, ,

Desa Ekologi, Pembangunan Minim Eksploitasi

Berlimpahnya kekayaan sumber daya alam di desa, yang dikelola sesuai kearifan lokal, dipercaya dapat mendukung peningkatan ekonomi masyarakat setempat, tanpa merusak. Keyakinan tersebut, mendorong pemerintah Indonesia untuk mencetuskan konsep Desa Ekologi.

Dijelaskan Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, di desa terdapat keberlimpahan sumber daya di berbagai sektor, misalnya hutan, pertanian, hingga hasil pesisir dan laut. Kemudian, sejak adanya UU Desa, desa diyakini sudah menjadi tempat strategis, bahkan berperan sebagai penyangga kota.

Marwan, berharap desa semakin mampu membuka kesempatan dan momentum untuk memanfaatkan kekayaan alam di Indonesia. “Seperti diwujudkan dalam desa ekologi yang mampu menjaga lingkungan dan keberlanjutan hutan desa, serta memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat,” kata dia ketika memberi sambutan untuk membuka Pertemuan Lingkungan Hidup Nasional (PNLH) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) XII di Wisma Atlet, Komplek Jakabaring Sport Center, Palembang, Senin, (25/04/2016).

Meski demikian, pihaknya mengakui, permasalahan yang selama ini dihadapi adalah ketimpangan pembangunan kota dan desa yang begitu tinggi. Akibatnya, desa dianggap tidak lagi bisa memberi sumber-sumber kehidupan bagi warganya.

Kedepan, pemerintah Indonesia berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satunya lewat mendorong lahirnya payung hukum untuk menghadirkan dan mempertegas konsekuensi hukum berbasis regulasi desa terhadap penjarahan SDA dan pengrusakan lingkungan. Meski demikian, dalam kebijakan nasional, pemerintah mengaku sudah membuka ruang untuk menyelesaikan konflik antara desa dengan kawasan hutan.

Misalnya, jelas Marwan, melalui mekanisme perhutanan sosial hutan desa, hutan rakyat serta hutan kemasyarakatan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Hanya saja, konflik antara desa dengan korporasi perkebunan dan pertambangan belum ditemukan sistem yang efektif,” ujarnya.

Sebagai upaya mencari jalan keluar dari permasalahan itu,  Marwan meminta gerakan penyelamatan lingkungan hidup, ikut mencetuskan solusi terkait pemanfaatan sumber daya alam berbasis masyarakat desa secara berkelanjutan. “Kementerian bisa menjadi konsolidator untuk menyelesaikan konflik antara desa dengan kawasan hutan ini. Harapannya Walhi dapat membantu kami untuk bisa secara bersama-sama menjawab tantangan ini.”

Jamin Hak-Hak Warga Desa

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, menilai, keseriusan pemerintah dalam mewujudkan konsep desa ekologi bisa dilihat dari tingkat keberhasilan menjamin perlindungan hak-hak masyarakat setempat dan mendukung potensi sumber daya di tingkat lokal. “Pernyataan-pernyataan komitmen dari pemerintah, bagi kami, hanya sebatas pernyataan kalau tidak ada strategi alat tagih dan penekannya.”

Salah satu strategi yang ditawarkannya yaitu dengan cara menghilangkan ketergantungan pada komoditas-komoditas tunggal, seperti tambang dan sawit. Sebab, bersasarkan penilaiannya, konsep desa ekologi hanya bisa diwujudkan dengan melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan kearifan lokal serta pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan.

Abetnego menyebut desa ekologi sebagai desa yang bisa mengelola kawasannya tanpa eksploitasi. Lewat konsep tersebut pihaknya ingin menunjukkan bahwa persoalan desa tidak hanya sekedar pengelolaan dan pemanfaatan dana desa. Namun juga arah pembangunan desa yang lebih baik kedepannya.

Seorang warga desa Santong yang membawa hasil panen dari Hutan Kemasyarakatan Desa Santong, Kayangan, Lombok Utara, NTB. Foto : Jay Fajar
Seorang warga desa Santong yang membawa hasil panen dari Hutan Kemasyarakatan Desa Santong, Kayangan, Lombok Utara, NTB. Foto : Jay Fajar

Menurut Abetnego, secara faktual, konsep desa ekologi sebenarnya sudah banyak berkembang atau dikelola di tengah-tengah masyarakat di Indonesia. Tapi, disayangkannya, desa-desa ini tidak dianggap sebagai model pembangunan, primitif, tradisional, tidak punya dampak signifikan terhadap ekonomi, atau dinilai tidak punya dampak pada kesejahteraan secara nasional.

“Padahal, dalam perjalanannya, terbukti daya lenting masyarakat itu datang dari desa-desa yang memiliki kemampuan mengelola lingkungan secara baik,” jelas Abetnego.

Pada 25-27 April 2016, Walhi menggelar PNLH XII di Palembang untuk memilih Eksekutif Nasional maupun Dewan Nasional. Pertemuan itu dihadiri organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu lingkungan dari 28 provinsi di Indonesia dengan lebih dari 478 organisasi. Walhi mengundang Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, untuk membuka kegiatan tersebut. Selain Marwan Jafar sejumlah pejabat daerah juga menghadiri pembukaan PNLH XII di Palembang.

Abetnego berharap, kehadiran para pembuat kebijakan tersebut dapat memberi gambaran mengenai kondisi pengelolaan dan masalah lingkungan hidup di tanah air. “Kami memang sengaja mengundang para pejabat untuk mengetahui sejauh mana cara pandang dan komitmen mereka.”

“Dari situ, akan kami lihat kedepannya akan seperti apa. Lewat penjelasan-penjelasan tersebut, kami akan mulai merumuskan secara tepat isu-isu maupun strategi advokasi dan kampanye yang akan didorong oleh Walhi,” terang Abetnego.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,