,

Paruh Bengkok Itu Mendapatkan Lagi Kebebasannya

Jum’at, 3 Juni 2016, adalah hari menggembirakan untuk sejumlah paruh bengkok yang ada di Maluku Utara. Mereka menemukan kembali kebebasannya setelah kehidupannya direnggut paksa oleh para pemburu. Beruntung, dapat diselamatkan sebelum dijual ke Filipina.

Adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan, Kepolisian Daerah Maluku Utara, Balai Karantina Pertanian Ternate, Burung Indonesia, dan masyarakat Maluku Utara yang melepasliarkan 200 individu paruh bengkok itu.

Rinciannya, 153 nuri bayan, 43 kakatua putih, dan 4 nuri-kalung ungu. Burung tersebut hasil sitaan BKSDA Maluku dan Polair Maluku Utara dalam satu bulan terakhir di Perairan Desa Ranga-ranga, Kabupaten Halmahera Selatan, 6 Mei 2016. Lokasi pelepasan dilakukan di Desa Waemega dan Desa Sawadai, sekitar Cagar Alam Gunung Sibela, Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan.

Bukan rahasia, bila Maluku Utara dikenal sebagai daerah ‘hitam’ perburuan dan perdagangan paruh bengkok tujuan Filipina. “Setiap tahun, ditaksir hingga belasan ribu yang  diselundupkan ke luar Maluku Utara. Filipina salah satunya,” ungkap Grace Ellen, Liason Burung Indonesia di Maluku Utara, dalam keterangan tertulisnya.

Ellen menuturkan, tiga pelaku utama yang semuanya warga Filipina itu ditangkap di Desa Ranga-ranga saat beroperasi menggunakan kapal nelaya kecil atau pumpboat. Mereka ditahan di Kejaksaan Negeri Ternate dengan jerat hukum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, selain tentu saja masalah besar mereka, keimigrasian. “Mereka membawa jenis-jenis satwa dilindungi,” papar Ellen.

Nuri bayan di habitat alaminya di Maluku Utara. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia
Nuri bayan di habitat alaminya di Maluku Utara. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

Lilian Komaling, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Ternate BKSDA Maluku, menuturkan penangkapan dan perdagangan paruh bengkok memang masalah serius yang harus dituntaskan di Maluku Utara. Menurutnya, saat ini hanya nuri bayan yang dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Sementara, jenis lainnya seperti kakatua putih, kasturi ternate, dan nuri kalung-ungu belum dilindungi PP 7/1999. “Padahal, sejak 2008, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah memberlakukan kuota nol untuk semua jenis burung paruh bengkok di Maluku Utara,” papar Lilian.

Hal yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Kepala Dinas Kehutanan Halmahera Selatan, Muhammad Nur. Menurutnya, Maluku Utara merupakan surganya paruh bengkok di Indonesia. “Pelestarian harus dilakukan dengan tidak menangkap dan memperdagangkan burung yang merupakan kekayaan hayati Maluku Utara itu.”

Kakatua maluku (Cacatua moluccensis) memiliki ciri bulu putih bersemburat merah muda. Foto: Thomas Arndt/Burung Indonesia

Pesona paruh bengkok

Paruh bengkok merupakan kelompok burung suku Psittacidae dengan ciri khas paruh membengkok (hooked bill), jari kaki zygodactyl (dua jari menghadap ke depan dan dua lainnya ke belakang), serta terdapat perbedaan penampakan antara jantan dan betina (dimorfisme seksual) pada beberapa jenis.

Di Maluku Utara terdapat sembilan jenis yang empat di antaranya sungguh  merana akibat penangkapan dan perdagangan. Jenis tersebut adalah nuri bayan, nuri kalung-ungu, kakatua putih, dan kasturi ternate.

Nuri bayan (Eclectus roratus) terdapat di Maluku, Papua, dan sebagian Nusa Tenggara Timur. Nuri kalung-ungu (Eos squamata) hanya sebatas Maluku Utara dan Papua bagian barat. Sementara kakatua putih (Cacatua alba) dan kasturi ternate (Lorius garrulus) memang dua jenis paruh bengkok endemis atau jenis asli Maluku Utara.

Hanom Bashari, Biodiversity Conservation Specialist – Burung Indonesia, yang dihubungi terpisah, Sabtu (4/06/2016) menjelaskan, tingginya perburuan paruh bengkok di Maluku Utara karena memang di daerah ini populasinya tersebar. “Jenis yang paling banyak ditangkap adalah kakatua putih, nuri bayan, dan kasturi ternate.”

Hanom menuturkan, untuk wilayah penyelundupan, dari Halmahera Selatan biasanya dibawa ke Filipina karena jalur ini yang dianggap strategsi. Sedangkan perburuan yang terjadi di Pulau Seram, akan dibawa ke Surabaya untuk selanjutnya diselundupkan ke Singapura.

“Kakatua putih dan kasturi ternate merupakan jenis terancam punah secara global, akibat penangkapan dan perdagangan yang terus terjadi di timur Indonesia. Revisi UU Nomor 5 tahun 1990  yang saat ini dilakukan harus memasukkan jenis ini, sementara PP 7/1999 harus meninjau kembali jenis-jenis prioritas yang harus dilindungi,” tukas Hanom.

Sebelumnya, sebuah studi di Jurnal Forktail 31 (2015) juga menunjukkan ada 13 spesies burung di Indonesia, termasuk elang jawa, yang nasibnya berisiko menuju kepunahan akibat perburuan tak terkendali. Kondisi ini disebabkan tingginya permintaan jenis tersebut untuk dijadikan satwa peliharaan yang notabene diambil dari alam.

Jenis yang diincar, selain elang jawa, adalah merpati-hutan perak (Silvery Wood-Pigeon), enggang gading (Helmeted Hornbill), kakatua jambul-kuning (Yellow-crested Cockatoo), Scarlet-breasted Lorikeet, ekek-geling jawa, Black-winged Myna, jalak bali (Bali Myna), cucak rawa (Straw-headed Bulbul), kacamata jawa (Javan White-eye), poksai kuda (Rufous-fronted Laughingthrush), poksai sumatera (Sumatera Laughingthrush), dan gelatik jawa (Java Sparrow).

“Apakah spesies atau subspesies, dampak negatif yang ditimbulkan sudah pada tahap mengkhawatirkan. Dapat memusnahkan spesies yang ada,” terang Chris Shepherd, Direktur TRAFFIC untuk Asia Tenggara, yang juga dan co-penulis pada penelitian tersebut.

Solusi untuk mengatasi maraknya perdagangan burung tersebut adalah penegakan hukum yang tegas, penyadartahuan masyarakat akan pentingnya konservasi, dan menangkap para pelaku. “Ini langkah nyata yang harus dilakukan,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,