, ,

Akibat Reklamasi Teluk Jakarta, Nelayan dan Perempuan Nelayan Terkena Getahnya

Status penghentian sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang saat ini sedang berlaku, sebaiknya diperkuat dengan perangkat hukum berupa peraturan dari Pemerintah Indonesia. Dukungan tersebut sangat penting, karena proyek reklamasi sudah menggusur profesi nelayan yang dimiliki warga di sekitarnya.

Pernyataan tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim di Jakarta, Senin (25/4/2016). Menurut dia, sedikitnya ada 56.309 rumah tangga nelayan yang akan terdampak pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta.

“Kondisi tersebut jelas akan merugikan nelayan di sana. Pilihan yang harus diambil adalah bagaimana memecahkan persoalan ini. Diteruskan atau dihentikan sama sekali,” jelas dia.

Halim menyebutkan, kerugian yang dirasa sangat signifikan oleh para nelayan, adalah semakin menghilangnya akses melintasi laut (melaut) untuk melakukan kegiatan mencari nafkah di laut. Padahal, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konsitutsi No.3 Tahun 2010 tentang Uji Materi UU No.27 Tahun 2007 tentang PWP3K terhadap UUD 1945, nelayan seharusnya mendapatkan hak atas akses melaut.

“Dan, tak kalah sulitnya bagi nelayan, setelah reklamasi dilaksanakan, adalah terjadinya peningkatan ongkos produksi yang berdampak negatif pada resiko meningkatnya utang nelayan. Ini sangat riskan,” tutur dia.

Pendapatan Menurun

Masalah lain yang muncul akibat berlangsungnya reklamasi di Teluk Jakarta, menurut Halim, adalah terjadinya penurunan perempuan nelayan. Mereka yang menjadi perempuan nelayan, sebagian besar adalah para istri nelayan yang biasa melaut menggunakan kapal kecil.

Pusat Data dan Informasi KIARA pada April 2016 merilis data dan fakta tentang perempuan nelayan. Dari data tersebut, diketahui kalau perempuan nelayan mengalami penurunan pendapatan hingga 90 persen. Kondisi itu sangat menyulitkan, karena perempuan nelayan biasa menopang kehidupan ekonomi dari rumah tangga nelayan.

“Setelah reklamasi berjalan, penghasilan nelayan mulai menurun dan bisa saja tidak ada sama sekali jika reklamasi terus dilaksanakan. Sementara, dalam waktu yang bersamaan, para perempuan nelayan juga mengalami hal yang sama,” ucap dia.

Aktivitas nelayan perempuan.
Aktivitas nelayan perempuan.

Halim menjelaskan, selain di Teluk Jakarta, saat ini di daerah lain juga sudah ada yang bersiap melaksanakn reklamasi. Di antara yang sudah bersiap itu, adalah Semarang (Jawa Tengah) dan Teluk Benoa (Bali). Menurut dia, daerah lain harus bisa belajar dari kasus di Teluk Jakarta.

Hentikan Reklamasi atau Bunuh Nelayan?

Sementara itu salah satu perempuan nelayan dari kawasan Marunda di Jakarta Utara, Habibah (51 tahun), berharap proyek reklamasi dihentikan secara permanen. Hal itu, karena jika terus dilanjutkan, dia takut mata pencaharian suaminya sebagai nelayan harus berganti.

“Sekarang itu nelayan di Marunda pada kebingungan karena sudah tidak memiliki dermaga lagi. Perahu yang biasa buat melaut jadi ditambatkan di sembarang tempat. Itu juga membuat kami pusing,” tutur dia.

Infografik biaya dan keuntungan reklamasi Pantai utara Jakarta. Sumber : KIARA (April 2016)
Infografik biaya dan keuntungan reklamasi Pantai utara Jakarta. Sumber : KIARA (April 2016)

Saat ini saja, kata Habibah, walau reklamasi belum selesai seluruhnya, namun penghasilan suaminya sudah mengalami penurunan drastis. Dalam tiga tahun terakhir, penghasilan bersih untuk sekali melaut paling banyak hanya Rp100.000 saja.

“Padahal, sebelumnya, suami saya bisa mendapatkan sejuta (rupiah) sekali melaut. Tapi sekarang, jumlahnya paling besar juga Rp500.000 dan itu juga penghasilan kotor yang harus dipotong ongkos produksi dan dibagi dengan ABK (anak buah kapal) yang berjumlah tiga orang,” papar dia.

Habibah menjelaskan, terus memburuknya penghasilan nelayan, mulai terasa sejak reklamasi berjalan pada 2000 dan kemudian puncaknya mulai tiga tahun terakhir mengalami paceklik karena ikan harus ditangkap lebih jauh lagi.

Namun, menurut dia, jika nelayan ingin menangkap ikan lebih jauh, maka armada perahu harus ditingkatkan lagi menjadi kapal dengan tonase besar. Kendala besar itu masih ditambah lagi dengan buruknya kualitas air di pesisir pantai yang biasa digunakan nelayan Marunda dan sekitarnya untuk mencari tangkapan laut.

“Kalau air laut kena limbah kiriman dari sungai, maka sama sekali tidak bisa melaut. Bisa sebulan itu kami berhenti, dan bahkan bisa lebih. Jika sudah begitu, maka kami mencari pekerjaan lain supaya bisa tetap mendapatkan penghasilan,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,