, ,

Gorontalo yang Rentan Terhadap Perubahan Iklim, Seperti Apa?

“Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu daerah di Indonesia yang rentan terhadap perubahan iklim. Pertimbangan ini didasarkan data awal Kajian Penilaian Kerentanan Tingkat Provinsi Gorontalo yang dilakukan Dewan Nasional Perubahan Iklim 2011.”

Nazla Mariza, Direktur Program Transformasi Kebijakan Publik, mengungkapkan hal itu ketika menggelar pertemuan dengan bupati dan jajaran perangkat pemerintahan di Kabupaten Gorontalo, awal Juni 2016.

Dalam pertemuan terungkap, berdasarkan kajian Asian Development Bank (ADB) 2014, Indonesia adalah negara paling rentan terhadap perubahan iklim dengan potensi kerugian 6-7 persen PDB per tahun. Pengintegrasian adaptasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan, khususnya daerah, mendesak untuk dilakukan.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Pembangunan VI, yang juga penasehat senior Transformasi, Sarwono Kusumaatmadja, dalam konferensi pers di kantor Bupati Gorontalo mengatakan, rencana pembangunan daerah menjadi titik perhatian vital dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Hal ini mengingat pembangunan daerah adalah ujung tombak pembangunan nasional dalam sistem otonomi daerah yang saat ini diterapkan di Indonesia.

“Undang Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan, urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup merupakan salah satu urusan wajib. Masalah tersebut memiliki 7 sub bidang, yang masing-masing ada pembagian peran antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.”

Terkait hal tersebut, Sarwono mengatakan, Transformasi berkomitmen untuk membantu pemerintah Kabupaten Gorontalo dalam menyusun strategi Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan mengintegrasikan dalam rencana pembangunan daerah. Program ini dilaksanakan atas dukungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang berlangsung hingga Februari 2017.

Danau Limboto yang kondisinya makin kritis, diprediksi hilang pada 2025. Foto: Christopel Paino

Menurut Nazla Mariza, program ini memiliki dua tujuan. Pertama, meningkatkan pemahaman mengenai dampak perubahan iklim bagi segenap jajaran pemerintahan Kabupaten Gorontalo, dan kedua, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah sasaran untuk menyusun strategi adaptasi perubahan iklim guna mengintegrasikannya dalam rencana pembangunan daerah.

Bupati Kabupaten Gorontalo, Nelson Pomalingo, menyambut baik rencana tersebut. Nelson berharap, program tersebut bisa meningkatkan kapasitas Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) dan jajaran lain dalam rencana pembangunan daerah di wilayahnya.

Menurut Nelson, Gorontalo masuk dalam deretan 136 daerah yang rawan bencana. Ini diperparah dengan banyaknya kerusakan lingkungan baik dikarenakan faktor alam, juga kurangnya kesadaran masyarakat.

“Kabupaten Gorontalo dengan jumlah penduduk 409 ribu jiwa atau 40 persen dari penduduk Provinsi Gorontalo, rentan terhadap dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan saat ini. Mulai dari iklim yang tak menentu hingga kekeringan dan kekurangan debit air bersih,” ujarnya.

Daerah hulu Danau Limboto di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, yang mulai ditanami sawit. Foto: Christopel Paino

Dampak perubahan iklim

Rugaya Biki, Sekretaris Dinas Kehutanan dan Pertambangan Provinsi mengatakan, dampak perubahan iklim yang terjadi di Gorontalo meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, dan punahnya keanekaragaman hayati.

Menurutnya, kemampuan kita dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim belum sebaik negara-negara maju. Ada kekhawatiran, berbagai program pembangunan yang dilaksanakan tidak mencapai sasaran seperti masyarakat miskin yang menjadi fokus pembangunan.

“Respon terhadap perubahan iklim perlu mensinergiskan dengan pengentasan kemiskinan,” ungkap Rugaya yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Lingkungan Hidup pada Badan Lingkungan Hidup dan Riset Daerah Gorontalo.

Menurutnya lagi, degradasi lingkungan di Provinsi Gorontalo secara umum disebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan akibat kegiatan tertentu. Hasil pemantauan sungai strategis perkotaan maupun lintas perkotaan dan provinsi di wilayah Gorontalo yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup dan Riset Daerah Provinsi maupun kabupaten dan kota, menunjukkan bahwa air sungai sudah tercemar berdasarkan kriteria mutu air kelas dua. “Sumber pencemar umumnya adalah industri, pertanian, dan rumah tangga.”

Banjir di Gorontalo. Hutan yang menipis menyebabkan frekuensi banjir meningkat. Foto: Christopel Paino

Kondisi iklim  

Fitryane Lihawa, Kepala Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Negeri Gorontalo (UNG) menjelaskan, Provinsi Gorontalo berada dekat garis khatulistiwa. Artinya, Gorontalo bersuhu panas.

“Berdasarkan peta iklim Oldeman dan Darmiyati, Gorontalo rata-rata beriklim relatif kering. Wilayah terkering meliputi seluruh kawasan pantai selatan Kabupaten Boalemo dan sebagian Kota Gorontalo. Sementara, wilayah lebih basah ditemukan di sepanjang wilayah utara Provinsi Gorontalo.”

Hasil analisis terhadap suhu di Provinsi Gorontalo sejak Tahun 1978 hingga 2015 menunjukkan peningkatan. Pada 1978, suhu rata-rata adalah 24,1 derajat Celcius, pada 1990 suhu rata-rata 28,05 derajat Celcius, dan 2015 suhu rata-rata 26,8 derajat Celcius.

Sedangkan jumlah curah hujan tahunan di Provinsi Gorontalo berkisar 845 mm/tahun sampai 2312 mm/tahun. Curah tertinggi terjadi pada Desember – Januari dan Mei – Juni. Polanya mengalami pergeseran dan cenderung tidak teratur.

Menurut Fitryane, dampak perubahan iklim secara kasat mata di Provinsi Gorontalo selain pola curah hujan
dan kenaikan suhu, adalah banjir yang meningkat. Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) menunjukkan, 2002 – 2006 hanya sekali banjir. Namun, pada 2010, banjir mencapai 10 kejadian dengan tingkat kerugian lahan mencapai 2.520 hektar.

Selain banjir, Gorontalo juga mengalami kekeringan hingga 7.675 hektar. Pada 2015, empat bulan berturut kekeringan melanda dan 2016, kekeringan berlangsung hingga April lalu.

Penebangan pohon di Kota Gorontalo dilakukan di berbagai tempat dengan alasan untuk peningkatan jalan. Foto: Christopel Paino

Fitryane menjelaskan, pencegahan yang efektif terhadap perubahan iklim adalah dengan mengenali sumber dampaknya. Dalam perpesktif lingkungan, manusia adalah subyek dan obyek pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai hal yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan hidup, bertitik tolak dari manusia itu sendiri.

Faktor teknologi, ekonomi, keanekaragaman hayati dan sebagainya berperan untuk kelangsungan hidup manusia. Pencegahan yang utama ditujukan pada faktor antropogenik itu sendiri. Alam memiliki sifat kecendrungan untuk kembali ke keadaan sebelumnya.

“Tekanan dari manusia yang menyebabkan sifat tersebut terhalangi. Sehingga, kemampuan suksesi ekosistem akan terhambat.”

Bentang alam Gorontalo dari sekitar Limboto ke Tilamuta, Boalemo yang diambil saat fly over 2013. Foto: Farid Zulfikar/Burung Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,