, ,

Nur Hidayati: Isu Lingkungan Hidup Harus Jadi Panglima!

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) punya direktur eksekutif nasional yang baru. Di penghujung Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XII di Palembang, 28 April 2016 silam, Nur Hidayati atau akrab disapa Yaya, mendapat kepercayaan untuk memimpin organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia ini.

Dalam proses pemungutan suara yang dilakukan melalui voting, Nur Hidayati berhasil mengungguli dua kandidat lainnya, yakni Pius Ginting dan Arie ‘Rio’ Rompas.

Nur Hidayati bukan nama baru di gerakan lingkungan. Ia sudah lebih dari 20 tahun terlibat dalam advokasi lingkungan hidup. Aktifitas yang pernah dijalaninya mulai dari perencanaan komunitas dan pengorganisasian, penanganan kasus-kasus masyarakat, hingga advokasi dan kampanye isu maupun kebijakan di tingkat nasional, regional (ASEAN) hingga global.

Selain advokasi, wanita kelahiran 14 Agustus 1973 ini, juga berpengalaman melakukan riset lapangan dan kajian, fasilitator training, perencanaan strategi, hingga melakukan analisis kebijakan dan lobi pada pemerintah, parlemen, serta institusi nasional hingga internasional. Sebelum terpilih sebagai eksekutif nasional periode 2016-2020, ia menjabat sebagai Kepala Departemen Advokasi Walhi.

Mongabay Indonesia berkesempatan mewawancarainya dan mendiskusikan gagasan-gagasan pembangunan baik di tingkat daerah maupun nasional. Nur Hidayati juga menjelaskan situasi politik dan ekonomi global yang berdampak pada arah pembangunan di Indonesia.

Berikut petikan wawancaranya.

Mongabay Indonesia: Pembangunan yang dinilai mengancam dan berdampak bencana ekologis. Apa saja strategi penyelamatan lingkungan hidup yang akan anda usung?

Nur Hidayati: Tantangan kita memang berat. Saat ini, kita tidak memiliki kemewahan waktu, tapi kita tetap harus melakukan gerakan di semua level. Karena, kalau kita lihat, ancaman di depan mata sudah sangat besar. Investasi dan pembangunan-pembangunan yang merusak lingkungan hidup masih sangat banyak.

Strategi pertama yang harus dilakukan adalah konsolidasi secara internal, sehingga barisan pejuang lingkungan hidup semakin solid dan dapat memperkuat perlawanan. Dengan demikian, Walhi sebagai organisasi advokasi berbasis masyarakat, dapat melakukan perlawanan secara menyeluruh. Kedua, melakukan perluasan gerakan. Organisasi masyarakat sipil tidak bisa lagi bergerak secara terpisah. Konsolidasi harus dibangun bersama gerakan buruh, petani, masyarakat adat, nelayan dan sebagainya. Karena permasalahan kita sama, yaitu kecenderungan negara dalam mengabaikan kepentingan masyarakat umum.

Strategi ketiga, Walhi akan memperkuat pengorganisasian. Karena, infiltrasi modal secara langsung sudah sampai di lapangan. Saya pikir kekuatan Walhi, sebagai organisasi jaringan, harus dioptimalkan. Dan, yang keempat,  di level kebijakan. Kita perlu lebih mengantisipasi skema, road map dan blue print yang dibayangkan pemerintah tentang Indonesia. Di tataran itu kita bisa melakukan counter.

Mongabay: Bagaimana anda melihat keseriusan Pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup?

Nur Hidayati : Kalau kita lihat, tren saat ini makin memburuk, terutama karena agresifnya pemerintah melakukan pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Proyek-proyek ini dilakukan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal serta keberlanjutan lingkungan hidup.

Contohnya proyek-proyek reklamasi, pembangunan infrastruktur yang manfaatnya dipertanyakan, seperti proyek kereta api cepat, pembangunan rel kreta trans Sulawesi, lalu juga ancaman-ancaman di kawasan karst untuk pembangunan pabrik-pabrik semen.

Padahal, yang dipertaruhkan di sini adalah kedaulatan pangan dari masyarakat dan bangsa ini. Karena yang ditarget oleh eksploitasi ini adalah sumber-sumber pangan dan wilayah-wilayah produktif masyarakat, lahan-lahan yang subur, laut tempat nelayan mencari ikan, serta kawasan karst yang menjadi sumber air bagi pertanian warga.

Jadi, kebijakan pemerintah saat ini sangat kontradiktif. Dulu digembar-gemborkan, misalnya, pembangunan dari pinggiran serta mengutamakan kedaulatan pangan. Saat ini yang terjadi justru sebaliknya, penghancuran wilayah-wilayah produktif masyarakat dan pembangunan yang hanya menguntungkan investor.

Mongabay: Bagaimana tanggapan mengenai wacana moratorium tambang dan sawit?

Nur Hidayati : Selama belum ada bukti di atas kertas, kami tidak mau terlena dengan janji-janji itu. Karena, meski sudah diwacanakan moratorium tambang dan sawit, namun area konsesi tambang dan sawit belum berhasil dikendalikan, luasannya masih tetap sama besar. Kemudian, penegakan hukum pada perusahaan-perusahaan yang terbukti membakar masih tetap belum dilakukan secara maksimal. Jadi, Walhi akan terus memperhatikan hal ini.

Mongabay: Bagaimana anda melihat proyek pembangunan lewat reklamasi di berbagai tempat di Indonesia?

Nur Hidayati: Reklamasi adalah sesat pikir proyek-proyek pembangunan di Indonesia, mulai dari basis argumentasi dan logika itu tidak jelas. Tidak ada alasan logis yang bisa mewakili kepentingan masyarakat dan lingkungan dari proyek-proyek reklamasi di Indonesia. Kecuali alasan ekonomi, memberi kesempatan seluas mungkin kepada developer sektor properti untuk melakukan akumulasi keuntungan dan mengambil profit dari proyek-proyek reklamasi.

Mongabay: Anda pernah mengatakan bahwa ada perang kepentingan antara Amerika dengan Cina dalam memperebutkan sumber daya alam di Indonesia. Bisa dijelaskan?

Nur Hidayati: Secara geopolitik dan geoekonomi, Indonesia ada di persimpangan berbagai kepentingan. Sekarang, misalnya, Cina dan Amerika bersaing membangun kekuatan ekonomi utama di dunia. Mereka masing-masing melakukan konsolidasi kapital yang sangat besar. Cina melibatkan beberapa negara Eropa, lalu membuat konsorsium bank untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Amerika melakukannya dengan skema Trans Pacific Partnership (TPP).

Nur Hidayati atau akrab disapa Yaya (kiri) yang terpilih menjadi direktur eksekutif nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggantikan Abetnego Tarigan (kanan) dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XII di Palembang, 28 April 2016. Foto : Abetnego Tarigan
Nur Hidayati atau akrab disapa Yaya (kiri) yang terpilih menjadi direktur eksekutif nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggantikan Abetnego Tarigan (kanan) dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XII di Palembang, 28 April 2016. Foto : Abetnego Tarigan

Nah, Indonesia berada di antara kepentingan itu. Karena, pertama, dalam ekonomi global, Indonesia berperan sebagai sumber bahan baku. Dengan sumber daya alam yang kaya, maka Indonesia menjadi target eksploitasi. Lalu yang kedua, dengan upah buruh murah dan biaya produksi rendah, negara ini menjadi target industrialisasi. Ketiga, Indonesia juga menjadi target market dari produk-produk yang diproduksi.

Mongabay: Menurut Anda, bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya mengantisipasi kepentingan global tadi?

Nur Hidayati: Kita harus mengingatkan pemerintah bahwa mereka punya mandat konstitusi, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum bukan kekayaan segelintir orang. Jadi, kita harus memaksa pemerintah untuk memenuhi mandat itu. Pemerintah tidak boleh berpihak pada kepentingan korporasi dalam mengakumulasi profit.

Penguasaan sumber daya alam diberikan pada korporasi dengan sangat mudah. Sementara, akses masyarakat untuk mendapatkan haknya justru dipersulit. Misalnya alokasi hutan dan tanah untuk objek reforma agraria, yang 12,7 juta hektar serta 9 juta hektar itu sangat sulit diperoleh masyarakat.

Mongabay: MP3EI sudah jarang atau malah tidak pernah disebut, namun konsep pembangunan belakangan ini nampak serupa. Bagaimana menurut Anda?

Nur Hidayati: Di masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mendapat kritik yang sangat keras dari berbagai kelompok masyarakat. Nah, pemerintah yang sekarang, tidak lagi menggunakan jargon MP3EI. Namun, rencana dan proyek yang sedang dijalankan pemerintah, berasal dari MP3EI.

Paradigma berpikir dan cara pandang melihat Indonesia itu sama dengan yang ada di MP3EI. Indonesia tetap dilihat sebagai stock resources untuk dieksploitasi. Kemudian, model-model konektifitas sebenarnya perlu dipertanyakan, apakah untuk mempermudah akses dan transportasi produk yang dihasilkan masyarakat atau mempermudah akses korporasi besar?

Judulnya (MP3EI) memang tak lagi dipakai, tapi logika berpikir dan jenis-jenis proyeknya masih tetap sama.

Mongabay: Dalam PNLH XII, Walhi berkomitmen mendorong peradilan dan memastikan agenda politik lingkungan hidup di Indonesia. Bagaimana Anda menerjemahkan komitmen itu?

Nur Hidayati: Kalau kita lihat sekarang ini, kasus-kasus yang diajukan Walhi selalu terbentur dengan sistem hukum yang tidak bisa menjangkau kasus-kasus lingkungan. Masalah itu menyebabkan pelaku kejahatan lingkungan lepas dari jerat hukum.

Makanya, Walhi berpikir, perlu adanya peradilan khusus lingkungan hidup. Karena memang, kejahatan lingkungan bersifat extra ordinary crime. Dampaknya tak hanya dirasakan oleh generasi sekarang, tapi juga generasi mendatang.

Kemudian, masalah lingkungan juga berkaitan dengan kebijakan. Saat ini tali-temali antara kepentingan politik dan bisnis ekstraksi sumber daya alam masih sangat kuat. Sehingga, dalam setiap momen-momen politik, Walhi akan melakukan pengarus utamaan isu-isu keadilan ekologi.

Harapannya, persoalan-persoalan lingkungan hidup bisa menjadi panglima dalam perdebatan ataupun keputusan politik di negara kita.

Bukan berarti kita terlibat dalam politik praktis. Posisi Walhi sebagai organisasi independen dan non partisan tetap harus dijaga.

Mongabay: Apa target yang ingin dicapai dalam periode kepengurusan 2016-2020?

Nur Hidayati: Target yang ingin dicapai sesuai mandat PNLH XII. Seperti advokasi hutan dan perkebunan skala besar yang makin masif, advokasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang terancam berbagai proyek pembangunan, seperti reklamsi dan industri tambang.

Kemudian, mengawal janji presiden Jokowi terkait 12, 7 juta hektar hutan untuk rakyat, sebagai dorongan terhadap pengakuan wilayah kelola rakyat.

Tapi, secara khusus, seperti rekomendasi-rekomensasi terkait politik tadi. Harapannya ada peradilan khusus lingkungan hidup, serta PR utama menjadikan persoalan lingkungan hidup sebagai panglima dalam pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan politik di negeri ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,