator Hansip. Tugasnya adalah mengawasi dan menertibkan penguasaan dan pengelolaan tanah yang ada di Danau Limboto. Sutarjo mencatat dengan baik nama-nama itu. Tak heran jika ia tahu siapa saja pemilik lahan, termasuk para pejabat di desa tetangga yang ikut menguasai areal Danau Limboto dan dikonversi menjadi persawahan.

“Tanah di Danau Limboto ini subur. Tidak perlu pupuk untuk bercocok tanam,” katanya.

Sutarjo memperlihatkan tanah warga yang telah dikeruk dan berubah menjadi danau. Ia menagih pembayaran ganti rugi untuk tanah tersebut. Foto: Christopel Paino
Sutarjo memperlihatkan tanah warga yang telah dikeruk dan berubah menjadi danau. Ia menagih pembayaran ganti rugi untuk tanah tersebut. Tampak alat berat telah bekerja, mengeruk tanah. Foto: Christopel Paino

Selasa siang, 5 April 2016 itu, Sutarjo menelusuri kebunan miliknya. Ia memiliki lahan di Danau Limboto sekitar 10 hektare. Ia tak mengelolanya sendiri. Sebagian ia percayakan kepada saudara atau kerabat terdekat yang ingin bercocok tanam. Jenisnya macam-macam, mulai dari jagung, terong, kacang panjang, rica, tomat, hingga melon.

“Yang di sana, ibu-ibu sedang memetik rica. Mereka baru saja panen. Hidup mereka bergantung dari tanah di danau ini,” katanya.

Tidak jauh dari tempat Sutarjo berdiri, alat-alat berat sedang mengeruk tanah yang akan dikembalikan pada fungsi semula sebagai danau. Truk lalu-lalang mengangkut hasil kerukan dan pergi meninggalkan debu. Tanah yang dikeruk itu memiliki SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah) dan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang). Sebagian yang belum dikeruk memiliki sertifikat tanah dari BPN.

Menurut Sutarjo, kondisi ini menjadi masalah. Karena, tanah yang dikeruk itu memiliki bukti kepemilikan tanah. Pemerintah provinsi melalui Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Gorontalo, mengaku akan membayar ganti rugi. Dengan hitung-hitungan jika tanah yang bersertifikat dari BPN akan dibayar Rp50 ribu per meter, tanah dengan SKPT Rp30 ribu permeter, serta tanah yang memiliki SPPT dibayar Rp20 per meter.

“Tapi lihat tanah yang sudah dikeruk ini, sampai saat ini belum dibayar,” kata Sutarjo menunjuk tanah yang sudah menjadi danau.

Karena ia adalah koordinator pengawas lahan di danau itu, maka warga yang memiliki tanah sering mendatangi dirinya. Bahkan, akhir 2015, nyaris terjadi bentrok dengan operator alat berat. Warga keberatan tanah yang belum dibayar dikeruk.

“Kami mendatangi kantor Bappeda dan sudah tanda tangan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) bahwa kami menyerahkan foto copy bukti kepemilikan tanah kepada posko terpadu revitalisasi Danau Limboto,” katanya.

BAP tersebut menurutnya belum ada tindak lanjut. Warga terus mendesak Sutarjo agar menyelesaikan pembebasan lahan. Demi memperjuangkan itu, ia mengaku sempat beradu mulut dengan salah satu pegawai dari Bappeda.

Untuk mendapatkan tanah di Danau Limboto, prosesnya cukup gampang. Di Kelurahan Hutuo, katanya, cukup melapor kepada kepala kelurahan dan petugasnya, kemudian akan dilihat siapa pemohonnya, lalu disurvei lokas tanah.

“Hingga saat ini banyak yang bermohon, tapi saya bilang saya tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dikemudian hari.”

Warga yang sedang memetik rica. Kebun sebelumnya adalah Danau Limboto, kemudian mengering dan menjadi lahan warga untuk berkebun. Foto: Christopel Paino
Warga yang sedang memetik rica. Kebun sebelumnya adalah Danau Limboto, kemudian mengering dan menjadi lahan warga. Foto: Christopel Paino

Penataan danau

Sebelumnya, 1 April 2016, Sutarjo mendatangi Ball Room Hotel Maqna, Kota Gorontalo. Ia menjadi peserta forum konsultasi publik percepatan legalisasi Perda Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Danau Limboto. Kegiatan ini digelar Dinas Pekerjaan Umum. Pembicaranya Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, utusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Direktorat Jenderal Tata Ruang), utusan Badan Geo Spasial, serta konsultan RRTR Danau Limboto.

Sutarjo menyampaikan uneg-unegnya kepada Kepala Bappeda. Ia mengaku membawa aspirasi warga dan menjelaskan awal mula penguasaan Danau Limboto hingga bisa memiliki sertifikat tanah dari BPN. Tak lupa, contoh-contoh sertifikat tanah ia bawa sebagai bukti.

“Masyarakat tahu tanah yang sudah dikeruk itu akan diganti. Tapi hingga saat ini belum ada realisasinya,” protes Sutarjo.

Budiyanto Sidiki, Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, langsung menanggapi. Menurutnya, pada saat pihaknya mulai menata zonasi, mereka ingin mendapatkan gambaran tentang masyarakat yang sudah memiliki sertifikat tanah di atas Danau Limboto. Sayangnya, tidak mudah mendapatkan sertifikat atau bukti pemilikan tanah jika diminta.

“Maka kami umumkan pada masyarakat lewat iklan media massa, bagi bapak ibu yang merasa memiliki atau menguasai tanah, segera disampaikan. Tujuannya untuk diidentifikasi. Kami tidak bilang akan diganti rugi atau dibayar. Kenapa diidentifikasi karena berkiatan dengan penataan, zonasi Danau Limboto,” tandasnya.

Dengan cara seperti itu, kata Budiyanto, mereka tahu siapa saja yang memiliki tanah di atas Danau Limboto, dan terbukti pihaknya mendapatkan 97 bukti kepemilikan tanah.

Data Bappeda Gorontalo menyebutkan, kawasan perairan danau telah diperuntukkan seperti sawah (637 hektare), ladang (329 hektare), perkampungan (1.272 hektare), dan peruntukan lainnya (42 hektare). Selain itu, pendangkalan Danau Limboto akibat sedimentasi dari tujuh sungai utama yang bermuara ke danau.

“Kurang tegasnya penegakan peraturan tentang garis sempadan danau mengakibatkan adanya penguasaan perorangan melalui sertifikasi tanah yang pada dasarnya merupakan areal kawasan danau.”

Sementara enceng gondok di Danau Limboto tumbuh meluas yang sebarannya sekitar 30 persen dari luasan danau. Konsentrasi terbesar berada di tengah. Sedangkan penurunan daya tampung danau, menyebabkan setiap musim hujan mengalami banjir. Area yang selalu tergenang di hilir Sungai Biyonga dan Sungai Tapodu, serta area disepanjang Sungai Alo Pohu.

Proyek revitalisasi Danau Limboto yaitu dengan malukan pembuatan tanggul. Foto: Christopel Paino

Namun, berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup dan Riset Daerah Gorontalo, tutupan enceng gondok dan tanaman air lainnya mencapai 70 persen dari luasan danau. Sedang luas hutan di DAS Limboto 14.893 hektare atau 16.37 persen dari luas DAS. Hal ini sangat jauh di bawah persayaratan minimum sebesar 30 persen.

Kerusakan hutan memperbesar tingkat erosi tanah dan menyebabkan lahan-lahan yang ada menjadi kritis. Luas lahan kritis mencapai angka 26.097 hektar. Sementara tingkat erosi di DAS Limboto mencapai angka 9.902.588,12 ton per tahun atau rata-rata 108.81 ton perhektar  per tahun.

Sementara data dari BP-DAS (Balai Pengelola-Daerah Aliran Sungai) Bone Bolango menyebutkan bahwa area tangkapan air di Danau Limboto berasal dari beberapa Sub DAS yakni Allo-Pohu (50.384 hektar), Bionga (6.934 hektar), Bulataa (6.363 hektar), Marisa (4.782 hektar), Meluopo (7.289 hektar), Olilumayango (4.885 hektar), Rintenga (4.044 hektar) dan Tolulodo (2.827 hektare).

Namun kontribusi terbesar dalam sedimentasi ke Danau Limboto yaitu sub DAS Allo-Pohu sebesar 40,8 persen, disusul Bionga 18 persen, Olilomayango 12,7 persen, dan Meluopo 10,8 persen. Sejak tahun 2010, hasil sedimen yang masuk ke Danau Limboto sekitar 10,55 juta ton per tahun.

Eceng gondok yang menutupi permukaan Danau Limboto. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,