Lihat foto-foto dan video anak-anak ini. Sungguh miris. Mereka terpapar nikotin. Ada yang bilang kepala pusing, mual sampai muntah-muntah kala terus menerus bersinggungan dengan daun tembakau. Mereka juga berisiko terkena racun hama dan pupuk kimia.
***
“Saya muntah saat terlalu lelah memanen dan mengangkut daun tembakau. Perut saya seperti… saya tak bisa jelaskan. Mulut saya bau. Saya muntah bekali-kali… Ayah membawa saya pulang. Itu terjadi saat kami panen. Cuaca panas, dan saya sangat lelah… Baunya tak enak saat panen. Saya selalu muntah setiap kali memanen.”
Begitu cerita Ayu seperti terekam pada penelitian terbaru Human Rights Watch (HRW) berjudul,” Panen dengan Darah Anak, Bahaya Pekerja Anak dalam Pertanian Tembakau di Indonesia,” yang rilis di Jakarta, Rabu (25/5/16). Ayu, gadis 13 tahun dari desa di Garut, Jawa Barat. Dia lima bersaudara. Orangtua Ayu petani tembakau. Sejak kecil dia biasa ke ladang tembakau membantu orangtua. Bahkan, kala musim panen, dia yang kini duduk di bangku SMP ini kadang bolos sekolah untuk membantu orangtua.
Raden, anak laki-laki 14 tahun dari Sumenep, Jawa Timur, mengalami hal serupa. “Saat kami panen, saya sering sakit karena bau daun tembakau basah. Saya sakit kepala berat …. Kadang sulit bernapas saat banyak daun tembakau dekat saya . Saya pusing. Saya melihat bintang-bintang. Semua sangat terang,” katanya pada HRW.
Bukan hanya terpapar nikotin. Anak-anak ini juga terkena racun hama dan pupuk kimia buat tembakau. Anak-anak ini ada yang meracik, bahkan ada yang sekaligus menyemprotkan ke kebun.
“Saya memasukkan bahan ke ember, mengaduk dengan kayu, memasukkan ke tangki. Ayah akan menyemprotkan…. Saya pusing dan sakit kepala karena bau yang kuat. Saya pikir saya akan jatuh,” kata Ramelan, anak 12 tahun di Garut, Jawa Barat menceritakan kala mencampur pestisida.
Ayu, Raden, Ramelan, hanya tiga contoh dari banyak anak-anak yang bekerja di perkebunan tembakau di Indonesia. Anak-anak ini juga bekerja berat, seperti menimba air di kolam, lalu menyirami kebun tembakau hingga selesai. Mereka terpapar nikotin, racun pestisida, berpanas-panasan dan dan bahaya lain.
***
Penelitian HRW di empat provinsi yakni, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Tiga provinsi di luar Jabar, merupakan penghasil 90% produksi tembakau di Indonesia. Dengan lebih 500.000 perkebunan tembakau, negeri ini menjadi pemasok terbesar kelima dunia.
Laporan ini mewawancarai 227 orang, termasuk 132 buruh anak usia 8 -17 tahun. Margareth Wurth, peneliti hak-hak anak HRW mengatakan, separuh anak-anak yang diwawancarai mengeluh mual, muntah, sakit kepala, atau pusing. “Semua gejala konsisten dengan keracunan nikotin kronis karena penyerapan nikotin melalui kulit mereka. Efek jangka panjang belum diteliti, namun penelitian tentang merokok menunjukkan paparan nikotin selama masa kanak-kanak dan remaja mempengaruhi perkembangan otak,” katanya.
Nikotin terdapat pada semua bagian tanaman dan daun tembakau dalam semua tahapan produksi. Penelitian kesehatan masyarakat menunjukkan, petani tembakau menyerap nikotin melalui kulit saat menangani tembakau, terutama ketika tanaman basah. Penelitian menunjukkan, petani tembakau dewasa tak merokok memiliki jumlah nikotin sama dengan perokok pada masyarakat umum.
Nikotin adalah toksin alias zat racun, dan paparan nikotin lama dikaitkan dengan dampak buruk berjangka panjang atas perkembangan otak. Penggunaan alat pelindung, katanya, tak cukup menghilangkan bahaya bekerja dengan tembakau dan bisa menyebabkan bahaya lain, seperti macam-macam cedera karena suhu panas.
”Tangan mereka hitam jika memegang tembakau dan kuku kuning,” kata Andreas Harsono, peneliti HRW di Indonesia, kepada Mongabay di Jakarta. Pekerjaan ini, katanya, jelas berdampak cukup fatal, terutama bagi sistem syaraf dan perkembangan otak anak-anak ini.
Tak hanya terpapar langsung nikotin, mereka juga mengaduk bahan kimia beracun untuk pestisida, pakai benda tajam, mengangkat beban berat kala panen atau menyiram tanaman.
Setelah HRW menelusuri lebih dalam, ternyata banyak orangtua tak tahu dampak berbahaya dari panen tembakau ini.”Mereka juga tak mau membunuh anaknya sendiri.”
Faktor ekonomi menjadi satu faktor penyebab anak-anak ikut bekerja tetapi pemberian pengetahuan terkait bahaya pestisida dan langkah pencegahan pemaparan sangat minim.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan terdapat sekitar 1,5 juta anak usia 10-17 tahun bekerja di lahan pertanian di Indonesia. ”Memang belum menemukan angka resmi dari pertanian tembakau, tetapi Indonesia pemasok tembakau dunia hingga diduga dari sektor ini juga besar.”
***
Di Indonesia ada beberapa industri besar tembakau, seperti PT Djarum, PT Gudang Garam Tbk, dan PT Nojorono Tembakau Internasional (pabrik rokok nasional) dan dua perusahaan multinasional yakni, PT Bentoel International Investama, milik British American Tobacco, dan PT Hanjaya Mandala Internasional Investama dimiliki Phillip Morris International.
HRW menyebutkan, ladang –ladang tembakau ini menjadi pemasok ke perusahaan-perusahaan rokok nasional dan multinasional. Beberapa petani, ada yang memiliki kontrak langsung sebagai pemasok perusahaan. Namun, sebagian besar mereka membeli dari pengepul. Rantai pasokan dari lahan pertanian kecil, dijual ke pengepul. Pengepul menjual kepada pabrik.
Perusahaan multinasional yang memberi tanggapan pada HRW memprioritaskan pemasok dengan kontrak langsung mereka. Meskipun begitu, semua membeli dari pasar bebas tanpa mengetahui darimana sumber-sumber tembakau ini.
Dari penelusuran, HRW tak menemukan, perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia ini memiliki aturan atau langkah-langkah mencegah buruh anak pada rantai pasokan mereka.
Wurth mengatakan, ketika perusahaan-perusahaan rokok tak tahu darimana tembakau dibeli, mereka tak punya cara untuk memastikan produksi tembakau tak memberikan risiko kesehatan bagi buruh anak.
Regulasi Indonesia, usia minimum bekerja 15 tahun. Anak-anak usia 13 -15 tahun hanya boleh kerja ringan, yang tak mengganggu sekolah atau membahayakan kesehatan dan keselamatan mereka. Anak-anak di bawah 18 tahun dilarang kerja berbahaya, termasuk di lingkungan dengan zat kimia berbahaya. Pekerjaan kontak langsung dengan tembakau ini juga membahayakan kesehatan anak ini, kata Harsono, harusnya dilarang.
Perusahaan, katanya, seharusnya juga bertanggung jawab dalam memastikan tembakau-tembakau yang mereka pasok bukan dari hasil membahayakan kehidupan anak-anak.
HRW pun merekomendasikan, pemerintah harus menekan dengan mekanisme dan prosedur jelas terkait perburuhan anak ini. Selanjutnya, perusahaan perlu memiliki aturan terkait rantai pasok tembakau mereka. ”Menjamin tak ada dalam produksi mulai penanaman, pembibitan hingga pengeringan melibatkan buruh anak,” katanya.
Tak hanya itu, pemerintah perlu memberikan pengetahuan dan pemahaman kesadaran risiko anak dalam bekerja di pertanian tembakau. Pemerintah, juga perlu memberikan petunjuk jelas agar buruh-buruh tembakau anak ini terlindungi.
Mongabay berupaya menghubungi beberapa perusahaan, seperti Wismilak maupun Djarum, tetapi sampai berita ini turun belum ada tanggapan.
Dalam peluncuran laporan, hadir Suryokoco dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia. Dia mengatakan, pertanian dan perdagangan tembakau adalah “kebudayaan Indonesia” sudah berusia ratusan tahun. Dia keberatan bila anak-anak dilarang membantu orangtua mereka, para petani tembakau, karena bagian dari latihan kerja.
Suryokoco juga mempertanyakan mengapa HRW meluncurkan laporan pada Mei, sesaat sebelum World No Tobacco Day 31 Mei. Dia curiga laporan ini termasuk kampanye anti-tembakau. Menurut dia, laporan ini bisa memperlemah industri dan pertanian tembakau Indonesia.